Selasa, 22 Oktober 2013

Pidana bagi Orangtua Penabrak

Pidana bagi Orangtua Penabrak
JE Sahetapy  ;  Guru Besar Emeritus
KOMPAS, 22 Oktober 2013


AKHIR-akhir ini cukup sering terjadi kecelakaan lalu lintas dengan akibat kematian bukan satu orang, melainkan beberapa orang.

Yang mengejutkan, yang mengemudikan mobil bukan orang dewasa yang barangkali telah mengonsumsi narkoba atau alkohol. Yang menyetir ialah seorang anak di bawah umur dengan kecepatan tinggi pula. Akibat mengerikan sudah dapat dibayangkan. Siapakah yang harus bertanggung jawab?

Berdasarkan ketentuan undang-undang, si anak tidak akan dibebani pidana. Orangtua lalu mencuci tangan dengan beragam argumentasi yang acap kali terlalu dicari-cari. Bagaimana nasib dan masa depan anak-anak yang telah kehilangan ayah mereka yang ditabrak mati itu?

Tentu soalnya tidak melulu mengenai makan setiap bulan, tetapi mengenai sekolah beberapa tahun mendatang dan masa depan mereka. Ini yang harus dipikirkan dan diselesaikan secara hukum. Soal ini jangan diselesaikan dengan berbagai alasan klasik yang sudah ketinggalan zaman.

Vicarious liability adalah konsep hukum Anglo Saxon yang berbunyi that a supervisory party (such as an employer) bears for the actionable conduct of a subordinate or associate (such as an employee) because of the relationship between the two parties. Dialihbahasakan secara bebas, ungkapan itu berarti ”bahwa pihak pengawas (seperti seorang pengusaha) menanggung (akibat) perilaku dari bawahan atau rekannya (seperti seorang mitra kerjanya) karena adanya hubungan antara kedua belah pihak”.

Berpikir majulah!

Meskipun menggunakan interpretasi futuristik atau fungsional, mungkin masih ada penegak hukum yang tidak setuju dengan konsep hukum tersebut. Jika terjadi hal demikian, mari kita dengar Kranenburg yang pernah menulis het zijn juristen die als wormen van het rotte hout leven, ’mereka (para sarjana hukum) ibarat cacing-cacing yang hidup dari kayu busuk’.

Di Belanda, yang sistem hukumnya serupa dengan sistem hukum di Indonesia, pada 1919 terjadi sengketa perdata antara Lindenbaum dan Cohen. Pada suatu hari pegawai Lindenbaum dibajak dengan iming-iming uang agar pindah kerja di perusahaan sejenis dari Cohen. Singkat cerita, Mahkamah Agung Belanda (HR) memutuskan pada 31 Desember 1919 bahwa perbuatan Cohen melanggar hukum pidana dengan membatalkan putusan perdata Hof Amsterdam. Jadi, semula perdata Pasal 1365 BW (Belanda 1401 BW), tetapi kemudian dinyatakan sebagai sifat melawan hukum perbuatan pidana.

Secara mutatis mutandis juga demikian dalam De Zutfense Juffrouw Arrest (HR 1911). Yang paling maju dalam putusan HR adalah dalam kasus Arrest, dokter hewan dari kota Huizen, pada 20 Februari 1933. Putusan-putusan tersebut pasti telah dipelajari dan diketahui para sarjana hukum di negeri ini ketika belajar di fakultas hukum. Lalu, apa kaitannya dengan vicarious liability?

Dunia sudah makin sempit. Ada konsep-konsep hukum dari Anglo Saxon yang sudah diambil alih secara sadar atau tidak, tanpa diatur di Indonesia sebagai aturan hukum positif. Misalnya dissenting opinion dan whistleblower. Dengan interpretasi futuristik, orangtua si anak yang menabrak mati beberapa orang di jalan tol itu dapat dipidana dan dituntut ganti kerugian berupa deposito di bank agar anak-anak yang kini sudah yatim piatu terjamin hidup di masa depan.

Hai, para penegak hukum, berpikirlah yang maju dan progresif. Jangan seperti cacing-cacing hukum yang hidup dari kayu-kayu busuk hukum. Itulah yang diharapkan dari penegakan hukum Pancasila. Semoga hati nurani Anda masih berfungsi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar