TATA KELOLA BUMN
”Quo Vadis” Tata Kelola BUMN
Integritas, transparansi, dan perang melawan korupsi harus menjadi bagian dari budaya (Angel Gurria, Sekjen OECD)
Dalam beberapa waktu terakhir ini publik dikejutkan dengan beberapa aksi operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjerat direksi BUMN. Bukan hanya anggota direksi, direktur utama juga terjerat. Perusahaan pelat merah yang terlibat juga bervariasi, ada yang Perum, Persero bahkan BUMN Tbk. Hal miris ini juga terjadi di salah satu holding BUMN besar. Ini menimbulkan pertanyaan besar, apa yang salah dengan tata kelola BUMN?
Sesuai dengan UU Perseroan Terbatas (PT), tugas dewan komisaris adalah memastikan bahwa tindakan eksekutif (dewan direksi) sudah sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG). Untuk menjalankan fungsinya dengan efektif, dewan komisaris diberi alat kelengkapan lainnya, seperti komite audit.
Kementerian BUMN juga telah mengatur perilaku BUMN dengan pedoman tata kelola BUMN sesuai dengan Peraturan Menteri BUMN PER-01/MBU/2011. Aturan ini secara jelas telah mengatur bagaimana perusahaan negara harus dikelola sesuai prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keadilan. Untuk mengukur level GCG BUMN, setiap tahun mereka juga harus diaudit oleh konsultan independen GCG.
Sebelum diangkat jadi direksi BUMN, setiap calon direksi BUMN juga harus menandatangani pakta integritas. Pakta integritas ini mengatur bagaimana perilaku direksi pelat merah dalam mengelola BUMN. Secara garis besar hal yang boleh dan tak boleh dilakukan dinyatakan secara eksplisit.
Namun, dalam implementasinya beberapa oknum pejabat BUMN memaknai pakta integritas laksana deretan kata tanpa makna.
Akar masalah
Berdasarkan ASEAN Governance scorecard 2015, penilaian terhadap 100 perusahaan Tbk di Indonesia mencapai skor 62,88. Salah satu kelemahan perusahaan Tbk di Indonesia ada pada aspek tanggung jawab dewan komisaris (responsibilities of the board).
Disebutkan perlunya upaya perbaikan kinerja dewan pengawas (komisaris) dalam mengawasi dewan direksi. Direkomendasikan juga upaya memperkuat struktur dewan komisaris dengan memperbanyak jumlah anggota komisaris independen. Pada laporan kinerja 2017 skor GCG Indonesia naik jadi 70,59. Namun, isu tata kelola yang baik tetap jadi perhatian untuk perbaikan.
Ekosistem pengelolaan BUMN yang melibatkan multi-pemangku kepentingan dengan kepentingan yang berbeda-beda menjadi tantangan tersendiri. BUMN tak hidup dalam udara hampa. Mereka bukan saja berurusan dengan regulator di Kementerian BUMN, melainkan juga berhadapan dengan DPR, kementerian/lembaga (K/L), pemerintah daerah, klien, serta berbagai komponen publik lain.
Sepanjang ekosistem ini belum bersih sepenuhnya dari praktik KKN, kemungkinan BUMN terpapar praktik bisnis ”tidak bersih” termasuk korupsi, sangat terbuka.
Kurang berjalannya fungsi pengawasan dewan komisaris bisa disebabkan sistem pengawasan tak berjalan dengan baik, tak ada indikator peringatan dini, atau bahkan kualifikasi anggota dewan komisaris tak memenuhi syarat.
Kelemahan sistem, misalnya KPI yang tak mengatur secara kode etik bagaimana target penjualan bisa dijalankan. Benak pimpinan BUMN dijejali target nilai penjualan tanpa peduli, apakah caranya melanggar aturan hukum yang berlaku.
Terkait rangkap jabatan dewan komisaris yang terkadang mengakibatkan terjadinya benturan kepentingan atau keterbatasan waktu dalam pengawasan BUMN juga perlu dapat perhatian serius.
Prinsipnya, anggota dewan komisaris harus profesional di bidangnya dan memiliki waktu cukup. Sebagai perbandingan, dalam satu diskusi di Beijing tahun lalu antara LMUI dan SASAC (komisi pengawas BUMN China) disampaikan, SASAC menempatkan pejabat tinggi negara (petugas partai) dalam struktur BUMN China untuk fungsi pengawasan dalam rangka menjamin tercapainya target BUMN. Kalau terlibat korupsi yang signifikan hukuman maksimal bisa dibelakukan, termasuk hukuman mati.
Formalitas pengukuran GCG perusahaan milik negara juga mungkin saatnya diubah. Paradigma pengukuran GCG sebagai syarat formal kinerja BUMN mesti diubah orientasinya. Bukan skor GCG yang dituju, melainkan bagaimana supaya kultur perusahaan dan perilaku anggota bisa diwarnai prinsip tata kelola yang baik. Integritas bukan sekadar slogan, melainkan melekat dalam perilaku semua anggota organisasi perusahaan.
Alternatif solusi
Proses asesmen calon direksi BUMN yang sudah berjalan beberapa tahun terakhir harus lebih disempurnakan. Terutama dalam analisis terkait kompetensi integritas, kepemimpinan visioner, dan pengambilan keputusan strategis.
Mungkin asesmen ini juga perlu diperluas ke calon anggota komisaris BUMN. Seperti praktik tata kelola di Temasek Singapura, jumlah dewan pengawas independen bisa ditambah lebih banyak. Mereka direkrut dari kalangan profesional dengan pengalaman bisnis andal sehingga bisa diandalkan sebagai bagian dari dewan komisaris yang efektif.
Sistem monitoring pengawasan BUMN diperbaiki lebih baik. Berbagai indikasi praktik kecurangan di BUMN yang sudah dinotifikasi pihak BPK atau kantor akuntan publik yang ditunjuk perlu ditindaklanjuti dengan cepat dan lugas untuk mencegah kejadian berulang. UU Tipikor mengatur korupsi BUMN tidak saja didefinisikan secara langsung terkait dengan mengambil uang secara tak sah dari BUMN bersangkutan, tetapi juga dikenakan atas tindakan lalai direksi yang menyebabkan kerugian negara.
Hal ini terkadang membuat jera direksi BUMN untuk melakukan aksi korporasi signifikan. Akibatnya, kinerja BUMN bisa berjalan di tempat. Perlu disampaikan dengan gamblang oleh penegak hukum prinsip ”aturan penilaian bisnis” (business judgement rule) yang jelas sehingga tak menimbulkan kegamangan di antara direksi BUMN. Prinsipnya sepanjang dilandasi niat baik dan kajian kelayakan yang tepat serta memenuhi SOP yang diatur perusahaan, apabila terjadi kerugian akibat aksi korporasi tidak bisa dianggap sebagai kerugian negara.
(Toto Pranoto, Direktur Lembaga Management FEB UI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar