Antara
Kesenian dan Ilmu Pengetahuan
Seno Gumira Ajidarma ; Wartawan
|
KOMPAS,
12 Oktober 2014
BAKDI Soemanto, begitulah ia menuliskan namanya dalam karya cerita
pendek. Nama lengkapnya adalah Christoporus Soebakdi Soemanto. Namun, di
lingkungan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, nama ini
harus diawali dengan Profesor Doktor (disingkat Prof Dr) karena statusnya
sebagai pengajar memang mewajibkannya memasang gelar itu dalam kegiatan
akademik.
Ketika lulus S-1 sebagai mahasiswa tua, Bakdi Soemanto, yang sebelumnya
sudah lama mengajar, masih menuliskan namanya seperti ketika menulis cerita
pendek dan mendapat peringatan birokrat kampus, yang mengatakan bahwa
kerendahan hati seperti itu hanya merepotkan karena sekretaris harus
berkali-kali pula melakukan koreksi, mengganti kertas, dan seterusnya. Saya
ingat cara menceritakannya yang sambil geleng-geleng kepala dan cengengesan
tanpa unsur kesombongan sama sekali atas kerendahhatiannya itu.
Humoris
yang serius
Dalam cerita pendek ataupun kehidupan sehari-hari, kacamata humor
memang merupakan ciri khas Bakdi Soemanto. Jika menceritakan sebuah anekdot,
sering Bakdi sudah tertawa geli lebih dahulu sebelum pendengarnya paham apa
yang lucu dalam ceritanya itu. Namun, meskipun belum paham, pendengarnya bisa
ikut tertawa melihat bagaimana Bakdi sungguh-sungguh geli dengan ceritanya
itu!
Pada saat yang sama, Bakdi Soemanto adalah seorang akademisi yang tidak
perlu diragukan keseriusannya. Skripsinya tentang John Dryden, penyair dan
dramawan dari dunia sastra Inggris, tentu perlu untuk membuktikan penguasaan
atas bidang studinya. Namun, tesis dan disertasinya jelas merupakan langkah
yang melampaui urusan dalam kelas; yang pertama tentang prosa lirik Pengakuan
Pariyem karya Linus Suryadi AG dengan pendekatan semiotik Roland Barthes
(1999); yang kedua perbandingan makna pementasan Waiting for Godot karya
Samuel Beckett di Indonesia dan Amerika Serikat dengan rujukan berbagai
teori, dari Martin Esslin sampai Wolfgang Iser, yang terakhir ini memberi
peran besar pembaca dalam penafsiran. Dalam kedua karya ilmiah yang sudah
diterbitkan itu, Bakdi bukan sekadar menggunakan teori siap pakai, melainkan
juga seperti menguji seberapa jauh jangkauan teori-teori tersebut.
Perhatian Bakdi terhadap jarak yang mungkin ditimbulkan oleh ilmu
pengetahuan terhadap manusia dapat ditengok dari cerita pendek ”Doktor
Plimin” (1978). Dalam cerita ini, Plimin yang telah menjadi doktor ahli
komputer lulusan luar negeri melecehkan keris pusaka keluarga yang harus
dipakainya dengan pakaian adat meski merupakan pesan dari Mbah. Dengan kata
lain, Plimin telah menjadi penyembah logika terbatas yang menempatkan keris
sebagai benda tidak berguna, yang tersentak dengan kenyataan bahwa para ahli
internasional dalam konferensi yang juga diikutinya justru sedang menggali
kembali segenap dimensi pengetahuan dan akar tradisi yang melahirkan keris
itu. Ilmu pengetahuan telah membuat Doktor Plimin terasing dari dunianya
sendiri.
Sebaliknya, penguasaan Bakdi atas teori-teori ilmiah tampak membuatnya
mampu memandang dunia dengan lebih jernih tanpa harus menjadikannya berjarak,
melainkan semakin akrab, seperti dapat ditengok dari cerita pendek ”Kompor
Gas” (1988). Dalam cerita ini, terdapat nama-nama yang dibentuk oleh zamannya
masing-masing, yakni Karta Areng, penjual arang yang mendapat nama dari
barang dagangannya tersebut, yang kemudian tersingkir oleh Marta Lenga (lenga
= minyak tanah). Pada gilirannya, bahan bakar gas yang menyingkirkan Marta
Lenga dari peredaran melahirkan nama Den Harja Gas. Melalui kisah istri
narator yang mengganti kompor minyak tanah dengan kompor gas, sebuah fiksi
mampu mengungkap konteks sosial ekonomi yang tentu saja begitu cerdas karena penulisnya
sangat menguasai pendekatan semiotik!
Kembali
ke kampus
Mereka yang membaca buku HB Jassin, Kesusastraan Indonesia Modern dalam
Kritik dan Esai IV (1967), akan menemukan jejak bahwa Bakdi Soemanto pernah
menulis puisi. Memang benar, Bakdi harus dicatat juga sebagai penulis cerita
yang bagi saya tergolong wajib baca, tetapi sumbangan Bakdi yang penting
adalah sebagai penerjemah ataupun yang terutama adalah pengamat teater.
Dengan wilayah pengamatan mulai dari ketoprak, wayang orang, sampai teater modern
ataupun kontemporer, jasa Bakdi terbukti antara lain dari penghargaan yang
diberikan Federasi Teater Indonesia. Analisis dunia lakon Bakdi adalah contoh
yang baik dari risalah yang tidak sekadar bermodalkan naluri.
Posisi Bakdi sebagai pengamat teater, dengan nuansa akademik yang
kental, kiranya merupakan wacana otobiografis juga jika menengok latar
belakang keterlibatannya dalam dunia sandiwara. Dilahirkan di Surakarta pada
1942, suami dari Lana Indrayani dengan tiga anak ini pernah bermain dalam lakon
Hamlet dengan sutradara Jasso Winarto pada 1967 di Gedung PPBI Yogyakarta
sebagai Laertes ataupun dalam Monserrat dengan sutradara Fred Wibowo. Penting
disebut, ikut mendirikan Bengkel Teater pada 1967, dan Rendra tercatat
menyebutnya sebagai Penjaga Intelektual
Bengkel Teater, mungkin karena kecenderungannya untuk selalu argumentatif
jika mengeluarkan pendapat. Azwar AN pernah mengingat, setiap kali latihan
olah gerak, Bakdi Soemanto hampir selalu menirukan gaya Semar, dengan
telunjuk menunjuk-nunjuk ke udara.
Dunia kesenian yang romantik ini nyaris memutuskannya dari dunia
akademik. Pernah merantau ke Jakarta, Bakdi, yang seperti banyak seniman lain
ikut menumpang tidur di Balai Budaya, berkisah bahwa nasi yang dijual
warung-warung di sekitarnya masih banyak gabahnya. ”Orang seperti Nashar itu,
kok ya, betah,” katanya. Ketika saya mengenalnya pada 1975, beliau sudah
berada di kampus sebagai asisten dosen yang belum lulus kuliah, tetapi yang
hampir selalu dikira sudah jadi dosen. Dalam salah satu perbincangan, Bakdi
menyebut kalimat back to campus dengan tekanan nada yang menunjukkan bahwa
sebelum itu telah berpikir yang sebaliknya.
Di kampus, ia dikenal sebagai dosen yang sangat menyukai lagu ”Autumn
Leaves” (Joseph Kosma/Jacques Prévert), bahkan mampu menyanyikannya dalam
bahasa Inggris ataupun Perancis yang merupakan versi aslinya, terutama
bagian: ”Since you when away the days
grow long… and soon I’ll hear old winter song.” Komentarnya: ”The days grow long itu, kan, ngelangut
(rasa kosong yang dalam). Urip krasa
suwung (hidup terasa seperti di dunia tanpa penghuni)…. Dahsyat.”
Kata ”dahsyat” bersama ”absurd” memang tercatat sering diucapkannya.
Bakdi dikenang para mahasiswanya selalu berjuang agar mereka bisa lulus, baik
melalui bimbingan ilmiah maupun secara pribadi mengejar mereka dengan segala
cara agar menyelesaikan kuliah. Terhadap saya yang bukan mahasiswanya pun,
dan hanya mengenalnya dalam status sebagai pelajar sekolah menengah, Bakdi
menghargai saya sebagai lawan bicara yang seolah-olah setara dan tidak pernah
sekalipun menunjukkan sikap bahwa saya sungguh-sungguh masih ingusan. Tidak
banyak saya temui orang seperti beliau.
Bakdi Soemanto telah pergi, Sabtu (11/10) dini hari kemarin.
Berangkatlah lebih dulu, Mas Bakdi. Kita lanjutkan diskusi kita nanti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar