Prospek Perdamaian Afghanistan
Pada 7 September 2019, dunia dikejutkan berita pembatalan perundingan damai antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dengan pimpinan Taliban dan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani di Camp David. Menurut rencana, perundingan dilakukan pada 9 September, dua hari menjelang peringatan tragedi 9/11. Pembatalan, antara lain, karena tewasnya seorang prajurit AS bersama 11 orang lain di Kabul akibat bom bunuh diri yang dilakukan Taliban.
Posisi Taliban
Dalam rangka perundingan perdamaian ini, posisi tawar Taliban cukup kuat. Di samping de facto menguasai 30-40 persen wilayah Afghanistan, Taliban memperoleh dukungan dari Pakistan. Setelah melakukan sembilan putaran perundingan di Doha, Qatar, antara AS dan Taliban, Utusan Khusus AS untuk Afghanistan Zalmay Khalilza menyatakan sejumlah kesepakatan secara prinsip telah dicapai. Langkah berikutnya, perundingan di Camp David diharapkan menjadi titik kulminasi di mana kesepakatan segitiga AS-Taliban-Afghanistan secara resmi dideklarasikan.
Meski rincian perkembangan hasil perundingan belum terbuka untuk publik, sikap dasar Taliban sudah jelas: tak mengakui pemerintahan Ghani. Taliban menolak berunding langsung dengan Pemerintah Afghanistan. Taliban juga menentang rencana penyelenggaraan pemilu oleh pemerintah sampai tercapainya kesepakatan damai. Diperkirakan, salah satu usulan Taliban dalam perundingan dengan AS berupa pembatalan pemilu. Persoalannya, apakah usulan ini diterima Pemerintah Afghanistan?
Tuntutan lain Taliban berupa pembebasan tahanan politik yang berada di tangan AS ataupun Pemerintah Afghanistan. Tukar-menukar tahanan atas dasar prinsip resiprositas perlu dilakukan meski dalam praktiknya tidak mudah.
Sebagaimana diberitakan media, pengeboman 5 September lalu di dekat Kedutaan Besar AS dilakukan Taliban. Sejumlah analis memperkirakan, pengeboman dilakukan dengan maksud meningkatkan daya tawar dalam perundingan Camp David. Namun, tindakan ini justru kontraproduktif. Perundingan batal akibat kejadian itu.
Sikap pemerintah
Sikap Pemerintah Afghanistan terhadap proses perundingan AS-Taliban sangat pesimistis. Mereka tak yakin Taliban bersedia menghentikan tindak kekerasan seperti dilakukan selama ini.
Pemerintah juga meragukan Taliban bersedia mengambil jarak dengan Al Qaeda dan NIIS. Karena itu, pemerintah mengambil prakarsa untuk menyelenggarakan pemilu pada 28 September guna menunjukkan kedaulatan dan keabsahan pemerintah nasional.
Melalui pemilu ini, pemerintahan Ghani berupaya memperoleh legitimasi dari rakyat sekaligus meminggirkan peran Taliban dalam kehidupan politik. Pemerintah takut, Taliban akan berkuasa kembali di Afghanistan. Di pihak lain, Taliban menentang pemilu dan cenderung tetap menggunakan kekerasan untuk menekan pemerintah sejauh kesepakatan gencatan senjata belum tercapai.
Di atas semuanya, hal yang paling dikhawatirkan pemerintah adalah implikasi dari penarikan pasukan AS dan penutupan pangkalan militer AS. Apabila AS benar melakukan hal ini, tak mustahil tindak kekerasan oleh Taliban dan elemen terorisme di dalam negeri akan kian meningkat.
Pemerintah Afghanistan sangat berharap adanya dialog internal dengan Taliban dan faksi-faksi lain (intra-Afghan dialogue) guna mencari titik temu dalam mewujudkan perdamaian abadi.
Hal ini pernah disampaikan Presiden Ghani, tetapi gayung tak bersambut. Realitas masyarakat yang multietnis dan kuatnya peran war-lords menjadi salah satu kendala mewujudkan power-sharing yang diterima semua pihak.
Kepentingan AS
Pada mulanya, kehadiran AS di Afghanistan 18 tahun lalu terutama bertujuan menghancurkan Al Qaeda dan menjatuhkan pemerintahan Taliban. Invasi AS ke Afghanistan ketika itu sebagai reaksi atas peristiwa 11 September 2001 yang diduga dilakukan Al Qaeda di bawah pimpinan Osama bin Laden. Dalam perkembangannya, misi AS meluas, seperti pembentukan pemerintahan baru, pengembangan demokrasi, pendidikan bagi kaum wanita, dan larangan produksi opium.
Berhubung setelah 18 tahun stabilitas tidak kunjung terwujud, Trump dalam janji kampanyenya menyatakan akan menarik 5.400 dari 14.000 anggota pasukan AS dan menutup sejumlah pangkalan militer di Afghanistan. Pertimbangannya, selain banyaknya jumlah prajurit AS yang tewas, anggaran untuk kebutuhan militer AS di Afghanistan sangat besar.
Atas dasar ini, AS menginisiasi perundingan di Doha yang berlanjut pada rencana perundingan di Camp David. Perundingan Camp David yang bersifat rahasia dapat ditafsirkan sebagai arena politik bagi Trump menghadapi pilpres 2020. Jika perundingan damai sukses, diharapkan publik AS melihat Trump sebagai dealmaker yang berhasil.
Mewujudkan perdamaian di Afghanistan bukan pekerjaan yang mudah. Apabila AS kali ini tidak mengambil inisiatif untuk membuka perundingan baru, niscaya perdamaian hanya tinggal impian. Bahkan, lebih jauh, eksistensi Afghanistan sebagai negara berdaulat boleh jadi terancam. Mungkin dapat dipertimbangkan, perundingan baru nantinya perlu melibatkan Pakistan karena negara ini memegang sebagian kartu Taliban.
A Agus Sriyono ; Diplomat Senior dan Pemerhati Masalah Internasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar