Publik
Berkurban bagi Demokrasi
Syamsuddin Haris ; Profesor
Riset LIPI
|
KOMPAS,
23 Oktober 2012
Hasil survei nasional Pusat Penelitian
Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI) yang dirilis akhir
pekan lalu menggarisbawahi dukungan publik, hampir 80 persen, terhadap
demokrasi relatif tinggi.Potret empiris ini menepis anggapan bahwa
seolah-olah masyarakat rindu Orde Baru. Namun, kualitas kinerja pemerin-tahan
dan lembaga-lembaga demokrasi tak kunjung lebih baik?
Sebelumnya kajian Freedom House Institute
yang dirilis Kompas (19/9) menengarai merosotnya kualitas pemerintahan dan
demokrasi di negeri kita dibandingkan dengan pencapaian dua tahun sebelumnya
(2010).
Pada Juni 2012, lembaga Fund for Peace,
juga berpusat di Amerika Serikat, menempatkan Indonesia dalam kategori negara
hampir gagal dan berada di peringkat ke-63 dari 178 negara di seluruh dunia.
Skala tindak pidana korupsi yang masih merajalela, tindak kekerasan dan
anarkisme yang mengancam pluralitas, serta pengurasan sumber daya alam yang
tak terkendali adalah beberapa contoh saja yang mengindikasikan hal itu.
Sementara itu, pemerintah melalui kerja
sama Badan Peren- canaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dengan Program
Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) pada 2009 bahkan sudah merilis
hasil kajian bertajuk ”Indeks Demokrasi Indonesia” yang mengonfirmasi
rendahnya kualitas kinerja lembaga-lembaga demokrasi yang dihasilkan pemilu
yang kian bebas dan langsung.
Kajian yang mengadopsi sebagian instrumen
Freedom House dan dilakukan di 33 provinsi itu menemukan bahwa meski indeks
kebebasan sipil relatif tinggi, indeks hak-hak politik dan indeks kinerja
lembaga demokrasi seperti pemerintah, parlemen, dan lembaga peradilan relatif
rendah.
Refleksi
Kekecewaan
Di luar hasil kajian di atas, sejumlah
lembaga survei lain sebenarnya sudah merilis temuan serupa: merosotnya
kepercayaan publik terhadap partai politik, parlemen, lembaga peradilan, dan
pemerintah. Karena itu, cukup menggembirakan bahwa tingkat kepercayaan dan
dukungan masyarakat terhadap demokrasi relatif tinggi dibandingkan dengan
proporsi responden yang menolak sistem demokrasi sebagaimana dikonfirmasi
survei LIPI.
Tingkat kepercayaan publik terhadap kinerja
institusi demokrasi ternyata berbanding terbalik dengan tingkat dukungan dan
harapan terhadap sistem demokrasi. Fakta lapangan ini sekurang-kurangnya
menggambarkan tiga kecenderungan.
Pertama, relatif besarnya harapan
masyarakat akan terwujudnya ideal-ideal demokrasi sebagai sistem politik yang
dianggap lebih menjanjikan dibandingkan dengan sistem politik lainnya.
Mayoritas masyarakat kita sadar bahwa
politisi partai dan pejabat publik di parlemen, lembaga peradilan, dan
pemerintah belum memenuhi harapan sehingga mereka memberi penilaian kritis
terhadap kinerja institusi demokrasi. Tak jauh berbeda dengan hasil survei
lain, temuan tim LIPI mengonfirmasi tingkat kepercayaan terhadap parpol,
parlemen, dan lembaga peradilan berkisar 23-32 persen.
Kedua, temuan itu mengindikasikan bahwa
pengorbanan dan kesabaran masyarakat tampaknya merupakan modal politik terpenting
bagi tegak dan bertahannya demokrasi di negeri ini. Meski hanya 12,8 persen
responden yang merasa bisa memengaruhi pemerintah dalam pembuatan kebijakan
serta sekitar 30,1 persen yang beranggapan bahwa keluhan mereka diperhatikan
oleh pejabat publik, hal itu tak mengurangi kepercayaan dan dukungan publik
terhadap sistem demokrasi.
Harapan itu terus dirajut dari satu pemilu
ke pemilu dan dari pilkada ke pilkada berikutnya meski tak kunjung bisa
dipenuhi para pejabat publik terpilih. Unjuk rasa dan demonstrasi akhirnya
menjadi pilihan mengungkapkan kekecewaan atas kinerja lembaga-lembaga
demokrasi memenuhi harapan publik.
Ketiga, praktik demokrasi pasca-Orde Baru
tampaknya masih terbatas pada
pembentukan institusi-institusi demokrasi,
seperti parpol, pemilu, parlemen, lembaga peradilan, dan
pemerintah-pemerintah hasil pemilu dan pilkada.
Pada saat yang sama infrastruktur dasar
demokrasi itu belum terisi para politisi, wakil rakyat, dan para
penyelenggara negara yang memiliki keberpihakan kepada nasib rakyat dan
bangsa kita. Tak mengherankan jika meski pemerintah pusat dan daerah berganti
setiap lima tahun, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan berjalan terus.
Seharusnya
Malu
Kepercayaan dan dukungan publik terhadap
demokrasi sudah tentu melegakan dan menggembirakan. Namun, fakta lapangan
seperti ini semestinya tidak berhenti sekadar sebagai hasil survei ataupun
kajian akademik belaka. Sebaliknya, temuan hasil survei seharusnya bisa
menjadi cambuk bagi politisi parpol, wakil rakyat, dan para penyelenggara
negara introspeksi dan koreksi diri. Lebih jauh lagi, para elite politik yang
memperoleh mandat dari rakyat melalui pemilu dan pilkada mestinya merasa malu
dengan fakta begitu besar pengorbanan publik bagi demokrasi.
Betapa tidak, setiap menjelang pemilu dan
pilkada, publik merajut kembali harapan mereka akan hari esok yang lebih
baik. Tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu dan pilkada yang relatif
tinggi mencerminkan hal itu. Namun, problemnya, para elite politik cenderung
menyalahgunakan mandat rakyat dan kekuasaan mereka untuk kepentingan yang
bersifat pribadi, kelompok, dan golongan sendiri.
Karena itu, tantangan terbesar negeri ini
bukanlah soal ”kesiapan” rakyat kita berdemokrasi seperti sinyalemen sebagian
kalangan. Tantangan terbesar justru terletak pada masih buruknya kualitas
komitmen etis para politisi dan elite penyelenggara negara dalam memenuhi
harapan publik.
Seperti tampak pada realitas politik
kontemporer, politisi dan elite penyelenggara negara hanya pintar
memobilisasi, memanfaatkan, bahkan memanipulasi dukungan rakyat dalam pemilu
dan pilkada, tetapi cenderung abai dalam mengelola kekuasaan mereka secara
benar dan bertanggung jawab.
Dalam hubungan ini sudah waktunya fokus
perhatian kita dialihkan dari sekadar merancang prosedur pemilu dan pilkada
yang demokratis ke arah rancang-bangun institusi-institusi demokrasi yang
berkinerja lebih baik dan akuntabel. Pertanyaannya, apakah para politisi,
wakil rakyat, dan pejabat publik siap serta mau ”berkurban” bagi kejayaan
negeri kita? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar