|
KORAN
TEMPO, 15 Juli 2013
Saya sepenuhnya setuju dengan Saudara Kadir bahwa untuk
mencapai target produksi padi 72,06 juta ton (setara gabah kering giling/GKG)
tahun ini dan menjadi 76,57 juta ton atau setara 43,05 juta ton beras tahun
depan merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Sebab, dengan produksi padi sesuai
dengan angka ramalan I BPS yang hanya sebesar 69,27 juta ton GKG, sepanjang
2013 hingga 2014 produksi padi harus naik 10,54 persen. Target ini sulit,
bahkan mustahil, dicapai. Karena-dalam rentang data yang panjang-tak banyak
prestasi kenaikan produksi padi di atas 5 persen. Dalam 10 tahun terakhir,
kenaikan sebesar itu hanya terjadi pada tahun-tahun menjelang pemilu, yang
sangat mungkin penuh dengan muatan politik.
Namun saya tak setuju dengan pandangan Saudara Kadir bahwa
untuk mencapai surplus beras 10 juta ton merupakan pekerjaan pemerintah yang
maha-terjal. Dalam artikel berjudul "Jalan Terjal Surplus Beras 10 Juta
Ton" (Koran Tempo, 3 Juli 2013), Saudara Kadir sama sekali tidak
menyinggung konsumsi beras. Ia hanya mengelaborasi produksi padi domestik
dikaitkan dengan target surplus beras 10 juta pada 2014. Bagaimana bisa
mengetahui surplus beras domestik kalau kebutuhan konsumsi warga tidak
dihitung?
Sebenarnya, kalau pemerintah jujur dan mau menanggung apa
pun risiko politik dari kejujuran itu sejak 2011, Indonesia sudah surplus beras
lebih dari 10 juta ton. Jika tidak percaya, mari kita hitung produksi beras
tahun ini berdasarkan angka ramalan I BPS yang dirilis 1 Juli lalu. Dengan
tingkat konversi ke beras 0,57 persen, produksi gabah tahun ini setara 39,48
juta ton beras. Tahun ini, jumlah penduduk diperkirakan mencapai 250 juta.
Dengan tingkat konsumsi beras sebesar 113 kg per kapita per tahun, kebutuhan
konsumsi beras domestik hanya 28,25 juta ton. Artinya, ada surplus beras
sebanyak 11,23 juta ton.
Surplus beras 10 juta ton belum tercapai karena pemerintah
menggunakan angka konsumsi beras sebesar 139 kg per kapita per tahun. Padahal
angka ini bukan dari hasil survei. Angka itu merupakan hasil "kesepakatan
politis" yang entah dipungut dari mana. Anehnya, sampai sekarang
kementerian teknis, terutama Kementerian Pertanian, masih memakainya sebagai
rujukan. Padahal, menurut perhitungan BPS, angka konsumsi beras 113 kg per
kapita per tahun. Perbedaannya amat besar. Bahkan, seandainya digunakan angka
konsumsi 139 kg per kapita per tahun, masih surplus beras 4,73 juta ton tahun
ini.
Pertanyaannya, apabila benar surplus, mengapa sepanjang
tiga tahun terakhir kita terus impor beras rata-rata di atas 2 juta ton per
tahun? Bahkan pada 2012, jumlah impor beras mencapai 2,7 juta ton (BPS, 2013).
Ada dua jawaban atas pertanyaan ini. Pertama, besarnya syahwat impor yang
didorong oleh hasrat untuk mengeruk rente ekonomi yang besar. Dalam beberapa
tahun terakhir, harga beras di pasar domestik bertahan tinggi, jauh lebih mahal
ketimbang beras di pasar dunia (baca: impor). Bahkan, disparitasnya bisa Rp
1.000 per kilogram. Berapa besar keuntungan yang dikeruk jika volume impor
beras 2 juta ton? Apalagi, berbeda dengan APBN, mengeruk untung dengan cara ini
tak banyak yang mengawasi.
Jawaban pertama mengandaikan data produksi padi BPS
sepenuhnya benar. Padahal ada persoalan besar dalam proses pengumpulan data
produksi padi yang sudah berjalan puluhan tahun di negeri ini. Karena itu,
berbeda dengan yang pertama, jawaban kedua justru mempersoalkan proses
pengumpulan data produksi padi oleh BPS. Dengan kata lain, data produksi padi
versi BPS tidak benar. Konsekuensinya, data statistik produksi padi versi BPS
tidak layak dijadikan landasan membuat kebijakan.
Statistik produksi padi dihasilkan dari perkalian komponen
utama: luas panen padi kali rata-rata hasil per hektare. Sistem penghitungan
itu kini disebut "angka BPS". Ini hasil kompromi dua sistem berbeda:
sistem yang digunakan Kementerian Pertanian dan BPS. Kompromi dua sistem
perhitungan sejak 1973 itu nyaris tanpa perbaikan berarti. Data produktivitas
dikumpulkan melalui survei statistik pada petak sawah yang akan dipanen dengan
metode probability sampling. Data dihasilkan dari ubinan ukuran 2,5 x 2,5 meter
yang dikonversi ke satuan hektare. Hasil panen pada ubinan langsung ditimbang.
Jadi, diterapkan sistem objective measurement. Separuh dari sampel ubinan ini
dikerjakan mantri statistik BPS, dan separuh sisanya dikerjakan mantri
pertanian. Jadi, untuk memperoleh data yield
rate, BPS hanya mengerjakan separuh dari seluruh sampel.
Luas panen sepenuhnya dikumpulkan mantri tani dengan cara
penaksiran melalui sistem blok pengairan, penggunaan bibit, dan pandangan mata
(eye estimate) di sawah. Pengumpulan
data luas panen ini tidak berdasarkan survei statistik, tidak ada objective
measurement di lapangan. Dalam teori statistik, data ini termasuk catatan
administrasi, sehingga akurasinya sulit diuji secara statistik. Data luas panen
inilah biang overestimate data produksi padi saat ini. Menurut berbagai studi
BPS (Sastrotaruno dan Maksum, 2002),
besarnya overestimate mencapai 17
persen. Artinya, jika tahun ini menurut taksiran BPS produksi beras 39,48 juta
ton, masih harus dikurangi 6,71 juta ton beras. Itu berarti bukan surplus, tapi
tahun ini Indonesia sesungguhnya malah minus beras 1,98 juta ton.
Laporan produksi padi berlebih itu terasa tidak masuk akal.
Konversi lahan pertanian untuk real estate, kawasan industri, dan infrastruktur
terus berlangsung tanpa jeda. Di sisi lain, pencetakan sawah baru hanya
menutupi sepertiga lahan yang dikonversi. Anehnya, laporan luas panen tidak
pernah menurun, kalaupun menurun hanya kecil. Data hanya deretan angka. Data
hanya alat. Masalahnya, jika data itu bias karena dikumpulkan lewat cara-cara
yang tidak reliable lalu dijadikan
batu pijak kebijakan, output-nya
tidak hanya menyesatkan, tapi juga akan menyengsarakan banyak pihak.
Sudah saatnya data luas panen dikumpulkan lewat survei
statistik. Teknologi pengumpulan data berdasarkan objective measurement telah berkembang pesat. Indonesia dipastikan
bisa melakukannya. Jika data statistik produksi padi itu dipakai terus,
berasnya hanya di atas kertas (semu), riil di lapangan tidak ada. Keengganan
mengubah metode pengumpulan data sama artinya membiarkan kesalahan (data) terus
berulang tanpa jeda. Jika kemudian data (yang salah itu) menimbulkan
silang-sengkarut atau dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk mengeruk
keuntungan, termasuk oleh pemerintah yang berkuasa guna meraih simpati rakyat
dalam pemilu, semuanya merupakan konsekuensi logis yang given. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar