Negara Tanpa
“Recht”
Mochtar Pabottingi ; Profesor
Riset LIPI
|
KOMPAS,
04 Oktober 2012
Apa yang kita sebut krisis
multidimensi sebetulnya bersimpul satu, yaitu tiadanya Rechtsstaat. Kata recht di
sini menghimpun semua kebajikan atau moralitas publik: benar, adil, beradab,
patut, sah, dan berharkat. Para pemikir politik mulai dari Aristoteles,
Rousseau-Kant-Hegel, hingga ke John Rawls, Ian Shapiro, dan Michael Sandel
selalu menekankan moralitas ini.
Sejak pengujung abad ke-18,
moralitas publik bertumpu pada kolektivitas politik egaliter bernama bangsa
atau nasion yang lahir dari solidaritas kesejarahan dan kesatuan cita-cita
besar politik. Serempak, moralitas publik juga lahir dari tuntutan peradaban
akan niscayanya menghormati harkat setiap individu warga nasion. Perpaduan
antara rasa bernasion dan penekanan pada harkat tiap warga nasion inilah yang
melahirkan negara dengan sistem demokrasi. Aktualisasi sistemik dari moralitas
publik ini kemudian juga dikukuhkan di atas prinsip transparansi dan
akuntabilitas, begitu pula prinsip pemisahan kekuasaan dan kesetaraan di depan
hukum. Sejak pengujung abad ke-18 itu, negara-negara nasion pelopor demokrasi
modern di Amerika dan Eropa Barat kurang lebih berkiprah, bertumbuh maju, dan
bersinar dengannya.
Baik moralitas publik maupun negara hukum sama sekali bukanlah milik
eksklusif peradaban Barat. Jepang sedari awal peradabannya dan terlepas
dari sejumlah kekurangannya adalah contoh cemerlang dari tangguhnya akar serta
kiprah moralitas publik menurut kaidah-kaidah kulturalnya sendiri. Di zaman
kita, pancaran sinar moralitas publik di Jepang mungkin adalah yang paling
cemerlang di dunia.
Di Nusantara, prinsip ”raja alim raja disembah, raja lalim raja
disanggah” adalah bagian sentral dari moralitas yang sama—sebab ”raja”
adalah otoritas pertama dan utama dari semua urusan publik. Merujuk pada
kesaksian Profesor Mattulada dan Profesor Anthony Reid, berabad sebelum
kuku-kuku kolonial mencengkeram Sulawesi Selatan pada awal abad ke-20, pangngadereng dalam kultur politik Bugis
jelas merupakan bangunan moralitas publik dan sekaligus bangunan hukum yang
sangat berwibawa.
Rechtsstaat lazim diterjemahkan
sebagai negara konstitusional atau negara hukum. Ia representasi dari bersatu
dan bersenyawanya politik dan hukum. Di sini politik dan hukum adalah dua sisi
dari mata uang yang sama. Persenyawaan ini niscaya lantaran konstitusi yang
merupakan pedoman dan/atau rangkaian patokan politik tertinggi negara sekaligus
menjadi hukum tertinggi. Ia menjadi tiang pancang sebab tujuan utamanya memang
tak lain dari pemihakan dan penjunjungan nyata pada upaya bersama menuju
kesejahteraan, kemajuan, dan kebahagiaan sebangsa.
Lazimnya, entitas ataupun
ideal-ideal Rechtsstaat merupakan
kepanjangan dari ideal-ideal nasion dan demokrasi. Dan konstitusi, prasyarat
utama Rechtsstaat, adalah cetak biru
nasion dan demokrasi sekaligus. Konstitusi adalah maklumat nasion, bukan
maklumat negara. Itulah sebabnya maka JS Mill menekankan bahwa konstitusi
haruslah disusun oleh the best minds of
the nation.
Nasion tegak
di atas prinsip-prinsip solidaritas, inklusivisme, keadaban, kesalingpercayaan,
dan pluralitas. Demokrasi bertumpu pada prinsip-prinsip kesetaraan, keadilan,
kebebasan, rasionalitas politik, dan supremasi hukum.
Kuatnya kohesi, afinitas, bahkan ketumpangtindihan antara prinsip-prinsip
nasion dan prinsip-prinsip demokrasi membuat nasion dan demokrasi dengan
sendirinya terjalin ke dalam suatu hubungan simbiosis-konstruktif. Begitulah,
maka tiap demokrasi sehat bertujuan untuk memelihara berlakunya kesepuluh
prinsip di atas agar semua warga negara bisa terus melangkah maju guna
mewujudkan ideal-ideal kemerdekaan dan peradabannya. Dengan konstitusi, nasion
mengontrol dan mengarahkan negara ataupun masyarakat.
Janji yang Diingkari
Pada zaman kita sulit
membayangkan konstitusi atau Rechtsstaat
di luar konteks nasion dan demokrasi. Toh kerap dilupakan bahwa baik negara (Staat) maupun hukum (Recht) sama-sama berinduk pada dan
merupakan derivat nasion dalam paradigma demokrasi.
Sejatinya, kedaulatan
negara hanyalah pinjaman dari kedaulatan nasion. Bisa dikatakan bahwa negara
melangkah maju atau terpuruk mundur secara berbanding lurus dengan pasang-surut
penyantunan serempaknya atas nasion dan demokrasi.
Atas dasar nalar ini, suatu
negara berhenti menjadi Rechtsstaat
manakala para pelaksana negara dan/atau aparat hukum tak lagi mengindahkan
nasion dalam paradigma demokrasi. Tanpa berpatokan pada nasion dalam konteks
itu, bukan hanya yang Recht akan
lenyap, melainkan Staat sendiri pun
akan kehilangan induk dan tujuan dasarnya.
Tanpa induk dan tujuan dasar, negara
akan menjadi liar dan seketika menjadi mangsa para perakus kuasa dan harta di
dalam pemerintahan. Ia juga menjadi mangsa para pemodal besar nasional ataupun
internasional yang semata-mata didikte oleh hasrat menggaruk untung
sebesar-besarnya tanpa memedulikan akibat-akibat buruknya pada negara,
masyarakat, dan negeri di mana mereka berkiprah.
Ketika para pelaksana negara
mencampakkan nasion induknya, ketika itu pulalah negara konstitusional batal.
Di situ negara kehilangan pijakan untuk memihak dan menjunjung ideal-ideal
berbangsa. Begitu konstitusionalitas lenyap, kinerja politik dan hukum pun ikut
meliar. Keterpaduan antara keduanya sirna. Sebab, di bawah negara tak berinduk
dan nihil moralitas, baik praktik politik maupun praktik hukum tak lagi
bertumpu pada Recht.
Dari sini
tinggal dua opsi yang menunggu negara: Machtstaat
atau hukum rimba!
Rapor atau kinerja seluruh
rezim dan/atau pemerintahan di Tanah Air sejak Proklamasi Kemerdekaan bisa
diukur dan dijelaskan dari penalaran dan patokan-patokan
Rechtsstaat di atas, termasuk rezim Orde Reformasi yang kemurnian
cita-citanya telah dipelintir sedari awal. Dari sini kita mengetahui bahwa
satu-satunya rezim yang menegakkan Rechtsstaat
hanyalah apa yang disebut Herb Feith, Demokrasi
Konstitusional. Itu berlangsung hanya sekitar delapan tahun. Rechtsstaat mulai dikhianati sejak
Demokrasi Terpimpin.
Kita juga tahu bahwa
pengkhianatan terbesar atas Rechtsstaat berlaku pada Orde Baru dan Orde
Reformasi. Tsunami nasional dari ketiadaan hukum bermula di bidang politik pada
1965 saat negara kita menjelma Machtstaat.
Hingga akhir Orde Baru, gelombang besarnya yang berulang berkali-kali juga
melanda bidang ekonomi. Lalu tsunami itu pecah lagi secara jauh lebih luas di
awal Orde Reformasi. Ini menggerogoti sendi-sendi politik, hukum, dan ekonomi
secara sama masifnya. Sebab, dipelintir sedari awal hingga kini, Orde Reformasi
benar-benar mendekati situasi hukum rimba—total
lawlessness—terlepas dari pernak-pernik perubahan sistem pemerintahan di
permukaan.
Kesalahan
terbesar selanjutnya adalah dijadikannya gerilya
diktum impunitas sebagai patokan Orde Reformasi hingga kini.
Dalam konteks inilah Munir—pahlawan nasional sejati pembela rakyat
kecil—dibantai begitu biadab. Di sini kesalahan
terbesar Presiden SBY adalah penolakan umumnya untuk melakukan
terobosan-terobosan eksekutif di tengah realitas negara dalam keadaan
semidarurat. Padanya hingga kini tak kita
temukan gut kepemimpinan. Lakunya
ingkar janji dan sama sekali tidak presidensial di tengah-tengah kerinduan
nasional untuk mengakhiri kondisi lawlessness
dan kegilaan korupsi.
Itikad Baik Pemimpin
Di sini pulalah kita mempertanyakan itikad baik pimpinan dan para anggota
DPR yang secara licik berusaha melemahkan KPK lewat revisi undang-undang dengan
alasan konyol. Mereka mencampakkan kenyataan betapa parahnya kanker
korupsi di Tanah Air dan betapa ia tiada hentinya dilemahkan dari atas dengan pelbagai
muslihat selama ini. Ibarat para psikopat, orang-orang yang mengaku terhormat
di DPR buru-buru mengusung dalih kembali ke sistem hukum normal sementara
negara kita masih tetap kental diharu biru oleh korupsi sebagai extraordinary crime dari para extraordinary bastards!
Sikap yang
sama juga kita tujukan kepada jajaran pimpinan kepolisian. Bagaimanakah mereka
bisa memelihara wibawa aparat penegak hukum jika mereka sendiri pun menempatkan
diri di atas hukum lewat tindakan duplikasi penyidikan yang siapa pun tahu
bersifat pengecut? Ke manakah ditaruh butir ketiga misi Polri
untuk ”menegakkan hukum secara
profesional dan proporsional dengan menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak
asasi manusia menuju pada adanya kepastian hukum dan rasa keadilan”? Di sini
perilaku kalangan DPR dan saudara-saudara kita di kepolisian tak ubahnya dengan
pepatah: “Tiba di mata dipicingkan, tiba
di perut dikempiskan!”
Dalam kaitan
ini, apresiasi tulus mesti kita berikan kepada pimpinan Mahkamah Konstitusi
ketika menegaskan bahwa upaya pelemahan KPK lewat revisi undang-undang sama
sekali tak bisa dibenarkan. Sama halnya, kita pun sungguh merasa terwakili oleh
suara resi KH Said Aqil Siroj, pemimpin Nahdatul Ulama, yang baru-baru ini
memberikan peringatan kepada instansi perpajakan serta mencanangkan imbauan
”hukuman mati” bagi para koruptor kakap di Tanah Air.
Pada peringatan dan imbauan itu tebersitlah kerinduan kita bersama bagi
kebangkitan harkat bangsa dalam rangka mewujudkan ideal-ideal kemerdekaan kita.
Kita mensyukuri integritas,
kompetensi, keberanian, dan keterpaduan jajaran pimpinan KPK. Bisa dikatakan
bahwa KPK dibentuk untuk mengakhiri praktik diktum impunitas pada Orde
Reformasi. Para pemimpinnya sedang berjuang keras untuk menegakkan Rechtsstaat pada titik sentral.
Semua komponen masyarakat
beradab di Tanah Air wajib bahu-membahu mendukung tugas suci KPK untuk
memberantas para penggila korupsi sistemik di tubuh negara kita hingga ke
akar-akarnya. Di negara mana pun, wabah korupsi adalah maha-kutukan!
Sangatlah
mendesak bahwa seluruh energi nasional haruslah pertama-tama dikerahkan pada
pemberantasan kejahatan luar biasa ini. Untuk itu, kita kembali harus
menegaskan eksistensi nasion serta kemutlakannya sebagai induk dan junjungan
negara.
Kita tahu bahwa hampir semua
pelanggaran Rechts atau
penyalahgunaan kekuasaan yang menciptakan krisis multidimensi bermuara pada
korupsi. Maka, pemberantasan korupsi merupakan cara paling efektif bukan hanya
untuk mengakhiri krisis multidimensi itu, melainkan juga untuk menegakkan negara
hukum—Rechtsstaat—dalam arti kata
yang sesungguhnya. Tanpa negara hukum, nasion takkan bermartabat. Dalam konteks
kehalusan tutur kata pada kultur Jawa, peringatan dan imbauan para pemimpin NU
sesungguhnya laik dibaca sebagai seruan teramat keras kepada kawanan extraordinary bastards intranegara yang
terus bersekongkol menggarong dana Republik kita: ”Kami sudah lama jijik pada kalian! Enough is enough!”. Dan secara
tegas, kita semua beserta mereka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar