Simalakama PPPK:
Fleksibilitas Pasar Kerja Sektor Publik
Alih Aji Nugroho : Dosen
Politeknik STIA LAN Jakarta Mahasiswa S3 FIA UB
SINDONEWS, 29
Juli
2022
Jumlah PNS
akan berkurang drastis, frasa tersebut ramai diperbincangkan belakangan ini
dan menjadi perhatian masyarakat. Beberapa hari yang lalu, pada Rakornas
Kepegawaian, Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) menyatakan dengan tegas,
komposisi PNS ke depan akan semakin berkurang dan akan lebih banyak diisi
oleh Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Pada awal
2022, BKN merilis data statistik Aparatur Sipil Negara (ASN) yang meliputi
data PNS dan PPPK periode 2021. Dari data tersebut, BKN mencatat adanya
penurunan jumlah PNS sebesar 4,1 persen atau sejumlah 3.995.634 (Desember
2021), dibandingkan jumlah PNS tahun 2020 sebesar 4.168.118. Sedangkan jumlah
PPPK naik mencapai 50.553 pada akhir 2021. Kondisi ini menjadi penanda
pergeseran pengelolaan kepegawaian sektor publik di Indonesia yang lebih
fleksibel. Rezim pegawai negeri abadi mulai berubah. Perbedaan paling
mendasar PNS dengan PPPK yaitu pegawai di pemerintahan tidak lagi bersifat
permanen, namun relasinya bersifat temporer. Karena berifat permanen, PNS
memiliki jenjang karier, dan PPPK tidak. Mudahnya, PNS bisa dianalogikan
sebagai pegawai tetap dan PPPK merupakan pegawai kontrak. Apakah ini menjadi
sebuah peluang, atau sebuah tantangan? Apakah akan menciptakan efisiensi atau
justru tragedi? Visi Sistem PPPK Pergeseran
paradigma kepegawaian dari yang kaku (PNS) menjadi lebih fleksibel (PPPK)
dimulai secara formal sejah disahkan UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN.
Berdasarkan pasal 6 dan 7, ASN terbagi menjadi dua jenis kepegawaian yakni
Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diangkat sebagai pegawai tetap dan Pegawai
Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). PPPK lahir
sebagi jawaban dari kebutuhan mendesak akan sumber daya manusia yang mumpuni
dan profesional yang kompetensinya tidak banyak didapatkan pada PNS. Pada beberapa
jabatan atau posisi yang membutuhkan tenaga profesional bisa meng–hire secara
temporer dari ahli yang notabene tidak suka dengan relasi kerja yang kaku dan
permanen. PPK yang berlatar belakang profesional dianggap mampu menyelesaikan
pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus secara cepat sehingga ketika
pekerjaan selesai maka kontrak PPPK dapat diseselasikan sehingga negara tidak
menanggung beban aparatur yang berat. Pada peraturan
turunan dari UU ASN, yaitu PP 49 Tahun 2018 tentang manajemen PPPK, secara
jelas terlihat PPPK tidak memiliki jenjang karir. Perjanjian kerja bisa
dibuat hanya satu tahun dan untuk jabatan pimpinan tinggi maksimal 5 tahun.
Dalam pengembangan kompetensi hanya sebagai pengayaan tidak dijadikan
prioritas. Terlihat bahwa orang profesional yang diharapkan masuk sebagai
pegawai pemerintah dengan mekanisme PPPK. Sebagai contoh konkrit, misalnya
dibutuhkan ahli di bidang 3D Designer di Kominfo maka bisa hire ahli
profesional yang berasal dari privat, katakanlah grapich designer yang telah
bekerja di Disney. Dengan durasi waktu tertentu setelah knowledge dari ahli
tersebut sudah ditransfer di Kominfo maka kontrak bisa diselesaikan / tidak
diperpanjang. Atau misalnya di salah satu kedeputian Kantor Staf Presiden
membutuhkan pemimpin dengan pemahaman ekonomi makro dan pembangunan, maka
bisa ’meminta’ ahli kebijakan ekonomi senior yang telah menjadi dosen di
salah satu universitas di Inggris dalam kurun waktu tertentu. Fleksibilitas pasar kerja Namun, kondisi
di lapangan nampak jauh panggang dari api. Rekrutmen besar yang dilakukan
pada mekanisme PPPK sejauh ini yang terlihat jelas adalah pengisian jabatan
Guru. Mayoritas Guru yang berasal dari honorer dan tidak lolos atau tidak
memenuhi syarat mendaftar menjadi PNS. Profesionalitas yang menjadi visi
rekrutmen PPPK menjadi dipertanyakan, ditambah data menunjukkan 9% dari
pegawai PPPK saat ini berpendidikan SMP-SMA. PPPK menjadi second option para
pencari kerja yang gagal menjadi PNS. Sehingga tidak berlebihan jika banyak
yang menganggap kehadiran PPPK tidak lebih dari istilah baru dari pegawai
tidak tetap, honorer, atau tenaga kontrak yang selama ini dipakai instansi
pusat maupun daerah untuk memenuhi kebutuhan SDM dengan cepat. Pola rekrutmen
PPPK melalui portal CASN sama persis dengan rekrutmen CPNS. Bedanya, setelah
lulus PPPK tidak akan mendapatkan Nomor Induk Pegawai seperti PNS. Mereka
hanya mendapatkan Nomor Induk PPPK yang bersifat temporer. Trend
fleksibilitas pasar kerja secara global sudah lama terjadi. Perubahan relasi
kerja yang lebih lentur dianggap lebih efisien. Di sektor privat, relasi ini
yang masif digunakan, tenaga kerja tetap diubah menjadi tenaga kontrak,
outsourcing, harian lepas, tidak jarang juga disebut mitra. Dengan relasi
tersebut, hak-hak kepegawaian menjadi lebih rendah dan mengurangi cost.
Selain itu pemberi kerja bisa dengan mudah mengontrol pegawainya. Dari sisi
pegawai, relasi kerja yang fleksibel sangat berbahaya. Tidak ada jaminan dan
kepastian kerja. Pegawai ASN dengan sistem PPPK menjadi pegawai dengan
perjanjian kerja waktu tertentu, yang bisa diberhentikan atau tidak
diperpanjang kontrak sewaktu-waktu. Pada sistem PPPK juga tidak ada uang
pesangon atau pensiunan seperti PNS. Layaknya di
sektor privat, fleksibilitas kerja yang terbangun membuat pegawai semakin
rentan, atau meminjam istilah Guy Stunding (2009) menjadi angkatan precarious
workers. Unsecurity job
di sektor publik ini perlu menjadi perhatian serius. Pemerintah dalam rangka
melakukan modernisasi sistem pemerintahan melalui pergeseran status pegawai
mulai 2023 PNS direncanakan berjumlah 20%, sementara 80% nya adalah pegawai
dengan status PPPK. Harus dipahami bersama, manajemen sektor pemerintahan
dengan sektor privat sangat jauh berbeda. Tujuan utama pemerintahan adalah
menciptakan kesejahteraan untuk masyarakat. Sedangkan privat tujuan utamanya
untuk mencari keuntungan, sehingga efisiensi menjadi pertimbangan utama. Jika
trend ini terus dilanjutkan, maka visi awal munculnya sistem PPPK tidak akan
tercapai dan malah menjadi ancaman bagi generasi muda. Bekerja di sektor
publik masih menjadi primadona bagi angkatan kerja di Indonesia. Salah satu
alasan utamanya karena menjadi pegawai pemerintah (PNS) terdapat kepastian
dan keamanan masa tua. Bonus demografi yang dimiliki oleh Indonesia akan menghadapi
relasi kerja yang rentan. Dari sisi
anggaran, penerapan sistem PPPK seperti yang ada sekarang juga problematis.
Pemerintah melakukan rekrutmen besar-besaran melalui sistem CASN, barang
tentu membutuhkan anggaran besar, hanya untuk pegawai dengan durasi kerja
yang pendek. Pemerintah perlu meninjau ulang pelaksanaan PPPK. Visi munculnya
PPPK yang mengharapkan birokrasi pemerintah diisi oleh orang-orang
profesional menjadi bias. Mekanisme PPPK menjadi buah simalakama, jika tidak
berhati-hati, alih-alih menciptakan birokrasi yang profesional, malah
menciptakan ancaman baru bagi generasi muda yaitu kerentanan kerja. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar