Gadungan
Trias Kuncahyono ; Penulis Kolom “KREDENSIAL” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
12 Oktober 2014
SETAIP orang, politisi, dapat mengklaim bahwa apa yang dilakukan adalah
demokratis. Setiap orang juga dapat mengklaim sebagai seorang demokrat
sejati; sebagai pejuang dan pembela demokrasi. Semua itu sah-sah saja.
Ingat, tokoh neofasis Rusia, Vladimir Zhirinovsky. Tokoh
ultranasionalis ini bersama Partai Demokratik Liberal Rusia dalam pemilu
parlemen (1993) meraih 22,8 persen suara. Apa ia seorang demokrat hanya
dengan mendirikan partai ”Demokratik Liberal”?
Dulu, Jerman Timur bernama resmi Republik Demokratik Jerman. Padahal,
pemerintah negeri itu di tangan partai tunggal berhaluan Marxis-Leninis. Tak
usah jauh-jauh, Korea Utara juga bernama resmi Republik Demokratik Rakyat
Korea. Negeri itu juga di bawah kekuasaan partai tunggal, Partai Para Pekerja
Korea, yang berideologi Stalinis.
Bagaimana mungkin demokrasi tanpa partai politik? Partai politik adalah
pilar demokrasi. Mungkinkah sebuah bangunan demokrasi tanpa pilar? Namun,
sebaliknya, apakah apabila banyak pilar berdiri, juga berarti berdirilah
bangunan demokrasi, berdirinya rumah rakyat itu? Bukankah menurut konsep
klasik, kata ”demokrasi” adalah gabungan dua kata Yunani: demos (rakyat) dan
kratos (pemerintahan). Dua kata itu lalu dikombinasikan menjadi ”demokrasi”
yang berarti ”pemerintahan oleh rakyat”.
Shaukat M Zafar dalam artikelnya di Pakistan Observer (22/1/2003)
menulis, rakyat Pakistan semakin menyadari bahwa ”kedaulatan” pemerintah
demokratik mereka sudah tidak ada lagi. Kedaulatan dan demokrasi ada tangan
kaum elite yang memiliki kepentingan finansial di luar.
Politik telah menjadi bisnis orang-orang kaya di Pakistan. Sistem
parlementer yang dianut Pakistan hanya cocok untuk para elite politik feodal,
yang merebut kekuasaan lewat sistem ini. Pada akhirnya, Zafar menulis,
”demokrat gadungan” tentu saja melahirkan demokrasi gadungan.
Tes yang sesungguhnya dari demokrasi adalah apakah orang—di semua level
masyarakat; entah itu rakyat jelata, elite partai, anggota legislatif,
eksekutif, maupun siapa saja—berkelakuan demokratik? Seperti apa?
Mengutip pendapat Muchtar Buchori, sumber perilaku politik pada
dasarnya adalah budaya politik, yaitu kesepakatan antara pelaku politik
tentang apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Kesepakatan
ini tidak selalu bersifat terbuka, ada pula yang bersifat tertutup.
Di negara kita, budaya politik para perintis kemerdekaan berbeda dari
budaya politik pada zaman demokrasi parlementer, dan ini berbeda dengan
budaya politik yang tumbuh dalam zaman Orde Baru. Zaman reformasi ini juga
melahirkan budaya politik baru, yang kemudian melahirkan perilaku politik
yang menyusahkan banyak orang.
Sekarang, setelah reformasi berlalu lebih dari 15 tahun, lahir budaya
politik baru, yang mengatasnamakan demokrasi meskipun tak berperilaku
layaknya demokrat sejati. Dengan kata lain, demokrasi kita tanpa kaum
demokrat. Inilah ”demokrasi aji mumpung”, termasuk dalam hal ini, ”mumpung
berkuasa”.
Bagaimana kita bisa bicara mengenai cita-cita luhur kebangsaan, tabiat
politik yang etis dan santun, atau bicara mengenai amanat penderitaan rakyat
yang diwariskan para bapak bangsa, kalau yang dikembangkan justru ”demokrasi
aji mumpung”? Perilaku politik para politisi adalah ”perilaku aji mumpung”
yang tidak lagi mengutamakan kehendak umum.
Ini barangkali yang oleh John Keane, profesor politik pendiri Center
for the Study of Democracy di London, Inggris, disebut sebagai ”matinya
demokrasi” (The Life and Death of Democracy). Demokrasi telah mati, tinggal
simbol kosong tak berarti karena yang hidup bukan lagi kehendak rakyat,
kehendak umum, melainkan kehendak politisi, kehendak elite politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar