Presiden,
Konflik Agraria, dan Aktivis ’98 Gunawan: Penasihat
Senior IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice); Steering
Committee KNPK (Komite Nasional Pertanian Keluarga); Dewan Nasional SPKS
(Serikat Petani Kelapa Sawit); dan Dewan Pengawas Bina Desa Sadajiwa |
KOMPAS, 29 Juli 2022
Presiden Joko
Widodo bertemu dengan aktivis ’98. Pertemuan tersebut salah satunya membahas
penyelesaian konflik agraria. Presiden juga meminta para aktivis membantu
permasalahan tanah, yakni dengan meminta aktivis untuk aktif berkoordinasi
dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
(Kompas.com, 15/7/02). Dari pemberitaan sebagaimana tersebut di atas dapat
ditarik sejumlah pertanyaan. Pertama, apakah tipologi aktivis ’98 terkait dengan
konflik agraria? Kedua, jika terkait, bagaimana komunikasi politiknya dengan
Kementerian ATR/BPN? Tipologi gerakan Aktivis ’98 adalah aktivis gerakan mahasiswa yang
memiliki keterkaitan dengan genenalogi gerakan mahasiswa tahun 1990-an.
Tipologi gerakan mahasiswa (student movement) berbeda dengan protes mahasiswa
(student protest) sebagaimana berikut. Pertama, gerakan mahasiswa bermaksud menumbangkan
rezim Orde Baru, bukan sekadar memprotes supaya ada koreksi sehingga gerakan
mahasiwa meletakkan strategi gerakannya kepada struktur fondasi rezim Orde
Baru, yaitu Presiden Soeharto, Dwifungsi ABRI, dan lima Paket UU Politik.
Gerakan mahasiswa, dalam penelitian LIPI (sekarang menjadi BRIN), disebut
sebagai Gerakan Anti-Orde Baru, untuk membedakan dengan Gerakan Koreksi Orde
Baru (Muridan S Widjojo, et al; 1998). Kedua, gerakan mahasiswa 1990-an melakukan advokasi
kepada kasus-kasus rakyat, khususnya konflik agraria dan perburuhan. Strategi
kultural ini mengakibatkan gerakan mahasiswa 1990-an bagian dari proses
sejarah kelahiran kembali gerakan petani dan gerakan buruh. Sejarah gerakan petani sejak era pemberontakan
petani Banten tahun 1888 tidak hanya berisi petani, tetapi juga aktor-aktor
nonpetani (Sartono Kartodirdjo; 1984), hingga kini gerakan petani didukung
oleh gerakan mahasiswa dan organisasi masyarakat sipil yang terkait dengan
genealogi gerakan mahasiswa 1990-an. Gerakan petani kemudian mengambil momentum Reformasi
1998 untuk menjadikan reforma agraria, penyelesaian konflik agraria,
kedaulatan pangan, dan hak asasi petani, serta pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-dasar Pokok Agraria (UUPA 1960)
sebagai agenda konsolidasi demokrasi. Atas desakan gerakan petani, reforma agraria
kemudian menjadi kebijakan negara sejak diatur dalam Tap MPR No IX/MPR/2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Gerakan Petani
juga sering melakukan pengujian materiil undang-undang yang menghalangi
reforma agraria sehingga menghasilkan putusan Mahkamah Konstitusi yang
memberikan landasan konstitusional bagi reforma agraria, penyelesaian konflik
agraria, hak petani, dan kelembagaan petani. Koordinasi pelaksanaan Penyelesaian konflik agraria menjadi salah satu
agenda prioritas Presiden Jokowi. Realisasinya berupa Presiden Jokowi
membentuk regulasi penyelesaian konflik agraria, yaitu Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam
Kawasan Hutan, Instruksi Presiden (Inpres) No 8/2018 tentang Penundaan
Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Kelapa
Sawit, Perpres No 86/2018 tentang Reforma Agraria, dan Inpres No 6/2019
tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjuan Tahun
2019-2024. Presiden Jokowi juga memimpin langsung rapat terbatas
bidang permasalahan pertanahan, bertemu dengan perwakilan gerakan tani,
menyerahkan sertifikat hak atas tanah kepada masyarakat, dan mengganti
menteri dan wakil menteri ATR/BPN. Dari sisi gerakan petani, permasalahan konflik
agraria telah dilaporkan dan mengusulkan mekanisme alternatif penyelesaian
konflik agraria kepada Presiden, Kantor Staf Presiden, Kementerian ATR/BPN,
dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Proses ini ditempuh melalui
perjuangan yang berat. Ketidaksingkronan kemudian terjadi karena gerakan
petani tidak terakomodasi dalam kelembagaan reforma agraria sebagaimana
diatur dalam Perpres Reforma Agraria. Dengan demikian, tidak bisa sebagai
mitra Presiden dalam menjaga kinerja kementerian/lembaga, TNI-Polri, dan
pemda dalam pencapaian target reforma agraria. Konstitusionalitas reforma agraria Di sisi lain ada perbedaan antara presiden dan
gerakan petani dalam target reforma agraria. Target pemerintah porsinya lebih
besar pada sertifikasi tanah masyarakat, dan porsi lebih kecil untuk
redistribusi tanah yang bersumber pada tanah telantar, eks HGU, dan pelepasan
kawasan hutan. Namun, ada juga dampak kebijakan pemerintah yang justru
melanggengkan penyebab konflik agraria. Gerakan petani mengartikan reforma agraria sebagai
pembaruan struktur penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agraria yang
timpang. Reforma agraria tidak hanya diartikan sertifikasi dan bagi-bagi
tanah, tetapi menciptakan struktur agraria yang berkeadilan sosial yang mampu
mengakhiri dan mencegah konflik agraria. Visi ini sesungguhnya sesuai dengan
konstitusi, Tap MPR, dan undang-undang. Mandat Pasal 33 UUD 1945 dimaknai oleh Mahkamah
Konstitusi di dalam putusan pengujian UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal,
”pendistribusian kembali pemilikan atas tanah dan pembatasan pemilikan luas
tanah pertanian sehingga penguasaan atau pemilikan tanah tidak terpusat pada
sekelompok orang tertentu”. Pendapat MK ini sesungguhnya telah diatur di
dalam UUPA 1960. TAP MPR No IX/MPR/2001 dan UU 41/2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan juga menyatakan bahwa reforma
agraria berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan,
dan pemanfaatan sumber daya agraria, Berdasarkan uraian di atas, diperlukan pembaruan
hukum aturan pelaksanaan landreform, yaitu perubahan Perpres Reforma Agraria,
yang tidak saja memberikan ruang bagi gerakan petani dan aktivis ’98’98 dalam
kelembagaan reforma agraria, juga memperbarui mekanisme dan sasaran reforma
agraria sehingga cita cita reformasi tahun 1998 berhasil mendemokratiskan
struktur agraria. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/27/presiden-konflik-agraria-dan-aktivis-98 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar