Rudapaksa
dan Perkosa Nazarudin: Pengajar
di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI |
KOMPAS, 26 Juli 2022
Belakangan ini di media sosial ramai diperbincangkan
penggunaan kata rudapaksa sebagai padanan perkosa. Kata rudapaksa sendiri
pada awalnya diusulkan Prof Dr Prijana pada sidang Komisi Istilah sebagai
padanan atas istilah hukum gewelddadig, pada istilah gewelddadige aanslag
’makar rudapaksa’ dan gewelddadige dood ’mati rudapaksa, mati karena
kekerasan’. Dalam konteks itu, kata rudapaksa lebih identik dengan
makna ’kekerasan’. Makna ini kemudian digunakan dan diperkuat pula pada
bidang lain, misalnya kedokteran. Selain makna ’kekerasan’, pada bidang ini
berkembang pula makna ’trauma’. Hal ini terlihat dari bentuk penggunaan
rudapaksa pada kepala yang berarti ’trauma capitis’. Berdasarkan hal ini, medan makna yang berkembang
untuk kata rudapaksa adalah ’kekerasan’ dan ’trauma’. Makna ini paling tidak
bertahan di KBBI I (terbit 1988) dan KBBI II (1991). Lalu, dalam Edisi Ketiga
(2001), definisi rudapaksa berubah menjadi ’paksa; perkosa’ dan bertahan
hingga saat ini dalam KBBI V. Namun, jika kita lihat penggunaan rudapaksa dalam
data Leipzig Corpora, kata ini masih berkisar pada makna ’kekerasan’ dan
’trauma’, bukan bermakna ’perkosa’. Kalaupun ada, kemunculannya masih sedikit
sehingga belum tercatat. Di sisi lain, masih belum jelas sebenarnya alasan
perubahan definisi tersebut di KBBI. Saya meyakini, ada alasan yang kuat
kenapa definisi tersebut kemudian menambah definisi ’perkosa’ di dalam
definisi kata tersebut. Dalam KBBI V, kata perkosa dimaknai sebagai
’menundukkan dengan kekerasan; memaksa dengan kekerasan; menggagahi;
merogol’. Sementara jika kita merujuk pada data di Leipzig Corpora, kata ini
sangat erat kaitannya dengan tindakan ’pemaksaan untuk bersetubuh’. Di dalam data tersebut, kata perkosa juga lebih
banyak berdampingan dengan kata korban, anak, gadis, dan wanita. Jadi, cukup
terlihat adanya hubungan relasi kuasa pada kata perkosa. Hal ini juga sejalan dengan definisi perkosaan yang
tertera pada Pasal 285 KUHP: ”Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia,
dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas
tahun”. Patut diakui ada keterkaitan makna ’paksaan’ antara
rudapaksa dan perkosa. Namun, kedua kata tersebut tidak 100 persen
bersinonim. Keduanya tidak bisa saling menggantikan dan berdistribusi secara
bebas. Ada unsur makna yang sebenarnya sejak awal tidak
terdapat pada kata rudapaksa, yaitu unsur makna ’hubungan seksual’ atau
’bersetubuh’. Sementara unsur makna tersebut melekat erat pada kata perkosa.
Dengan kata lain, ada unsur rudapaksa dalam sebuah pemerkosaan, tetapi belum
tentu terdapat unsur makna ’hubungan seksual’ dalam rudapaksa. Merujuk pada awal pengusulan kata rudapaksa, dapat
pula dikatakan bahwa pemerkosa bisa disebut sebagai perudapaksa, tetapi
perudapaksa belum tentu pemerkosa. Bagaimana jika kita menggunakan rudapaksa sebagai
sinonim kata perkosa? Saya kurang sependapat karena ada salah satu bagian
unsur makna utama yang terdapat pada kata perkosa yang tidak ada pada kata
rudapaksa. Tentunya, harus diakui bahwa pada awalnya rudapaksa
diusulkan bukan untuk menjadi sinonim perkosa. Perlu pula kita perhatikan
bersama bahwa tidak ada dua kata yang benar-benar secara penuh bersinonim
satu sama lain. Penggunaan kata rudapaksa sebagai sinonim perkosa malah dapat
memperhalus makna yang sudah ada. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/22/rudapaksa-dan-perkosa |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar