“Cabotage”
untuk Merah Putih
Emil Salim ; Profesor
Riset LIPI
|
KOMPAS,
04 Oktober 2012
Ketika penjajah Belanda
menerapkan monopoli perdagangan pala dan cengkeh, perdagangan berpusat di Halmahera
dan Banda. Demi rempah-rempah, Belanda ”menukar” Pulau Manhattan (1667) dengan
pulau Run di Banda ”milik” Inggris.
Belanda pun menggeser
Inggris dan memonopoli perdagangan rempah-rempah dengan menjalin kesepakatan
dagang dengan sekitar 200 masyarakat adat dan kerajaan lokal.
Monopoli perdagangan
ditopang monopoli angkutan laut KPM (Koningklijke
Pakketvaart Maatschappy) yang menerapkan ketentuan cabotage
untuk seantero kepulauan Indonesia.
Cabotage adalah hak mengangkut
perdagangan hanya oleh kapal-kapal berbendera negara bersangkutan. Maka,
praktis barang dagangan dari Indonesia hanya diangkut kapal KPM berbendera
Belanda ketika itu.
Ketentuan cabotage
tidak ada kaitannya dengan sistem ekonomi liberal seperti dianut oleh Amerika
Serikat. Merchant Act 1920
(PL66-261), yang dikenal dengan Jones Act,
mengharuskan barang-barang yang dibeli dari AS diangkut hanya oleh kapal-kapal
berbendera AS, termasuk barang-barang yang dibiayai pinjaman Exim Bank AS dan
PL-480 bantuan AS.
Pertimbangan utama adalah membuka
lapangan kerja bagi warga AS sebagai pelaut kapal dan pekerja galangan kapal
serta industri pendukung lainnya. Pertimbangan lain adalah menghubungkan
kota-kota tepi pantai sekeliling AS dan sekaligus berfungsi mengawal negara
dari ancaman asing, penyelundupan, dan migrasi gelap.
Perkuat Laut
Walaupun AS dan negara maju
umumnya memperjuangkan liberalisasi perdagangan dan keuangan perbankan di dunia
global, dalam perhubungan laut mereka memegang ketat ketentuan cabotage
yang mengharuskan barang diangkut oleh kapal berbendera setiap negara.
Indonesia adalah negara
kepulauan yang diapit oleh Samudra Pasifik dan Samudra Hindia sehingga lalu
lintas masuk-keluar pengairan Indonesia pun ramai dan padat. Ketika Indonesia
merdeka, kita menguasai Kantor Besar KPM Belanda di Gambir, tetapi kapal-kapal
KPM berhasil meloloskan diri dan Belanda menjualnya ke luar negeri. Namun,
Indonesia tidak memiliki armada nasional yang tangguh meladeni seluruh Tanah
Air. Pemerintah menganggap penerapan cabotage tidak realistis.
Setelah Indonesia mencapai
tingkat pendapatan 3.000 dollar AS per jiwa per tahun dan mengejar tingkat
pendapatan negara maju, maka pembangunan sektor perhubungan laut mencuat ke
atas permukaan sebagai sektor strategis, baik sebagai alat pemersatu wilayah
NKRI maupun sebagai sektor pemberi lapangan kerja yang penting.
Pertama membuka lapangan
kerja bagi pelaut rangkaian armada jalur utama, jalur penunjang dan jalur
perintis dari Sabang ke Merauke. Telah tiba waktunya pelaut Indonesia kembali
jaya mengarungi lautan Indonesia dan samudra dunia. Untuk ini sekolah-sekolah
pelayaran dari menengah sampai tinggi perlu dikembangkan di daerah kepulauan
timur Indonesia.
Kedua, membuka lapangan
kerja terampil untuk galangan kapal dan ahli perkapalan yang mampu mendesain
kapal sesuai dengan sifat watak kelautan kita. Kapal-kapal KPM didesain
mengikuti sifat pasang surut sungai sehingga dalam musim apa pun bisa masuk
menelusuri sungai sampai ke pedalaman Kalimantan. Kapal juga mampu melewati
gelombang besar lautan Banda karena berstruktur sesuai alur yang dilaluinya.
Dengan teknologi yang
semakin maju, perilaku lautan Indonesia sudah bisa diperhitungkan lebih canggih
dalam pembuatan kapal yang kita butuhkan sekarang. Ini akan membuka kesempatan
membangun galangan modern pembuatan kapal-kapal sesuai dengan perilaku lautan
dan kebutuhan jejaring angkutan seluruh Tanah Air. Galangan kapal harus
dijadikan sentra pertumbuhan masyarakat maritim sebagai ciri khas pembangunan
kawasan Timur Indonesia.
Sentra pertumbuhan ini
mencakup pengembangan pelabuhan-pengumpul (hub-ports)
barang umum, produk hasil rakyat dan perikanan ditopang oleh fasilitas bungker
minyak yang tersebar di pulau-pulau strategis timur Indonesia.
Dengan demikian, sektor
perhubungan laut mencakup pengembangan sistem jejaring jalur angkutan utama,
penunjang, dan perintis ditopang oleh pelabuhan utama (hub ports) menyatukan angkutan antar-pelabuhan penunjang dilengkapi
fasilitas galangan kapal utama pemroduksi kapal-kapal yang sesuai dengan
perilaku lautan kita dan mampu memasuki sungai-sungai besar serta galangan
rehabilitasi kapal.
Semua ini ditopang oleh
lembaga finansial pembiayaan pembangunan dan rehabilitasi kapal oleh galangan
kapal, seperti pernah diemban oleh BUMN PT PAN (Pengembangan Armada Nasional)
tahun 1970-an. Pengembangan totalitas perhubungan laut seperti ini ikut menjadi
penggerak pembangunan.
Bangun Kelautan Kita
Semua ini merupakan
penggerak pembangunan kawasan Indonesia bagian Timur. Apabila pulau-pulau
Jawa-Sumatera mengandalkan pembangunannya pada infrastruktur angkutan darat,
pulau-pulau Indonesia bagian timur mengandalkan infrastruktur angkutan laut
sebagai tulang punggung pembangunannya. Kita kembali kobarkan semangat bahari
di pulau-pulau Indonesia bagian timur ini.
Karena itu telah tiba
waktunya kita secara sungguh-sungguh mulai menerapkan kebijakan cabotage
yang dilakukan secara bertahap sejajar dengan perkembangan pertumbuhan kekuatan
perhubungan laut kita.
Yang jelas, kita membangun
perhubungan laut untuk efektivitas penerapan cabotage. Kita memanfaatkan sasaran cabotage
untuk membangun ketangguhan perhubungan laut kita. Kita
sambut globalisasi pembangunan dengan gigih memperjuangkan berkibarnya Sang Saka Merah Putih sejajar dengan
bendera-bendera bangsa lain dengan semboyan: Yalesveva Yayamahe, di laut
kita jaya! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar