Manusia
dalam Bencana Asap
Hadi S Alikodra ; Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, Bogor,
Mantan
Wakil Ketua Bapedal
|
KORAN
SINDO, 01 Oktober 2014
Ada asap ada api. Begitulah peribahasa yang amat populer di Indonesia.
Peribahasa ini biasanya diucapkan orang ketika ada suatu masalah yang
penyebabnya tidak jelas.
Dengan peribahasa itu, orang yang yakin bahwa misteri masalah itu akan
terkuak. Karena itu, peribahasa ada asap ada api menggambarkan bahwa segala
sesuatu pasti ada sebab akibatnya. Hari-hari ini di Riau dan Kalimantan Timur
asap yang berasal dari hutan terus mengepul dan “migrasi” ke mana-mana. Ke
kampung, ke kota, ke bandara, bahkan ke Singapura dan Malaysia. Tak ada orang
yangbisamenghalangi“migrasi” asap.
Ia akan migrasi ke mana pun arah angin berembus. Tapi, kali ini ada
persoalan besar yang muncul. Asap itu “menggelapkan” bandara di Singapura dan
Malaysia. Ini sangat berbahaya karena bisa membuat celaka pesawat terbang.
Singapura dan Kuala Lumpur mengeluh dan protes kepada Jakarta karena banyak
asap yang “migrasi” dari Indonesia ke wilayah mereka. Tapi, apa yang bisa
dilakukan Indonesia?
Nyaris mustahil menyetop migrasi asap tersebut. Pinjam istilah Jusuf
Kalla, cawapres terpilih, Singapura dan Kuala Lumpur seharusnya tidak perlu
protes karena dalam satu tahun mereka lebih banyak mendapat migrasi udara
segar dan banyak oksigen dari hutan di Sumatera dan Kalimantan ketimbang
migrasi udara berasap tersebut. Yang seharusnya mereka lakukan, bagaimana
membantu mengatasi kebakaran hutan di dua pulau itu dengan menegur keras para
pengusaha perkebunan sawit mereka yang nakal.
Ini karena pengusaha-pengusaha perkebunan sawit dari dua negara tetangga
tadi menjadi pemicu kebakaran hutan akibat mencari cara land clearing dengan mudah dan murah yaitu membakar hutan! Memang
benar, kebakaran hutan bisa terjadi secara alami. Penyebabnya beragam. Petir,
letusan gunung api, dan batu bara dangkal bisa menjadi penyebab kebakaran
hutan. Di negara-negara subtropis, faktorfaktor alam tersebut di atas menjadi
penyebab utama kebakaran hutan.
Petir misalnya sering menjadi pemicu kebakaran di negara-negara
subtropis. Hampir 50% kebakaran hutan di Kanada penyebabnya adalah petir. Di
wilayah Rocky Mountain, Kanada, 65% penyebab kebakaran hutan adalah petir itu
tadi. Tapi, kondisi seperti itu nyaris tak mungkin terjadi di Indonesia yang
beriklim tropis. Kenapa? Karena, muncul petir di Indonesia hampir selalu
berbarengan dengan muncul hujan.
Dengan demikian, kilatan api dari petir yang bisa menimbulkan kebakaran
hutan “ ternetralisasi” oleh muncul hujan sehingga kebakaran hutan tidak
berkembang luas. Kebakaran hutan juga sering dipicu letusan gunung berapi.
Aliran lahar panas misalnya sering menjadi pemicu kebakaran hutan di
lereng-lereng gunung berapi.
Meletusnya Gunung Merapi misalnya menjadi penyebab utama kebakaran
hutan di desa-desa sekitar lereng gunung tersebut. Kebakaran hutan di Desa
Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Yogyakarta dan Desa
Tlogolele, Kecamatan Selo, Boyolali, Jawa Tengah pada Oktober 2010 misalnya
akibat turun awan panas “wedus gembel“
yang berasal dari letusan Merapi.
Sedangkan batu bara dangkal (yang terdeposit beberapa meter dari
permukaan tanah) juga acap menjadi pemicu kebakaran hutan. Pada kondisi cuaca
kering dan panas, deposit batu bara ini memanas sehingga melampaui titik
bakarnya. Akibat itu, bahan bakar yang ada di atas permukaan tanah seperti
daun, ranting, dan kayu kering terbakar. Fenomena ini banyak terjadi di
Kalimantan dan Sumatera - dua pulau yang terkenal sebagai penghasil batu bara
terbesar di Indonesia.
Tapi, betulkah kebakaran hutan penyebab utamanya adalah iklim kemarau?
Nanti dulu. Berbagai studi dan analisis lembaga-lembaga kajian, baik LSM,
perguruan tinggi, maupun riset-riset independen menyimpulkan hampir 100%
kebakaran hutan di Indonesia disebabkan perbuatan manusia, baik sengaja
maupun tidak sengaja. Lebih jauh lagi, kebakaran hutan itu disebabkan
perbuatan manusia yang disengaja.
Penelitian Center for
International Forestry Research (CIFOR) pada 1998 di 10 wilayah di
Sumatera dan Kalimantan seperti Lampung, Jambi, Sumbagsel, Riau, Kalbar, dan
Kaltim menemukan bahwa penyebab secara langsung kebakaran hutan dan lahan di
Indonesia adalah (a) api yang sengaja dipakai untuk pembukaan hutan (land
clearing); (b) api yang sengaja dipakai untuk menyelesaikan masalah dalam
konflik tanah dan lahan; (c) api yang dipakai untuk ekstraksi sumber daya
alam (industri); dan (d) penyebaran api secara tidak sengaja. Sedangkan
penyebab kebakaran hutan secara tidak langsung adalah (a) penguasaan lahan;
(b) alokasi penggunaan lahan; (c) insentif/disentif ekonomi; (d) degradasi
hutan dan lahan; (c) dampak perubahan karakteristik kependudukan; dan (f)
lemahnya kapasitas kelembagaan (Syaufina, 2008).
Jelas sekali, penyebab utama kebakaran hutan adalah kegiatan manusia dalam
penyiapan lahan dan konversi lahan hutan menjadi nonhutan. Kegiatan tersebut
sebagian besar dilakukan perusahaan perkebunan. Dalam beberapa tahun
terakhir, kebakaran hutan ini sudah demikian meluas hingga menghanguskan
hutan lindung dan hutan konservasi. Kondisi tersebut jelas sangat
memprihatinkan.
Jika pada 1980-an laju deforestasi mencapai 1 juta hektare per tahun,
pada era1990-anlajudeforestasi itu mencapai 1,7 juta hektare per tahun.
Menurut catatan Kementerian Kehutanan pada 2006, laju deforestasi bahkan
telah mencapai 2,83 juta hektare per tahun atau sekitar 3-5 hektare (3-5 kali
luas lapangan sepak bola) per menit. Jika kondisi yang amat memprihatinkan
itu tidak bisa dicegah, Indonesia dalam 50 tahun ke depan akan kehilangan
hutan dan berubah menjadi negeri kering kerontang yang panas, berdebu, dan
kering tanpa air.
Dalam kaitan “asap di Singapura dan Malaysia” itu kemudian terungkap
apa dan siapa saja yang sering membakar hutan. Menteri Lingkungan Hidup
Balthasar Kambuaya menyatakan, delapan dari 14 perusahaan yang diduga kuat
membakar lahan dan hutan di Riau berasal dari Malaysia dan Singapura. Semua
perusahaan negara tetangga itu bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit.
Mereka antara lain PT Langgam Inti Hiberida (Malaysia), PT Bumi Raksa
Sejati (Singapura), PT Tunggal Mitra Plantation (Malaysia), PTUdayaLohDinawi
(Malaysia), PT Adei Plantation (Malaysia), PT Jatim Jaya Perkasa (Singapura),
PT Multi Gambut Industri (Malaysia), dan PT Mustika Agro Lestari (Malaysia),
PT Bumi Reksa Nusa Sejati (Singapura), PT Sumatera Riang Lestari (Singapura),
dan PT Sakato Prama Makmur (Singapura). Balthasar mendesak Pemerintah
Singapura dan Malaysia menghukum mereka jika nanti terbukti terlibat dalam
pembakaran hutan (22/6/2013).
Salah satu perusahaan perkebunan sawit asal Malaysia, PT Adei
Plantation, misalnya sudah lama ditengarai penduduk dan lembaga swadaya
masyarakat (LSM) setempat sebagai pembakar hutan. Saat ini PT Adei sedang
diperiksa oleh Pengadilan Negeri Pelalawan. Rupanya PT Adei ini pada 2003
pernah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Bangkinang dan pengadilan
menetapkan manajer mereka Mr Goby divonis empat tahun.
Tapi, MR Goby tidak pernah masuk penjara. Ia lari ke Malaysia dan
anehnya perusahaan mereka masih beroperasi dan terus membakar hutan sampai
sekarang. Udara berasap akibat kebakaran hutan memang bencana bagi manusia.
Tapi, ada lagi bencana besar bagi manusia jika hutan tropis terbakar yaitu
musnahnya kekayaan biodiversitas (keanekaragaman jenis hayati). Hutan tropis
Indonesia diketahui menyimpan 70% lebih kekayaan biodiversitas yang ada di
muka bumi.
Kekayaan biodiversitas ini aset nasional yang amat mahal untuk
pembangunan masa depan, terutama untuk pangan dan obat-obatan. Jika salah
satu program unggulan pemerintahan Jokowi-JK adalah kemandirian pangan dan
pembangunan kesehatan, kekayaan biodiversitas adalah penunjang utamanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar