Selasa, 22 Oktober 2013

Perempuan di Barak Militer

Perempuan di Barak Militer
Jaleswari Pramodhawardani  ;  Peneliti PMB LIPI-Studi Jender dan Pertahanan
KOMPAS, 22 Oktober 2013


TENTARA Nasional Indonesia di usia ke-68 menerima 38 taruna perempuan di akademi TNI Magelang, terdiri dari 16 orang AD, 10 AL, dan 12 AU.
Mereka kelak akan diwisuda bersama rekan-rekan laki-lakinya pada 2017 dengan pangkat letnan dua. Memang agak terlambat dibandingkan West Point, Akademi Militer AS yang 1976 telah menerima taruna perempuan dalam akademi militernya. Secara tradisional dinas militer masih dianggap simbol kewarganegaraan paling khas, wilayah laki-laki dengan kultur militer kuat, meliputi disiplin, etos profesional, kohesi unit, dan esprit de corps (jiwa korsa) yang solid, juga norma, nilai, kebiasaan, ataupun tradisi yang selalu dipegang teguh dalam struktur organisasi yang padu. Namun, mengesampingkan perempuan dari ”status sipil rendah” telah lama berakhir sejak perempuan ”diperbolehkan” masuk dinas militer.
Di kalangan TNI, kita punya beberapa perwira tinggi perempuan. TNI AL saat ini memiliki Perwira Tinggi Korps Perempuan AL (Kowal) bintang dua, Laksamana Muda TNI Christina M Rantetana MPH, yang menjabat Staf Ahli Bidang Ideologi dan Konstitusi Kemenko Polhukam RI. Di AD ada tiga perempuan yang berhasil menjadi perwira tinggi: Brigjen (K) Herawati yang menjadi perwira tinggi pertama di TNI AD serta Brigjen Kartini dan Brigjen Sri Parmini, yang terakhir ini menjabat Perwira Staf Ahli Tingkat II Kawasan Eropa dan AS. Lalu, Marsekal Pertama TNI Rukmini SIP MM, perwira tinggi perempuan pertama di TNI AU yang kini Staf Ahli KSAU Bidang Hukum. Dari kepolisian ada Brigjen Rumiah yang berhasil menjadi kapolda perempuan pertama Indonesia.
Dilihat dari jumlah, kesenjangan masih besar jika dibandingkan jumlah prajurit TNI sekitar 475.000 orang. Menilik dari jabatan yang ada, tentara perempuan masih menduduki jabatan khas perempuan, yaitu di balik meja ataupun hal yang berkaitan urusan nontempur.
Perjuangan memasukkan perempuan dalam militer, khususnya dalam tugas tempur, kerap diidentifikasi sebagai perjuangan feminisme liberal. Sebagai upaya membukakan kesempatan yang sama bagi perempuan dalam semua bidang kehidupan, terutama di posisi yang sebelumnya hanya untuk laki-laki. Namun, feminisme kultural, misalnya menentang etos pertempuran yang diwakili oleh unit tempur militer, harus diidentifikasi sebagai aktivitas antiperang dan kontribusinya terhadap resolusi konflik. Demikian juga pandangan feminisme radikal yang mengkritik aspirasi untuk menjadikan perempuan bagian dari lembaga patriarkal seperti militer. Namun, terlepas dari perdebatan yang ada, memang harus diakui dinas militer perempuan dalam tugas tempur masih dianggap pemenuhan makna simbolis.
Secara umum, masuknya perempuan dalam akademi militer awal 1970-an menandai titik balik dalam pendaftaran tentara perempuan di negara-negara Barat yang konsisten dengan agenda perjuangan kesetaraan saat itu. Perubahan ini kemudian menyebabkan upaya yang difokuskan tak hanya pada integrasi perempuan dalam angkatan bersenjata, tetapi juga mengamankan mereka pada kesempatan yang sama untuk pendidikan militer dan tugas perang. Kontroversi seputar dinas militer perempuan biasanya berasal dari latar belakang hukum yang tak mewajibkan perempuan mendaftar seperti halnya laki-laki Hasilnya, dinas militer perempuan bersifat sukarela dan mencerminkan pilihan karier. Berbeda dengan laki-laki sebuah kewajiban.
Hal ini akhirnya memang memiliki implikasi terhadap arti kerja perempuan di dunia militer. Perempuan tak ditempatkan dalam posisi strategis seperti mitranya yang laki-laki. Mereka biasanya berada di belakang garis tempur, seperti urusan logistik, administrasi, petugas medis atau mekanik, sebuah jabatan yang disesuaikan peran perempuan hasil konstruksi masyarakat selama ini, melayani, merawat, dan mengasuh. Mereka dapat perlakuan berbeda dalam jenjang jabatan dan karier, termasuk penghargaan yang diterima.
Pengalaman negara lain
Denmark menerima perempuan dalam angkatan bersenjata sejak 1934, tetapi pendaftaran dalam dinas militer sebagai bintara baru dibuka 1971, dan tiga tahun kemudian, perempuan baru boleh masuk akademi militer. Secara bertahap keterlibatan perempuan di militer dipersiapkan matang. Mulai 1978, perempuan boleh mendaftar di semua bidang angkatan bersenjata. Tahun 1980-an dilakukan pengujian untuk eksplorasi kemampuan perempuan dalam pertempuran. Tahun 1998 UU disahkan dan memungkinkan perempuan berpartisipasi dalam wajib militer seperti laki-laki meski dalam praktiknya tak pernah benar-benar terbuka untuk wajib militer. Perempuan dalam militer berada di bawah komando chief of defence. Hingga Januari 2010, militer perempuan 5 persen dari personel AD, 6,9 persen di AL, dan 8,6 persen di AU.
Di AS, perempuan yang bertugas aktif di militer AS sekitar 14,5 persen atau 204.000 personel. Awal 2013, Menhan Leon Panetta mengutarakan keinginan mencabut larangan bertempur dalam medan perang untuk perempuan. Langkah ini dianggap strategis karena dapat membuka ratusan ribu posisi garis depan dan pekerjaan komando elite pada perempuan. Kebijakan ini sekaligus membatalkan peraturan 1994 yang melarang perempuan ditugaskan ke unit-unit tempur darat. Namun, militer punya waktu hingga 2016 untuk menimbang posisi apa yang mereka pikir harus tetap ditutup untuk perempuan. Pencabutan larangan bagi perempuan terjun ke medan perang menjadi perubahan besar setelah 10 tahun tak satu pun perempuan boleh langsung terjun ke medan perang. Keputusan ini juga menandai perubahan militer di bawah pemerintahan Obama, yang memimpin dorongan mencabut larangan bagi tentara yang terang-terangan mengaku homoseksual.
Kendati masih terlalu pagi menilai kehadiran taruna perempuan di akademi TNI, melihat pengalaman negara lain, penting rencana jangka panjang matang untuk melibatkan perempuan di militer melalui jabatan dan jenjang karier terukur. Pertanyaan kritis para taruna perempuan, apa mereka akan punya peluang sama dengan kolega laki-laki dalam pekerjaan, pangkat/jabatan, dan karier di militer merupakan tantangan yang perlu dijawab.
Kehadiran perempuan di militer sebaiknya tak sekadar mengada, atau hanya untuk memenuhi tuntutan jatah perempuan semata, melainkan lahir dari sebuah kebutuhan bahwa perempuan juga punya keinginan dan kemampuan sama untuk terlibat dalam militer sesuai hak dan kewajiban sebagai warga negara. Dalam konsep keamanan dan perang yang kian berubah dan kompleks, melibatkan perempuan dalam berbagai ruang kehidupan adalah sebuah keniscayaan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar