|
KORAN
TEMPO, 21 Juni 2013
Tak terasa, 21 Juni 2013 ini adalah peringatan atas 19
tahun pembredelan majalah Tempo bersama dua mingguan lain kala itu: majalah
Editor dan tabloid Detik. Apa makna pembredelan pada masa Orde Baru itu dengan
kondisi media di Indonesia pada hari ini? Ini pembredelan kedua Tempo, setelah
pada 1982 Tempo juga pernah ditutup sementara gara-gara liputan soal kampanye
masa pemilu yang dianggap menyinggung pemerintah.
Pembredelan atas tiga mingguan tersebut terjadi pada saat
Orde Baru sedang dalam kondisi kuat-kuatnya. Indonesianis Ben Anderson pernah
menyebutkan, kondisi tersebut persis seperti ketika Sukarno memegang kekuasaan
pada masa Demokrasi Terpimpin, di mana kekuasaan Sukarno nyaris mutlak, dan
pers pun tunduk di bawah kekuasaannya. Pembredelan itu sendiri ibarat petir di
siang bolong, dan banyak orang langsung merasa bahwa Tempo kala itu dianggap
"salah" oleh Soeharto karena memberitakan masalah pembelian armada
perang eks Jerman Timur yang bermasalah. Pembelian kapal perang dilakukan via
Menteri Riset dan Teknologi pada waktu itu, B.J. Habibie. Sedangkan pemerintah
sendiri, dalam hal ini Menteri Keuangan Marie Muhammad, tak pernah merencanakan
pembelian tersebut.
Lepas dari pembredelan tersebut, muncul pelbagai reaksi
dari masyarakat, para jurnalis muda, dan pihak Tempo sendiri. Ada perlawanan
menggugat ke Peradilan Tata Usaha Negara, jurnalis muda mengecam sikap
Departemen Penerangan, juga Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang mendukung
pembredelan. Belakangan sejumlah wartawan muda ini mendirikan Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) sebagai bentuk perlawanan atas kontrol informasi dan kontrol
organisasi wartawan di tangan pemerintah. Selain itu, demonstrasi berbagai
kalangan terjadi di berbagai kota di Indonesia.
Tempo sempat vakum mengunjungi publik selama 4 tahun, dan
pada akhir 1998 --beberapa bulan setelah Soeharto dilengserkan oleh demonstrasi
mahasiswa besar-besaran--Tempo periode kedua (kalau boleh dibilang demikian)
muncul kembali. Kondisinya tentu sudah berbeda dengan kondisi pada masa Orde Baru.
Tempo masa Orde Baru juga adalah semacam puncak dari perolehan media cetak yang
pada waktu itu masih mendominasi pemberitaan dan juga perolehan iklan pada masa
tersebut. Kantor Tempo terakhir sebelum dibredel adalah kawasan Kuningan,
kawasan segitiga emas yang diisi oleh perusahaan-perusahaan besar dan juga
kompleks kedutaan besar negara sahabat. Televisi waktu itu masih berusia balita
(bawah lima tahun), dan kepercayaan publik kepada televisi masih harus
dibangun.
Kini Tempo adalah salah satu media cetak terpandang, namun
di sisi lain ada banyak media lain yang juga menyajikan informasi. Ada
persaingan sengit di situ. Tetapi, dari sisi iklan, kini media cetak hanya
meraih tak kurang 10 persen dari seluruh belanja iklan yang ada. Sementara itu,
televisi mendominasi belanja iklan yang mencapai lebih dari 80 persen dari
nilai lebih dari Rp 10 triliun saat ini.
Konvergensi hari ini terjadi di semua media, dan ihwal
diktum bahwa jurnalisme itu adalah "catatan sejarah yang ditulis
tergesa-gesa", kini catatan yang sama ditulis dengan semakin tergesa.
Namun saya kira Tempo masih memiliki kelebihan dibanding media lain dengan
mengambil spesialisasi sebagai pembongkar kasus, dan menawarkan
kedalaman-kedalaman liputan investigasi ataupun liputan-liputan khusus yang
tetap "enak dibaca dan perlu". Makna dari perkembangan ini,
bagaimanapun "content is the
king" pada masa konvergensi saat sekarang.
Tempo telah mengalami pendewasaan secara lembaga dalam
banyak segi, terus berevolusi menghadapi tantangan masa kini dari industri
media. Lepas dari masalah bisnis adalah hal penting yang harus terus digarap.
Namun besaran grup Tempo jika dijejerkan dengan aneka taipan media hari ini
memang sangatlah kecil. Namun justru di situ keuntungan yang dimiliki Tempo.
Dengan jumlah aset atau modal yang "mini" jika dibandingkan dengan
para pemilik media lainnya, Tempo jadi lebih lincah mengelola isi (content)-nya. Tempo tak perlu masuk
jebakan konflik kepentingan--sebagaimana dialami oleh para taipan media
lain--ketika perusahaan menggurita dan memiliki lini bisnis lain di luar bisnis
media. Tak ada perusahaan properti, jalan tol, tambang, rumah sakit, pabrik
tisu, hotel, dan lain-lain yang dimiliki Tempo.
Dalam banyak hal, Tempo juga mau menunjukkan bagaimana
seharusnya sebuah media memiliki martabat. Tempo tak segan mengungkap kesalahan
internal (dalam kasus wawancara dengan Anas Urbaningrum pasca-pencopotan
sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, juga saat terjadi iklan 8 halaman yang
membantah isi investigasi Tempo atas kasus Kemayoran beberapa tahun yang lalu).
Terakhir, Pemimpin Redaksi Tempo, Wahyu Muryadi, menyatakan mundur dari
posisinya sebagai Ketua Forum Pemred setelah banyak rekan di Tempo mengingatkan
akan potensi Tempo kehilangan independensi dari keterlibatannya dalam forum semacam
itu.
Bredel Tempo 19 tahun silam adalah kisah sejarah. Namun
bagaimana Tempo terus berjalan setelah hampir dua dekade itu, inilah yang harus
terus dicatat dalam sejarah. Bagaimanapun, bredel bukan lagi suatu tindakan
populer oleh penguasa, di masa ketika arus informasi mengalir deras dari
berbagai sudut. Namun ketegaran untuk menjadi pemberi informasi yang benar,
yang lebih mendalam, seraya dengan rendah hati mengakui jika terjadi kesalahan
yang dilakukan Tempo, adalah suatu pelajaran berharga kepada rekan-rekan
pengelola industri media hari ini. Semoga Tempo tak sendirian menapaki
"jalan pedang" semacam ini, karena pers yang baik sangat didamba oleh
publik untuk mendapatkan pegangan dalam melintasi dunia yang penuh dengan
informasi (sampah) saat-saat ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar