Rabu, 01 Februari 2012

Indikator Kegagalan Industrialisasi dan Pembangunan Ekonomi Makro

Indikator Kegagalan Industrialisasi
dan Pembangunan Ekonomi Makro
Agus Pakpahan, INSTITUTIONAL ECONOMIST
Sumber : KORAN TEMPO, 1 Februari 2012


Saya mencoba mengingat-ingat kembali apa yang saya dengar di Denmark pada 1996. Kawan saya di sana bercerita bahwa upah buruh di negara yang paling merata tingkat pendapatan antar-warganya itu adalah US$ 20 per jam. Kalikan dengan 8 jam kerja, maka upah per hari menjadi 8x US$ 20 = US$ 160 per hari. “Besar sekali!” saya terkejut. “Ya, sangat besar, tapi harus diingat,” dia menjawab sambil memandang wajah saya dengan serius, “pajak yang dibayar oleh buruh itu adalah 80 persen,” ia melanjutkan. “Dan kami gratis mendapatkan rumah sakit, sekolah, kesehatan, rekreasi di taman-taman.” Ini merupakan ciri ideologi dan praktek di negara-negara welfare states.

Amerika Serikat dan negara berpaham ekonomi liberal pun mengajarkan kepada kita diberlakukannya kompensasi bagi penganggur (unemployment compensation). Untuk apa penganggur diberi pendapatan, padahal mereka tidak bekerja? Pertimbangan moralnya adalah bahwa mereka, sebagai orang dewasa, perlu menjaga martabatnya tidak jatuh di bawah nilai perikemanusiaan karena tidak memiliki pekerjaan. Alasan ekonominya juga kuat: lebih baik yang bersangkutan menganggur daripada dia bekerja tetapi akan membuat perkembangan ekonomi terhambat dan output ekonomi tidak efisien. Dana kompensasi bagi penganggur adalah untuk membiayai para penganggur menempuh pelatihan agar mendapatkan kesempatan kerja baru sesuai dengan perkembangan pasar dan sekaligus juga untuk membiayai mencari pekerjaan barunya itu. Negara menjalankan fungsinya secara produktif dalam membela harkat-derajat warganya.

Bahwa ekonomi harus efisien dan produktif, itu benar. Tetapi tidak berarti “harga manusia” dijadikan murah. Sebab, tidak mungkin “ikan membangun kolam”. Yang logis adalah “karena ada kolam maka ada ikan”. Ini adalah analogi antara “buruh, petani = ikan” dan “ekonomi = kolam”. Jadi, kalau buruh kita murah, karena memang ekonomi yang dibangun juga “murah”. Periksa service account dalam balance of payment ekonomi Indonesia yang selalu menunjukkan bilangan defisit, kecuali untuk perjalanan dan kiriman uang dari tenaga kerja Indonesia (remittance). Tentu saja, cerminan lainnya adalah dalam perdagangan ekspor kita, yang masih berupa hasil sumber daya alam atau hasil industri buruh murah.

Di sektor pertanian, terjadi guremisasi. Proses guremisasi adalah proses pemiskinan petani melalui penciutan skala usahanya. Menurut hasil Sensus Pertanian 2003, jumlah rumah tangga petani gurem (menguasai lahan kurang dari 0,5 ha), meningkat 2,4 persen per tahun, dari 10,8 juta pada 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga pada 2003. Petani gurem ini tersebar hampir di seluruh Tanah Air dengan gambaran sebagai berikut: jumlah rumah tangga petani gurem di Jawa Timur mencapai 3,4 juta rumah tangga, atau sekitar 25,14 persen dari total rumah tangga petani gurem di Indonesia. Daerah lain yang mempunyai banyak rumah tangga petani gurem adalah Jawa Tengah (22,98 persen), Jawa Barat (18,84 persen), dan Sumatera Utara (4,01 persen).

Fenomena yang tak kalah mengejutkannya adalah hasil Sensus Pertanian 2003 menunjukkan bahwa persentase rumah tangga petani meningkat 1,7 persen per tahun, dari 20,5 juta pada 1993 menjadi 24,4 juta pada 2003. Berapa jumlah petani gurem pada 2013 nanti? Saya memprediksi akan lebih besar lagi. Periksa pengalaman Jepang dan Korea, misalnya, jumlah petaninya berkurang sekitar 2 persen per tahun; sedangkan di Malaysia atau Thailand, jumlah petaninya berkurang sekitar 1,5 persen per penurunan 1 persen nilai PDB pertanian dalam PDB nasionalnya. Di Amerika Serikat juga sama. Karena itu, di negara maju, jumlah petani kurang dari 10 persen. Bahkan di Amerika Serikat dan Jepang, jumlah petani mencapai tingkat kurang dari 2 persen.

Jadi, jawaban guremisasi bukanlah terletak pada telah terjadinya peningkatan jumlah penduduk, melainkan karena telah terjadi kegagalan dalam industrialisasi dan pembangunan dalam sektor jasa dan keuangan serta ekonomi makro secara keseluruhan. Adamopoulos dan Restuccia (2009) menunjukkan bahwa setiap penurunan produktivitas ekonomi makro 75 persen menyebabkan peningkatan jumlah petani dari 2,5 persen ke 53 persen, dan menyebabkan penurunan luas lahan usaha tani serta produktivitas tenaga kerja pertanian dengan kelipatan lebih dari 20 kali.

Jadi, kegagalan industrialisasi dan kegagalan dalam membangun ekonomi makro pada akhirnya dipikul oleh sektor pertanian dengan para petaninya dan oleh buruh industri kita. Franklin D. Roosevelt pada 7 April 1932 menyampaikan pidato yang diberinya judul “The Forgotten Man”. Dalam pembukaannya, Roosevelt menyatakan sikap bahwa ia menempatkan diri bukan sebagai partisan politik atau wakil partai politik, “The present condition of our national affairs is too serious to be viewed through partisan eyes for partisan purposes.” Sejarah mencatat bahwa Amerika Serikat pada saat itu sedang berada dalam krisis nasional yang sangat parah.

Siapa the forgotten man? Napoleon kalah karena ia lupa pada pasukan infanterinya. Roosevelt mengatakan bahwa “infanteri” yang terlupakan oleh Washington pada waktu itu adalah para petani, buruh, dan kaum miskin lainnya. Dengan jumlah mereka lebih dari 50 persen, bagaimana mungkin ekonomi akan bergerak apabila mereka tidak memiliki pendapatan untuk mereka belanjakan? Keseluruhan ekonomi akan mati. Gagasan mengatasi masalah sosial-ekonomi the forgotten man inilah yang akhirnya membangkitkan kembali perekonomian Amerika Serikat pada waktu itu.

Bandingkan dengan pemikiran yang berkembang di Indonesia sekarang. Misalnya, pemikiran meningkatkan jumlah golongan kelas menengah. Pemikiran ini tidak ada salahnya, kecuali belum jelasnya di mana golongan kelas menengah itu? Upah buruh murah, yang merupakan kondisi sebagian besar para pekerja, tidak memungkinkan mereka membentuk kelompok pendapatan kelas menengah yang memadai, sebagaimana tergambar dalam rendahnya nilai upah minimum regional. Di pertanian, hal itu juga tidak mungkin terwujud mengingat sudah makin mengguremnya lahan para petani kita.

Kita memerlukan break through sebagaimana yang telah dihasilkan oleh para pendiri NKRI yang kita warisi ini. Kita bisa belajar dari negara-negara lain juga untuk memperkaya pemikiran kita. Tetapi semuanya itu akan kembali kepada pertanyaan: apakah kita bisa dan kuat untuk melakukan reformasi sejarah yang telah berlanjut hingga sekarang ini?

1 komentar:

  1. mantap artikelnya masbro,izin sedot buat tugas kuliah

    BalasHapus