Stabilisasi
Pangan Dunia
Sapuan Gafar ; Mantan
Wakil Kepala Bulog
|
KOMPAS,
16 Oktober 2012
Pengalaman dalam pengelolaan stabilitas
harga pangan memberikan pelajaran berharga bahwa pola operasi stabilisasi
tiap komoditas berbeda disebabkan perbedaan karakteristik setiap komoditas.
Perbedaan karakteristik mendasar antara
komoditas beras dan kedelai adalah, pertama, beras merupakan konsumsi
langsung rumah tangga di Indonesia, sedangkan kedelai bahan baku industri
tempe dan tahu. Kedua, faktor ketidakstabilan harga beras lebih banyak di
dalam negeri, sedang kedelai di luar negeri. Kita ingat pada 2008 ketika
terjadi krisis pangan dunia yang ”tak berpengaruh” pada perberasan karena
produksi beras kita sedang bagus. Namun, untuk kedelai terjadi keguncangan
harga sehingga produsen tahu dan tempe berdemo di depan Istana Negara.
Produksi beras terkonsentrasi di beberapa
tempat saja, seperti Jawa, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Barat, sedangkan
konsumsinya merata di seluruh Indonesia. Kedelai terkonsentrasi di sejumlah
daerah, tetapi dalam jumlah relatif kecil sehingga tak signifikan memengaruhi
harga di tingkat petani. Pengaruh dominan justru berasal dari harga
internasional. Saat ini porsi impor kedelai sudah 70 persen dari total
kebutuhan domestik.
Perbedaan menonjol beras lainnya, terdapat
pola panen raya pada Maret-Juni sekitar 60 persen, dan bulan lainnya 40
persen. Karena itu, pada beras terdapat surplus musiman yang kalau pemerintah
(Bulog) tak terjun ke pasar, harga akan jatuh. Pada kedelai tak demikian,
tanam menunggu panen padi sehingga pola tanam tak serentak. Petani juga
memperhitungkan hujan setempat jika terlalu banyak hujan petani tanam padi
lagi.
Dari uraian ini, tak tepat jika untuk
menjaga harga kedelai dalam negeri dipakai harga dasar atau harga patokan
pembelian. Apalagi kalau impor kedelai tak dibatasi seperti saat ini,
diperkirakan sebagian besar produksi kedelai akan dijual ke pemerintah
terutama kalau terdapat perbedaan harga cukup besar antara harga pembelian
pemerintah dan harga pasar. Apakah kita sudah siap tempat penampungnya? Hasil
pembelian pemerintah akan dijual ke siapa? Siapa yang menanggung beban jika
penjualan merugi karena harga pasar kedelai lebih murah.
Pelajaran dari Kedelai
Ada beberapa pelajaran ketika kedelai
diserahkan ke Bulog 1980 untuk diatur stabilitas harganya. Pertama, pola
operasi stabilisasi harga beras tak dapat sepenuhnya digunakan untuk kedelai.
Hal ini karena kedelai bahan baku industri tempe dan tahu sehingga Bulog tak
mungkin operasi pasar, seperti pada beras. Oleh karena itu, Bulog membangun
kelembagaan dengan membentuk Koperasi Produsen Tahu dan Tempe Indonesia
(Kopti). Dengan cara ini Kopti berkembang pesat, membangun kantor, mendirikan
sentra produksi tempe dan tahu yang sebelumnya dimusuhi warga karena
mendatangkan bau tak sedap, serta membangun perumahan anggota.
Kedua, karena mendapat tugas menstabilkan
harga dasar kedelai, Bulog menggunakan koperasi unit desa untuk pembelian
dalam negeri. Agar penjualan kedelai oleh Bulog tak bertabrakan dengan
produksi kedelai dalam negeri, Bulog hanya menyalurkan kedelai di daerah
nonsentra produksi, seperti DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, dan Lampung.
Dengan cara ini, stabilitas harga kedelai di tingkat produsen terjamin. Bulog
hanya dapat membeli dalam jumlah terbatas di Sulawesi Utara, Sulawesi
Tenggara, Nusa Tenggara Barat, dan Papua dengan jumlah terbanyak 5.500 ton.
Ketiga, untuk lebih mendorong petani
memproduksi kedelai, Bulog hanya impor sekitar 80 persen dari kebutuhan.
Dengan cara ini, harga kedelai dalam negeri sangat baik sehingga harga dasar
tak diperlukan lagi dan dihapus 1988. Produksi kedelai dalam negeri terus
meningkat, mencapai puncak 1,8 juta ton 1992, naik tiga kali lipat dibanding
1973 sewaktu dimulai Program Bimas/Inmas Kedelai.
Keempat, saat komoditas kedelai masuk Bulog
1980, kebetulan bantuan pangan PL 480 dari AS untuk Indonesia tak terlalu
banyak dan hanya dipakai untuk pembelian gandum. Impor kedelai juga hanya
sebagian dibiayai Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI), sebagian lagi
dengan kredit bank. Tahun 1981, Bulog tidak lagi mendapatkan KLBI dengan
bunga 6 persen. Bunga didasarkan pada suku bunga dasar kredit (prime rate)
perbankan, bahkan pernah 19 persen 1991. Pelaksanaan impor kedelai lewat
pedagang kedelai internasional, tak ada pola pembelian government to
government (G to G).
Kelima, yang menarik pada operasi
stabilisasi harga kedelai 1980-1997 tak ada subsidi lewat APBN. Ini karena
saat kedelai masuk Bulog 1980, harga kedelai dunia sedang naik sekitar 300
dollar AS per ton CIF Rotterdam. Selanjutnya turun terus sekitar 250 dollar
AS per ton dan baru naik lagi 1996 dan 1997 ke sekitar 300 dollar AS per ton.
Alasan lain, dengan posisi sebagai importir tunggal kedelai, Bulog lebih
mudah menyesuaikan harga jual.
Keenam, karena operasi stabilisasi harga
beras lebih banyak merugi, Bulog diberi kewenangan mengelola komoditas lain.
Dari neraca Bulog 1990/1991 hingga 1996/1997 secara kumulatif terdapat
defisit operasi beras Rp 720 miliar. Namun, karena terjadi surplus operasi
nonberas, secara keseluruhan masih surplus Rp 194 miliar.
Kunci Keberhasilan
Kita punya pengalaman melakukan bermacam
pola/model stabilisasi harga pangan, seperti persediaan penyangga untuk
gabah/beras yang dikombinasikan dengan monopoli impor oleh pemerintah
(Bulog). Model penguasaan seluruh produksi dalam negeri, seperti gula pasir
dan tepung terigu, yang dikombinasikan dengan penguasaan penuh impor gula dan
gandum oleh Bulog. Model penguasaan penuh impor seperti gandum, bungkil
kedelai, tepung ikan. Model persediaan penyangga seperti jagung, kedelai,
kacang hijau, dan instrumen harga dasar yang tak digunakan lagi karena tak
efektif.
Apa pun polanya, tampaknya pembatasan
jumlah impor salah satu kunci keberhasilan stabilisasi harga kedelai dan
komoditas pangan lain. Kita punya pengalaman tragis 1999-2003. Waktu itu
monopoli impor beras Bulog dicabut sehingga impor dibebaskan, bahkan dengan
bea masuk 0 persen hingga tahun 2000. Meskipun Bulog sudah membeli beras
dalam negeri 2 juta ton, harga tetap rendah, Bahkan, akhir 1999, saat
paceklik, harga pasar lebih rendah dari harga dasar.
Pembatasan impor dapat dilakukan dengan
penguasaan penuh oleh pemerintah dengan menunjuk BUMN sebagai pelaksana atau
dengan kuota impor. Saat ini pun untuk beras berlaku hal ini, meski instrumen
legalnya belum terlalu jelas. Dalam kenyataannya sudah diterima masyarakat,
tak ada tekanan dari pihak luar, dan semua maklum. Jika pemerintah ada
keberanian dan kemauan, penguasaan impor penuh akan merupakan model paling
efektif.
Pembatasan impor dengan kuota saat ini
berlaku untuk gula. Tak ada negara lain protes. Yang dibolehkan impor adalah
importir produsen, yakni pabrik gula dalam negeri. Untuk kedelai bisa
diwakili Kopti dan jagung diwakili pabrik makanan ternak. Untuk memberdayakan
Kopti yang kondisinya memprihatinkan, kerja sama dengan BUMN berpengalaman
dapat dilakukan atau membentuk usaha patungan.
Mengapa untuk membatasi impor kedelai,
jagung, dan sebagainya demikian alot? Tampaknya lobi mereka yang punya
kepentingan untuk impor kedelai dan jagung (atau lobi negara pengekspor)
demikian kuat sehingga tindak lanjut kebijakan impor pangan propetani tak ada
kabar beritanya. Petani hanya bisa pasrah. Jadi, jangan berharap produksi
naik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar