Sabtu, 25 Agustus 2012

Memaknai Potensi Urbanisasi


Memaknai Potensi Urbanisasi
Thomas Koten ;  Direktur Social Development Center
SUARA KARYA, 23 Agustus 2012


Teori-teori mengenai urbanisasi dalam pengertian umum dan sederhana sebagai perpindahan penduduk atau migrasi penduduk dari desa ke kota, sejalan dengan peribahasa ada gula ada semut. Tatkala kehidupan dan kemajuan kota kian menggiurkan, ibarat semakin manis gulanya, pada saat yang bersamaan, akan semakin banyak dipenuhi semut, dalam hal ini kaum urban. Apalagi, di saat kehidupan masyarakat desa kian sulit mencari pilihan usaha atau lapangan kerja untuk meningkatkan kehidupan yang lebih baik.

Artinya, sepanjang ada kesenjangan tingkat pendapatan dan peluang pekerjaan yang signifikan antara desa dan kota, sepanjang itu pulalah urbanisasi akan terus terjadi. Selanjutnya, tatkala kehadiran dan kemajuan kota-kota di Indonesia, khususnya Jakarta kian menggiurkan, dan peluang kehidupan di desa kian sulit, arus urbanisasi akan sulit terbendung dan jumlah kaum urban akan semakin banyak.

Dalam hal ini, ungkapan klasik, "Jakarta lebih kejam dari ibu tiri", tidak berlaku bagi mereka yang hendak ke Jakarta. Di benak para calon urbanis Jakarta, terasa Ibu Kota tetap menjanjikan penghidupan yang lebih baik alias lebih menawarkan sejuta impian yang menggiurkan dibandingkan dengan daerah lainnya.

Dalam realitasnya juga, Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia, menawarkan berbagai ragam potensi untuk mengakumulasi aset sosial, ekonomi dan fisik. Kota juga mempresentasikan kehidupan yang lebih baik, lebih terorganisir, dan terjadual, di mana pilihan kerja dan pengembangan diri lebih terbuka luas dan bervariasi yang memungkinkan aktualisasi diri secara maksimal. Kota juga menyediakan lebih banyak ide dan solusi.

Dengan semakin berbondong-bondongnya migrasi orang-orang desa menuju kota, tentu akan membuat kota-kota semakin ditimpuki banyak persoalan, makin kumuh dan problematis. Memang, semakin besar jumlah penduduk, dengan kehadiran para pendatang yang beraneka ragam di kota, terutama yang kurangmemiliki keahlian dan pendidikan yang memadai, dengan menambah kompleksitas penduduknya, akan semakin rumit masalahnya, dan semakin banyak konflik yang dihadapi.

Apalagi, ditambah dengan suatu keyakinan selama ini bahwa proses kekumuhan dan konsentrasi hidup di kota-kota besar, khususnya Jakarta disebabkan oleh membanjirnya urbanisasi. Pemerintah lalu merasa terpanggil untuk menatanya demi mendudukkan proporsi kemanusiaan, selain keinginan memperlihatkan citra asri di mata internasional. Kenyataannya juga menunjukkan kota-kota di Tanah Air, khususnya Jakarta cenderung kian tidak manusiawi, tidak nyaman, tidak menyenangkan untuk kehidupan yang berbudaya. Fenomena demoralisasi dan dehumanisasi kota di Indonesia, antara lain karena perhatian para pengelola dan pembangunannya lebih tercurah pada aspek fisik, tata ruang, dan pergulatan kepentingan ekonomi.

Tetapi, langkah-langkah yang secara formal berciri humanis itu sering berbenturan secara fisik karena memang berbeda kepentingan. Benturan itu semakin mengeras jika di balik langkah-langkah penataan sebenarnya ada rekayasa swasta yang rajin mengincar kepentingannya, yakni kepentingan ekonominya.

Seorang pakar perencana kota dari Inggris pernah mengatakan, kota merupakan ladang pertempuran ekonomi (economic battle ground). Siapa yang memiliki kekuatan finansial, dialah yang amat menentukan wajah dan nasib kota.

Dalam fenomena konflik alias perbenturan itu, biasanya kepentingan masyarakat urbanis papan bawah selalu tersudutkan. Jakarta yang dipadati mal, megamal, supermal, department store, pusat perbelanjaan (shopping centre), apartemen, perhotelan yang tumbuh bak jamur di musim hujan, dan semakin tersingkirnya pasar-pasar tradisional, dan perumahan warga, adalah indikasi dari kian tersudutnya urbanis papan bawah.

Pertanyaan yang menggelitik, kenapa harus menyingkirkan dan menyudutkan kaum urbanis, terutama kaum urbanis kelas bawah? Jawabannya klise yang muncul di balik sikap itu. Yakni, tentu karena penilaian bahwa kekumuhan yang diciptakan para urbanis serta ditambah dengan membuncahnya kriminalitas atau fenomena sosial negatif lainnya sungguh mengganggu Jakarta akibat kehadiran kaum urbanis kelas bawah itu. Para pemilik Jakarta kadang juga menerjemahkan bahwa penyudutan para urbanis demi mencegah dan membendung arus kehadiran kaum urbanis itu sendiri.

Namun, apakah alasan itu masuk akal dan bermuatan logika yang valid? Yang jelas, alasan itu kurang kuat, karena meski sering terjadi kebakaran di gang-gang kumuh, atau penggusuran dan pengejaran terhadap mereka, tetapi tak membuat para urbanis dan calon urbanis jera, meski menghadapi ancaman jiwanya.

Pertanyaan menyusul, mengapa sikap para urbanis begitu mengeras, cuek dan tidak peduli? Jawabannya, tentu karena banyak faktor yang memengaruhinya. Alasan utamanya, tentu alasan ekonomi. Kesulitan hidup di desa, alias minim dan terbatasnya lahan usaha atau lapangan kerja di desa mengakibatkan urbanisasi semakin dirasakan sebagai pilihan terakhir. Dhus, cara dan kebijakan sekeras apa pun yang diterapkan oleh para pemilik Jakarta untuk menyingkirkan kaum urbanis demi terbendungnya arus urbanisasi, tetap terasa sia-sia dan tidak mempan.

Lagi pula, bukankah kemajuan yang diraih Jakarta, khususnya pembangunan fisiknya banyak disebabkan oleh kehadiran dan jasa kaum urbanis? Oleh karena kerja keras kaum urbanis, telah berhasil dibangun gedung-gedung perkantoran atau gedung-gedung pencakar langit lainnya, seperti mal, supermal, apartemen, dan sebagainya.

Sulit dibayangkan jika kaum kelas menengah dan para terdidik di perkotaan diberikan tugas untuk membangun gedung-gedung pencakar langit, bekerja keras di terik matahari, mengangkut material bermuatan berat, memanjat tiangtinggi, dan bergelantungan di gedung-gedung bertingkat. Jadi, sulit dibayangkan jika kota-kota, khususnya Jakarta tanpa kehadiran kaum urbanis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar