Sembilan tahun lalu, di
sudut Yogya, puluhan anak muda berkumpul di sebuah rumah, mereka
mempersiapkan sebuah festival film internasional. Uniknya setiap selesai
pertemuan, mereka langsung menyebar ke warnet-warnet yang bertebaran di
Yogya untuk berkomunikasi internasional karena rumah sekaligus kantor
tersebut tidak mempunyai telepon dan komputer.
Namun, kini, para
penggagas festival itu tumbuh menjadi manusia global, sebutlah Anggie-Cecep
meraih film pendek terbaik Busan International Film Festival, Ifa meraih
film terbaik FFI 2011, Ajish menjadi pemimpin produksi termasuk film Soekarno, Ismail membawa filmnya
dari Rotterdam hingga berbagai festival, Damar bertumbuh menjadi programmer di berbagai film festival.
Catatan di atas adalah
kisah awal dari Jogja Asia Film Festival (JAFF) yang akan berlangsung 2-7
Desember 2013. Catatan di atas menunjukkan salah satu ciri wajah
kebangkitan Asia, yakni tumbuhnya komunitas-komunitas yang membangun
organisasi dan ruang publik lokal-global sebagai ruang apreasi maupun
proses kreasi.
Kisah lain yang lucu
terjadi sewaktu Phillip Cheah-Singapura (kurator-penggagas JAFF ) bertemu
sekitar 60 komunitas film di sebuah warung tenda nasi kucing. Sebuah jumlah
yang tak terbayangkan jika berbanding luas kota. Kekagetan lainnya ketika
melihat kenyataan setiap kali JAFF membuka volunter di dunia maya, hanya
dalam sehari sudah tercatat lebih dari 100 pendaftar.
Harus dicatat, tumbuhnya
masyarakat volunter di Asia menjadi dasar pertumbuhan masyarakat sipil yang
terampil mengelola ruang-ruang pertumbuhan yang sering tak terjembatani
oleh kondisi politik yang berkembang.
JAFF kali ini mengambil
tema ”Altering Asia”. Tema yang menunjukkan upaya JAFF membaca dinamika
Asia, sebutlah tema tahun sebelumnya bertajuk ”Diaspora Digital” hingga
multikultur. Upaya membaca Asia bisa dirunut dalam film yang dikurasi.
Sebutlah film pembuka Hanyut karya Uwe (Malaysia). Lewat karya
yang diambil dari novel Conrad,
terbaca sejarah awal tumbuhnya Malaysia atau bahkan Indonesia ketika
sebutan ”Melayu” mulai dikenal di dunia. Lewat film Srilangka, terbaca konflik-konflik
yang menyangkut separatisme menjadi ciri sudut- sudut Asia. Sementara lewat
film - film box office Korea, terbaca bangunan industri
kreatif dari negara garda depan budaya pop Asia ini.
Untuk membaca Asia dalam
kebangsaan, JAFF juga membuat sesi khusus film-film berkait tokoh-tokoh
bangsa seperti Ahmad Dahlan, Soegija, hingga Soekarno. Lewat forum ini
terbaca gagasan kebangsaan serta kepemimpinan yang tidak lepas dari kondisi
Asia pada awal kemerdekaan.
Sebuah festival
senantiasa menuntut sebuah karakter. Ciri JAFF adalah menerbitkan buku
berkait upaya membaca Asia. Tiga buku akan didiskusikan, yakni buku
bertajuk Apa Itu Seni karya Bambang Soegiharto,
buku Paradoks dan Krisis film Indonesia 1900-2013 (karya Garin dan Dyna) dan karya
Hasan tentang sinema Malaysia. Buku-buku ini menunjukkan salah satu sejarah
penting Asia, yakni dinamika multikultur seni, budaya pop, dan ruang kota
dalam relasinya dengan politik. Sebutlah dinamika dialog pertumbuhan
wayang, komedi stambul, hingga film.
Sewaktu menulis kolom
ini, saya masih mengajar dan menjuri proposal dan presentasi anak-anak muda
Asia ditalent campus FilmMex
Tokyo Film festival. Sebuah forum anak muda film Asia untuk mendapatlan
dukungan dana membuat film sekaligus pertemuan dengan organisasi funding, distributor, hingga produser
internasional.
Yang menarik dari
proposal yang ditawarkan, terasa membawa tema-tema persoalan penting Asia.
Sebutlah sutradara Filipina membawa tema ”Kodokushi”, tentang orang-orang
tua Jepang yang hidup sendiri dan mati telantar. Sutradara China menawarkan
gejala sosial keluarga-keluarga Cina mengursuskan anak-anak menjadi pemain
band. Atau juga Edward Gunawan- Indonesia menawarkan perjalanan dialog dua
anak muda tentang tanggung jawab dan kebebasan di situasi sosial politik
Papua.
Tema-tema ini merujuk
isu-isu besar Asia: hiper-urbanisasi hingga post-sosialisme di tengah
pertumbuhan generasi muda baru Asia. Saatnya kita membacanya secara
sungguh-sungguh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar