Jumat, 23 November 2012

Menyambut Muktamar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di Makassar


Menyambut Muktamar Ikatan Dokter Indonesia
(IDI) di Makassar
Tri Astuti Sugiyatmi  Dokter di Dinas Kesehatan Kota Tarakan; Peneliti di Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan, FK UGM, Jogjakarta
JAWA POS, 22 November 2012


BANYAK yang terkejut atas aksi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) yang belum lama ini mengancam mogok kerja atau praktik. Mereka memprotes penetapan pemerintah untuk besaran iuran premi jaminan kesehatan nasional bagi warga miskin yang hanya Rp 22.201 dan kapitasi dokter nanti hanya mendapat sekitar Rp 2.000 (dua ribu rupiah). Jumlah tersebut dianggap tidak layak dan berpotensi menurunkan kualitas pelayanan. Sementera itu, PB IDI mengusulkan Rp 60.000.

Besaran premi dan pembayaran provider memang menjadi isu menarik dalam hal ini. Tidak heran, banyak reaksi pro-kontra tentang ancaman PB IDI tersebut. Kebanyakan yang kontra menganggap ''tidak pantas'' profesi mulia seorang dokter hanya dikotori oleh permasalahan ''bayaran'' sebagai hal yang sangat sensitif di masyarakat Timur kita. 

Dalam menghadapi orang sakit, menarik bayaran yang kecil atau bahkan gratis sama sekali akan sangat meringankan penderitaan mereka. Itulah yang ditengarai sebagai pembenar badan penyelenggara asuransi kesehatan untuk membayar dokter/provider dengan harga yang jauh dari layak, bahkan dengan harga serendah-rendahnya.

Situasi demikian saat ini mengakibatkan banyak dokter umum sudah tidak bisa total dalam bekerja dengan mengerjakan banyak pekerjaan sampingan, bahkan saat praktik. Misalnya, menjadi tenaga pemasar produk yang mengatasnamakan nutrisi kesehatan yang bersifat multilevel marketing (MLM). Hal tersebut menunjukkan, untuk memenuhi kebutuhannya, dokter umum melaksanakan banyak kegiatan, bahkan di luar wilayah medis. 

Bila tetap dibayar tidak layak, dapat dibayangkan, dokter akan sibuk dengan urusan sendiri, sedangkan pasien akan banyak dirujuk. Tentu saja itu akan mengacaukan sistem rujukan dalam layanan jamkesnas yang sudah dibangun dengan susah payah.

Subsidi BBM Rp 200 Triliun 

Pakar asuransi kesehatan dari UI Prof dr Hasbullah Thabrany MPH Dr PH dalam sebuah acara seminar nasional juga menyatakan, dokter selama ini memang dibayar underpaid (di bawah kelayakan). Saat pasien harus membayar biaya berobatnya sendiri (out of pocket), mungkin pembayaran murah tersebut relatif masih diterima. Walaupun disadari, dalam kondisi tersebut, bisa jadi taruhannya adalah profesionalitas seorang dokter dan mutu pelayanan kesehatan. 

Zaman sudah berubah, era Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sudah menjelang. Persepsi itu semestinya juga berubah. Saat sistem jamkesnas berlaku, urusan bayar-membayar tidak lagi terjadi antara dokter dan pasiennya, tapi bergeser antara dokter dan badan penyelenggara atau lembaga pembayar. Dalam situasi ini, kemampuan membayar setiap pasien menjadi lebih baik. 

Dalam konsep ini, hakikat kewajiban BPJS adalah menjadi penanggung risiko untuk biaya kesehatan seluruh rakyat. Karena itu, sekaranglah saat yang tepat bagi dokter, khususnya dokter umum, untuk mendapat bayaran yang layak. Tidak berarti dokter menjadi serakah dan materialistis, tapi menuntut sebuah rasionalitas. Saatnya ''harga kekeluargaan'' yang cenderung tidak menghargai sebuah profesionalisme ditinggalkan.

Apalagi, biaya pendidikan dokter dan dokter spesialis mencapai ratusan juta rupiah. Sementara itu, progam pendidikan kedokteran berkelanjutan sebagai syarat untuk mendapat surat tanda registrasi guna mendapat SIP (surat izin praktik) juga menjadi sesuatu yang sangat mahal, khususnya bagi dokter di daerah.

Menurut saya, membayar dokter dengan harga keekonomian (layak sesuai pasar) adalah sangat memungkinkan dengan alasan BPJS nanti bersifat nirlaba atau not for profit. Berbeda dari lembaga asuransi kesehatan seperti PT Askes yang berbentuk persero yang mempunyai kewajiban menyetor dividen kepada pemerintah. Untuk lembaga not for profit, sudah semestinya keuntungan itu dikembalikan untuk kepentingan masyarakat.

Belajar dan becermin pada lembaga zakat yang juga nirlaba, seorang penyelenggara (amil zakat) juga mendapat bagiannya dengan jelas. Penulis merasa sistem zakat itu sangat adil dan dapat diterapkan bahwa seorang dokter pun sebagai salah satu provider di bidang layanan kesehatan mempunyai hak yang layak terhadap gajinya. Dengan demikian, tujuan awal UU SJSN untuk menyejahterakan semua, termasuk providernya, akan tercapai. Jangan sampai nanti rakyat sehat tapi dokternya justru ''sakit''.

Di sisi lain, sebenarnya biaya kesehatan di negara kita masih jauh dari harapan. Masih ada ruang untuk menaikkan anggaran kesehatan yang sekarang hanya berada di angka 2 persen menjadi sekitar 5 persen sesuai amanat UU Kesehatan Nomor 36/2009. Juga, bandingkan dengan besarnya gelontoran dana untuk subsidi BBM yang mencapai Rp 200 triliun, yang sebagian besar justru dinikmati para orang kaya, sedangkan untuk investasi awal BPJS hanya dialokasikan Rp 25 triliun.

Solusi di Muktamar IDI 

Sulitnya menemukan titik sepakat antara pemerintah dan PB IDI tentang besaran premi bukan berarti jalan buntu. Semestinya kedua pihak sama-sama berpegang pada keputusan yang win-win solution. 

Membayar dengan harga keekonomian juga diyakini justru dapat menyelesaikan masalah dalam jangka panjang karena pembayaran yang tidak adil. Prof Hasbullah Thabrany dalam berbagai kesempatan menyatakan, harga keekonomian merupakan jawaban untuk menyelesaikan belum sempurnanya sistem rujukan karena tidak berfungsinya layanan primer, tidak meratanya persebaran SDM kesehatan khususnya dokter, rendahnya mutu layanan, serta masalahmoral hazard dalam dunia asuransi.

Semoga bisa segera ditemukan sebuah titik terang problem ini. Muktamar Dokter Indonesia XXVIII yang sedang berlangsung di Makassar, 21-24 November ini, diharapkan bisa menemukan rumusan yang fair. Tema besar muktamar, yaitu Paradigma Baru Pelayanan Kedokteran dalam Era Jaminan Sosial Kesehatan Nasional sebagai Upaya Menata Pelayanan Kesehatan yang Berkeadilan Sosial, diharapkan juga akan terwujud. 
 ●

1 komentar: