Agunan
SK Wakil Rakyat
Hifdzil Alim ; Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM,
Ketua
Bidang Nonlitigasi LPBH PWNU DIY
|
SUARA
MERDEKA, 01 Oktober 2014
BEBERAPA hari lalu, seorang kawan wartawan di Daerah Istimewa
Yogyakarta mengajak berdiskusi mengenai posisi anggota DPRD atas risiko
terlibat tindak pidana korupsi. Pasalnya, setelah mereka dilantik, banyak
anggota mengagunkan surat keputusan (SK) pengangkatannya sebagai wakil rakyat
ke bank.
Awalnya, saya menganggap itu hal biasa. Namun belakangan, fakta wakil
rakyat ’’menggadaikan’’ surat keputusan tersebut tak hanya terjadi di DIY
namun hampir di tiap daerah. Berdasarkan catatan media, jumlah pinjaman yang
bakal diangsur oleh para wakil rakyat itu beragam. Minimal Rp 100 juta,
bahkan ada yang berutang Rp 300 juta.
Menariknya, semua alasan yang dikemukakan relatif sama: guna menutup
biaya politik. Pada bagian inilah kekhawatiran saya, dan juga
konstituen/pemilih, mulai muncul. Biaya politik untuk Pileg 2014 memang tak
bisa dimungkiri menggelembungkan utang setiap anggota DPR/DPRD terpilih.
Anggaran yang harus disiapkan untuk proses pencoblosan suara dan
mengamankan pemilih disinyalir antara Rp 100 juta dan Rp 1 miliar, bergantung
’’kelasnya’’, apakah DPRD atau DPR. Tatkala hanya 1-2 wakil rakyat
menggadaikan SK itu untuk menutup biaya politik, sepertinya wajar saja.
Menjadi tidak wajar setelah lebih dari separuh wakil rakyat
menggadaikannya. Alasan paling utama adalah inkonsistensi pelaksanaan tugas
dan kewenangan sebagai anggota legislatif secara kelembagaan akan terganggu
dengan jumlah dan pembayaran pinjaman.
Logikanya sederhana, pendapatan yang seharusnya untuk memenuhi biaya
kehidupan sehari-hari, dialihkan untuk mengangsur utang. Lalu, dari mana uang
untuk makan, minum, membayar tagihan listrik, air, telepon, dan biaya sekolah
anak?
Jalan
Masuk
Asumsi sumber pendapatan yang bisa digunakan adalah korupsi, kolusi,
dan nepotisme. Tiga sumber perantara itu adalah jalan masuk demi menutup
pembiayaan sehari-hari dari yang seharusnya diperankan oleh pendapatan tetap
sebagai anggota DPRD.
Korupsi, bagaimanapun akan membawa dampak buruk dalam pelaksanaan
kewenangan. Robert Klitgaard melalui karyanya, Controlling Corruption (1988),
menuliskan kembali laporan Josep Nye (1967) atas bahaya korupsi pada sektor
pelaksanaan tugas dan kewenangan.
”Korupsi bukan membuka akses cepat bagi masyarakat dalam semua strata
sosial, melainkan malah sebaliknya menciptakan stratifikasi sumber bagi elite
borjuasi yang patrialistik,’’kira-kira begitu cuplikan laporan Nye.
Saya cenderung mengikuti pendapat Nye ketimbang mengakui bahwa ketika
anggota DPRD menggadaikan SK tidak ada sangkut-pautnya dengan risiko untuk
korupsi.
Mengagunkan surat pengangkatan untuk menutup biaya politik, hampir sama
dan sebangun dengan memberikan ruang bagi anggota legislatif untuk bermain
politik uang.
Ada efek lanjutan yang perlu dipikirkan serius. Efek lanjutan pertama;
keterlibatan anggota DPRD dalam pembangunan, khususnya proyek infrastruktur,
secara melawan hukum.
Bagaimana itu bisa terjadi? Desakan untuk mendapatkan banyak duit
kemungkinan besar mendorong anggota DPRD menyisir beberapa proyek yang sedang
dikerjakan pemerintah daerah. Harapannya, mereka dapat menjadi bagian dari
proyek tersebut.
Kualitas
Proyek
Dengan kewenangan yang dimiliki, anggota DPRD mudah ’’masuk’’ dalam
proyek pemerintah daerah tersebut. Akibatnya, persaingan tidak sehat akan
diasumsikan sebagai ’’cara yang biasa’’ alias diperbolehkan. Imbas dari efek
lanjutan itu adalah kualitas hasil pembangunan infrastruktur pasti
mengecewakan. Bangunan tidak kuat dan tidak tahan lama.
Dalam jangka waktu tertentu, keselamatan bagi manusia (pengguna) yang
memakai bangunan tersebut bakal dipertaruhkan. Ini adalah harga sangat mahal
yang harus ditanggung. Kedua; melemahkan fungsi pengawasan DPRD terhadap
gubernur, bupati/wali kota (eksekutif).
Satu fungsi lembaga perwakilan daerah adalah menjadi pengawas,
sekaligus penyeimbang, dari semua kebijakan eksekutif. Tugas dan kewenangan
ini dapat dijalankan maksimal bila anggota DPRD tidak tersandera utang,
apalagi kepentingan politik lainnya.
Transaksi politik akibat penjaminan utang mudah dibaca dari sering
tidaknya DPRD memberikan tanggapan dan pengawasan atas kebijakan gubernur
atau bupati/wali kota. Setiap usulan eksekutif mudah saja lolos di rapat
paripurna DPRD.
Tidak ada pembahasan lebih lanjut, nihil perdebatan, dan tidak ada
catatan atas kebijakan eksekutif. Dengan kata lain, andai kebijakan eksekutif
berisiko atau cenderung korup pun, legislator cenderung diam, tidak bakal
berteriak. Bahkan mereka pun ’’terpaksa’’ menyetujui.
Naga-naganya, menggadaikan SK membawa dampak serius terhadap eksistensi
pelaksanaan tugas dan kewenangan anggota DPRD. Namun hal itu adalah
kemungkinan terburuk yang ditakutkan. Semoga kemungkinan itu tetap menjadi
kemungkinan, tidak berubah menjadi kenyataan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar