PEMBANGUNAN DKI JAKARTA
Kolaborasi Membangun Jakarta
Jakarta adalah kumpulan jutaan cerita. Ada beragam cerita di setiap sudutnya. Ini kisah tentang seorang warga di salah satu sudut Ibu Kota. Ia seorang sopir angkutan kota. Kini, hari-harinya tak dipenuhi amarah, wajahnya memancarkan aura ramah. Ia tak lagi terbebani setoran atau menerima omelan penumpang karena ngetem, berhenti lama di pinggir jalan. Praktik-praktik yang membuat jalanan tak nyaman tentu tak bisa dibiarkan.
Semangat memanusiakan terus kita dorong menjadi nilai dasar dalam setiap kebijakan. Dulu penghasilan angkot berdasarkan jumlah penumpang, kini berdasarkan jumlah kilometer. Pendapatan sopir adalah dengan gaji bulanan. Ekosistem transportasi umum dibuat sehat dan manusiawi.
Sopir angkutan kota yang ramah ini satu dari ribuan angkot yang sudah bergabung dengan JakLingko, sistem transportasi terintegrasi di Jakarta. Melalui JakLingko, penumpang dapat kemudahan dan sopir dimanusiakan.
Sistem transportasi terintegrasi JakLingko telah berkontribusi menaikkan jumlah pengguna transportasi umum. Sejak Transjakarta beroperasi pada 2004, perlu 13 tahun untuk mencapai jumlah 119 juta penumpang di 2017. Dan, menjadi hampir dua kali lipat menjadi 230 juta (2018). Pun, Jakarta mendapat penghargaan sebagai satu dari tiga kota terbaik dunia untuk perbaikan sistem transportasi dan mobilitas kota dalam ajang Sustainable Transport Award di Forteleza, Brasil.
Penghargaan bukanlah tujuan, melainkan dampak dari hasil positif yang kita capai bersama. Ini bukan momen untuk merayakan, melainkan mencatat beragam pembelajaran. Pembelajaran yang utama adalah kolaborasi.
Kolaborasi adalah kunci
Jakarta diisi oleh jutaan warga dengan pemikiran dan perspektif yang sangat beragam. Artinya, tak ada satu pun pihak, bahkan pemerintah kota sekalipun, yang berhak merasa paling tahu. Sebab, solusi bukanlah monopoli pemerintah, solusi bisa datang dari mana saja.
Hubungan pemerintah dan warga bukan paternalistik seperti orangtua dengan anaknya. Pemerintah tak bisa serta-merta memonopoli solusi dan mengarahkan warganya tanpa mau mendengarkan. Solusi tak akan muncul jika pendekatannya one man show. Yang terus kita dorong adalah pendekatan yang melibatkan warga. Maka, perspektif interaksi dengan warga penting untuk diubah.
Kita terus mendorong ekosistem kolaborasi dalam paradigma kota kolaboratif. Pola interaksi yang terbangun antara pemerintah dan warga adalah kolaborasi atau gotong royong. Pemerintah menjadi kolaborator dan warga menjadi ko-kreator.
Paradigma ini berbeda dengan paradigma kota konsultatif yang menjadikan pemerintah sebagai fasilitator, sementara warga sebagai partisipan. Lebih jauh pula dari konsep kota layanan di mana pemerintah menjadi penyedia jasa dan warga tereduksi sekadar menjadi pelanggan.
Dengan konsep kolaborasi, pemerintah tak sekadar memberikan ruang, tetapi proaktif mengajak warga, komunitas, dan elemen sipil terlibat menjadi ko-kreator dalam beragam inisiatif bersama. Solusi perkotaan menjadi sesuatu yang inklusif, tak lagi eksklusif.
Mari kita ambil contoh kolaborasi di ranah transportasi. Transportasi jangan hanya dipandang sebagai moda atau alat, melainkan keseluruhan pengalaman dalam mobilitas di perkotaan. Jika dipandang hanya sebagai moda/alat, jalanan akan menjadi ruang kompetisi, perihal siapa yang paling cepat dan berkuasa di jalanan.
Sementara itu, jika dipandang sebagai sebuah pengalaman, jalanan beralih rupa menjadi ruang interaksi, ada beragam peluang kolaborasi yang tercipta. Sebagai sebuah pengalaman menikmati kota, maka prinsip kita adalah mengutamakan pejalan kaki dan transportasi publik. Pendekatannya pun selalu inklusif dengan melibatkan perspektif perempuan, komunitas difabel, anak-anak, dan masyarakat marjinal.
Kolaborasi adalah kunci untuk mewujudkannya. Ada banyak inisiatif kolaborasi yang terwujud dalam transportasi.
Mulai dari berkolaborasi dengan penyedia angkutan kota untuk mengintegrasikan angkot dalam sistem JakLingko. Integrasi antarmoda sangat penting untuk mengajak warga beralih ke transportasi publik, saat ini kita terus mendorong agar pengguna transportasi publik sebesar 23-25 persen penduduk bisa terus meningkat.
Melibatkan komunitas sepeda dan mengajak warga terlibat aktif dalam mewujudkan jalur khusus sepeda. Dengan kolaborasi ini, kita berupaya mendorong agar sepeda bukan sekadar alat olahraga, melainkan alat transportasi. Jalur sepeda berupaya mendorong agar sepeda bisa menjadi ”gaya hidup” bagi semua kalangan, bukan menjadi status ”hidup bergaya” bagi sebagian kalangan.
Mendengarkan aspirasi warga dalam revitalisasi jalur pedestrian, seperti di kawasan Kemang dan Cikini. Warga di sekitar bukan hanya menjadi penikmat, melainkan suaranya menjadi masukan yang berarti dalam proses revitalisasi jalur pedestrian.
Mengajak komunitas sipil Forum Diskusi Transportasi Jakarta untuk terlibat dalam penyediaan signage dan way finding di halte-halte Transjakarta. Tak ketinggalan, melibatkan seniman-seniman perempuan untuk mengisi ruang-ruang di sepanjang Jalan Sudirman sebagai kanvas kreativitas.
Semangat kolaborasi ini juga bisa kita rasakan dalam revitalisasi 16 kampung, termasuk Kampung Akuarium. Pelibatan warga secara aktif untuk menyusun community action plan, arsitek yang menjadi ko-kreator dalam mewujudkan kampung kota, dan komunitas sipil yang mendampingi setiap prosesnya.
Selain itu, ada lebih dari 100 kampung yang ditata ulang aspek mobilitasnya melalui kolaborasi aktif antara warga, Institute for Transportation and Development Policy, dan jajaran wilayah Pemprov DKI. Inisiatif dan aksinya bisa terwujud dalam beragam bidang, tapi semangatnya sama. Mendorong kolaborasi untuk membangun interaksi positif antara pemerintah dan warga guna mencari solusi yang inklusif bagi setiap permasalahan.
Setara di tempat ketiga
Kolaborasi yang inklusif hanya mungkin terjadi jika kita bisa menciptakan kesempatan yang sama bagi semua warga. Warga difasilitasi untuk terhubung dengan komunitasnya, melampaui batas kelas sosial dan ekonomi. Konsep keterhubungan ini yang terus dihadirkan melalui tempat ketiga.
Pengalaman interaksi di perkotaan secara sederhana dapat dibagi dalam tiga bagian besar. Tempat pertama rumah, tempat kedua merujuk pada tempat beraktivitas secara rutin, seperti tempat kerja, dan tempat ketiga adalah ruang antara rumah dan tempat beraktivitas. Tempat ketiga, jika dirancang dengan baik, akan menjadi tempat interaksi yang sangat intens antara warga dari beragam kalangan.
Tempat ketiga penting untuk membangun ekosistem sosial, tak sekadar ekonomi. Status ekonomi/sosial seseorang tak menjadi masalah di tempat ketiga karena yang didorong adalah rasa kesetaraan di antara warga yang berinteraksi.
Ambil contoh Spot Budaya Dukuh Atas. Ini adalah tempat ketiga yang setara bagi setiap warga sehingga memungkinkan warga untuk berinteraksi. Penciptaannya pun merupakan hasil kolaborasi dengan beragam komunitas. Maka, terwujudlah beragam fasilitas yang mewadahi beragam aktivitas warga. Mulai dari taman hutan tropis, spot seni untuk ruang ekspresi kebudayaan, skatepark, spot edukasi, dan anjungan pandang untuk berswafoto.
Spot Budaya Dukuh Atas hanyalah satu dari beragam tempat ketiga yang terus kita wujudkan. Inilah salah satu upaya untuk menjadikan pengalaman berinteraksi di kota menjadi lebih berwarna. Warna-warni Jakarta akan terus kita rawat. Kita percaya cara untuk merawatnya bukan dengan memonopoli solusi, melainkan sekali lagi dengan membuka akses bagi sebanyak mungkin pihak untuk berkolaborasi!
(Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar