Selasa, 21 Februari 2012

Anarkisme dan Liberalisme


Anarkisme dan Liberalisme
Bambang Setiaji, REKTOR UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
Sumber : SINDO, 21 Februari 2012



Apakah yang menghubungkan kemelut Front Pembela Islam (FPI), kekerasan di Freeport, Mesuji,dan Sape,money politic di Partai Demokrat—yang sebenarnya juga terjadi di setiap partai,serta korupsi yang tidak jera-jeranya?

Lalu apakah benang merah antara kesemuanya itu dengan kepemimpinan transaksional yang tidak bertanggung jawab dan berorientasi pribadi, budaya hedonis yang ditampakkan generasi muda, dan kelompok yang berebut untuk menjadi keamanan swasta dan bisnis-bisnis sekitar ini? Yang menghubungkan daftar panjang tersebut adalah kehidupan liberal yang diperkenalkan sejak reformasi.

Kebebasan kita melampaui guru-guru kita di Barat katakanlah Amerika sebagai guru liberalisme. Kegagalan para pengusung demokrasi sejak reformasi adalah membiarkan demokrasi tanpa batas dalam waktu yang lama—12 tahun—membuat rakyat tidak sabar. Demokrasi semacam ini tak ditemukan bahkan di negara asalnya. Lihatlah dalam bidang politik di mana ikatan koalisi diliputi saling tikam,oposisi yang tidak objektif, serta tidak terdapatnya kepemimpinan yang efektif.

Tujuan politik luhur untuk menyejahterakan rakyat yang sebetulnya bisa melanggengkan kekuasaan dikalahkan oleh tujuan melestarikan kekuasaan belaka sebagaimana dapat dikaitkannya kasus Nazaruddin,Angie,dan kaitankaitannya. Pola atau fenomena ini sebenarnya tidak khusus, tapi merupakan pola umum.

Kebebasan yang sangat hedonistis dalam bidang lifestyle yang umumnya terjadi di negara bebas meresahkan masyarakat yang ingin mempertahankan jati diri bangsa dan kelompok agama. Pengusung demokrasi tidak pernah menentang ini semua. Padahal masalah ini menakutkan mayoritas komunitas bangsa yang memandang anarkisme dan fundamentalis demokrasi sebagai dua ekstrem, pada satu titik anarkisme dan liberalisme tanpa batas adalah sama.

Arah demokrasi seperti ini sudah benar-benar menyimpang dari impian para founding fathers sebagaimana dibayangkan bentuknya dalam UUD 1945 sebelum amendemen. Para penyeru untuk kembali ke UUD 45 bukan tidak beralasan, kebebasan kita belum pernah ditemukan dalam sejarah negara bebas sampaisampai tanpa arah.

Para penyeru itu mungkin dapat dikaitkan dengan politisi PDIP dan sekelompok independen yang kini aktif di kampus-kampus. Menyebut salah satunya walaupun tidak saling berkaitan adalah Prof Sofyan Effendy,mantan rektor UGM, sebagai ilmuwan, Jenderal Saurip Kadi dari militer, sebarisan budayawan seperti Pong Harjatmo,sekelompok ekonom yang paling keras almarhum Mubyarto,serta murid pelanjutnya, Dr Revrisond Baswir.

Para ekonom oposan diwakili oleh yang paling konsisten mantan menteri keuangan Dr Rizal Ramli dan Dr Hendri Saparini. Para ekonom yang tergabung dalam Ikatan Ahli Ekonomi Syariah, di UI Prof Mustofa Edwin,di BI Muliaman Hadad, di Universitas Trisakti almarhum Prof Sofyan Safri Hararap, di UIN Jakarta Dr Agustianto, di UGM Prof Bambang Sudibyo dan Dr Anggito Abimanyu.

Kesemuanya secara pribadi dan intelektual mendukung ekonomi dan perbankan syariah. Hal tersebut merupakan titik-titik pencarian perbatasan dari negara superbebas khususnya yang terwujud dalam demokrasi politik dan ekonomi dewasa ini.

Kebablasan

Begitu banyak contoh bahwa liberalisme kita yang kebablasan. Dalam bidang keuangan negara misalnya, ciri dari penganut fundamentalisme pasar adalah terlihat dari pembagian kue APBN dengan diutamakannya sektor bisnis besar. Sektor yang terkait politisi dan sektor yang menguntungkan birokrasi itu sendiri serta tentu saja kebalikannya, diabaikannya kebutuhan rakyat.

Pada saat anggaran negara menyentuh Rp1.300 triliun, anggaran langsung untuk rakyat belum dapat diandalkan. Di negara-negara yang mapan demokrasinya bahkan anggaran pensiun, kesehatan, sekolah, dan program sosial justru sudah terlalu besar sehingga membuat persoalan tersendiri yaitu membengkaknya utang. Namun, utang mereka sangat legitimate karena bertujuan untuk kebaikan kepada rakyat.

UUD 1945 sebenarnya tidak didesain sebagai negara sangat bebas seperti ditemukan sekarang. Kebebasan ini juga disalahartikan oleh sekelompok orang, LSM yang mungkin dibantu asing.Karena demokrasi, kebebasan ekonomi, ratifikasi hukum perlindungan modal, dan hak cipta dari berbagai temuan negara maju disertai keterbukaan terhadap modal asing sangat menguntungkan pihak asing untuk menguasai bisnis-bisnis utama.

Melalui kolaborasi bisnis,budaya hedonis, dan politik kebebasan arah Indonesia menjadi bumper yang sangat penting untuk kemakmuran negara inti. Kebebasan dan aparat yang lemah juga ditunggangi kelompok bisnis bawah tanah yang bergerak di bidang bisnis hiburan dan yang menyerempet bisnis bawah tanah.

Sebabnya adalah negara menjadi terlalu bebas dan menjadi sangat dekat dengan anarkisme itu sendiri. Negara menjadi kehilangan legitimasi untuk menghalangi anarkisme yang lahir pada awal reformasi sebagai keseimbangan antarkelompok yaitu lahirnya berbagai laskar baik yang on ground maupun under ground.

Bagaimanapun biaya reformasi ini bagaimanapun lebih murah dibanding misalnya kemelut di Timur Tengah. Kendati demikian, tidak berarti bahwa pembelokan kepada negara super bebas legitimate, seperti anarkisme juga tidak legitimate, karena mengganggu proses pembentukan masyarakat sipil. Juga perlu dicatat bahwa jati diri sangat penting dari sekadar kemajuan tanpa identitas.

Anarkisme dalam arti luas adalah dilanggarnya konsensus. Untuk negara Indonesia konsensus pada awal kemerdekaan adalah dibentuknya negara bebas terbatas di mana Tuhan dan agama menjadi pengarah negara sebagaimana konsensus antara negara Islam dan negara nasional. Sementara itu terdapat konsensus ekonomi liberal dan program kesejahteraan, peran swasta dan negara, antara federalisme dan kekuasaan pusat, serta konsensuskonsensus lain.

Upaya menunggangi kebebasan dan demokrasi keluar dari konsensus sungguh tidak menguntungkan misalnya munculnya wacana kembali kepada UUD 45 sebelum amendemen karena kesalahan pengusung demokratisasi yang salah arah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar