Hampir semua pesan akhir tahun mencandra, 2013 suhu politik
meningkat. Ini bisa dipahami mengingat gesekan politik akan lebih sering
baik di internal maupun antarpartai.
Komisi Pemilihan Umum sudah memastikan peserta Pemilu 2014.
Partai-partai akan menyiapkan daftar calon anggota legislatif. Maka,
terbayanglah hiruk-pikuknya internal partai. Keriuhan lain ditunjukkan
makin gencarnya pihak-pihak yang menyosialisasikan bakal calon presiden.
Misalnya, yang sudah jelas, Aburizal Bakrie disuarakan Partai Golkar,
Prabowo Subianto oleh Partai Gerindra, Hatta Rajasa oleh Partai Amanat
Nasional. Pada 2013 mungkin juga sudah akan ada tanda yang jelas siapa yang
didorong Partai Demokrat, PDI-P, dan partai-partai lain. Tidak kalah
menarik, beberapa nama yang santer disebut-sebut pantas menjadi capres atau
cawapres, seperti Mahfud MD dan Dahlan Iskan, pun gencar tampil ke publik.
Katakanlah semua itu mewakili wilayah ambisi. Politik tanpa ambisi,
ibarat sepeda motor yang diparkir saja. Dalam demokrasi langsung, semua
harus menyalakan mesin dan menggerakkan motornya. Rumus baku pemasaran
politik adalah kejelasan kandidat. Bagi yang punya ambisi meraih kedudukan,
ia harus berkenalan dengan publik sebagai pelegitimasinya. Bahasa
tingginya, sosialisasi. Ambisi pun bergeser ke fase pemasaran politik
berikutnya, mendesain persepsi.
Persepsi
Para politisi mengemas diri masing-masing sebagai ”kecap nomor satu”.
Dibantu pelejitannya oleh aneka konsultan, mereka berlomba mencitrakan
diri. Publik yang memiliki gradasi kesadaran politik yang berbeda
dihadapkan pada aneka tawaran yang sudah dikemas sedemikian rupa. Lapisan
publik yang kritis akan mempersoalkan kecacatan kandidat. Memang, tidak ada
kandidat yang tanpa cacat atau cela alias sempurna betul, justru kelemahan
itulah yang menjadi sasaran utama publik kritis.
Publik yang pragmatis, sebaliknya, tidak mempersoalkan kekurangan,
melainkan memanfaatkan kehadirannya dalam bingkai keuntungan material.
Bahkan, dalam kadar tertentu, mereka rela dihadapkan pada publik kritis.
Ini berbeda dengan publik yang permisif yang tidak mampu mengelak dari
dominasi elite kuat dalam kandidasi. Yang permisif tidak menyisakan ruang
bagi kekritisan. Mereka menyerah pada pilihan ”kucing dalam karung”. Namun,
yang permisif masih berbeda dengan yang masokis, yakni jenis masyarakat
yang sudah tahu bahwa pilihannya banyak cacat dan kekurangan, tetapi tetap
saja dipilih.
Di wilayah persepsi masih terbuka ruang yang lebar bagi kandidat
mendesain bangunan persepsi mereka masing-masing. Pengganggu setianya
adalah publik kritis yang direpresentasikan oleh para pengamat politik,
akademisi di kampus-kampus, atau para tokoh lembaga swadaya masyarakat.
Betapapun sulit ditundukkan, mereka tidak terlalu dikhawatirkan karena
secara jumlah tidak signifikan dan secara pengaruh mereka bukan pemilik
media.
Para kandidat akan dihadapkan pada realitas sosial masyarakat
Indonesia yang masih serba terbatas daya kritis politiknya. Di level
menengah-bawah, mereka dipandang sinterklas sehingga aktivitas apa pun atas
nama ”pendidikan politik” kurang bisa ditangkap baik. Yang tidak sabar
memilih strategi pragmatis ”menunggu di tikungan”. Ketimbang fokus pada
”rezim substansi”, mereka lebih suka melakukan pendataan atau memakai
pendekatan ”rezim administrasi” sehingga kelak mudah untuk melakukan
”serangan fajar”.
Tidak semuanya melakukan itu, tetapi trik memenangkan diri dalam
pemilu itu variatif. Ada yang melanggar hukum, tetapi banyak yang sekadar
melanggar etika.
Rakyat Dapat Apa?
Pada 2013, rakyat akan dihadapkan pada banyak tontonan politik. Elite
akan semakin sering mengunjungi tempat strategis tempat rakyat berkumpul.
Mereka berkunjung ke pasar-pasar, kampung, pesantren, atau ke makam-makam
”orang suci”. Rakyat dapat ”berkah” karena kunjungan-kunjungan mendadak
itu, dan menimbang-nimbang siapa yang menyumbang secara riil atau sekadar janji.
Tradisi politik kita masih lebih bersifat top-down
ketimbang bottom-up sehingga wajar manakala rakyat banyak berharap
dari elite. Di Amerika Serikat, warga menyumbang ke kandidat presiden
mereka. Sebaliknya, di Indonesia, warga kebanyakan justru menunggu
sumbangan dari para kandidat.
Pemerataan pembangunan di era reformasi, ironisnya, banyak
diekspresikan turun ke bawahnya para elite politik dan sumbangan yang
ditinggalkan. Semakin mendekati pemilu, walaupun sangat permukaan, ”efek
menetes ke bawah” pun terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar