Pangkas Eselonisasi Birokrasi
Oleh : EKO PRASOJO
KOMPAS, 26 Oktober 2019
Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikannya di MPR, 20
Oktober lalu, menyampaikan akan memangkas struktur eselon 3 (jabatan
administrator), eselon 4 (jabatan pengawas), dan eselon 5 (jabatan pelaksana)
di birokrasi. Pemangkasan ini bertujuan menciptakan birokrasi yang lebih
ramping dalam rangka mendukung iklim investasi yang lebih baik dan pelayanan
yang lebih baik kepada masyarakat. Presiden Jokowi juga berjanji akan memangkas
berbagai regulasi melalui omnibus law.
Bagaimana memahami dan melaksanakan visi Presiden tersebut?
Gagasan untuk memangkas eselon 3, 4, dan 5 di birokrasi
sejatinya sudah masuk dalam program percepatan Reformasi Birokrasi tahun 2012.
Gagasan ini pun sudah dilaksanakan di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
pada masa itu dengan menghapus 145 unit struktur tersebut dan menggantinya
dengan jabatan fungsional auditor.
Persoalan mendasar birokrasi Indonesia adalah struktur yang
sangat hierarkis sehingga menyebabkan proses pengambilan keputusan dan tindakan
administrasi pemerintahan menjadi sangat lamban. Hal ini pula yang menyebabkan
sulitnya mendongkrak daya saing Indonesia. Daya saing Indonesia turun dari
peringkat ke-45 pada 2018 menjadi peringkat ke-50 tahun 2019.
Sangat hierarkisnya struktur birokrasi Indonesia sebenarnya
merupakan akibat dari orientasi struktural yang masih dominan dalam pengelolaan
pemerintahan. Hal ini merupakan ciri model Weberian yang berkembang di Eropa
Barat dan dibawa oleh pemerintah kolonial Belanda pada masa itu.
Tujuan birokrasi yang hierarkis ini adalah memastikan bahwa
berbagai kebijakan pemerintah memenuhi asas kepatuhan (compliance principle)
dan setiap level birokrasi bekerja secara berlapis untuk melakukan pengecekan
sekaligus memberikan telaah kepada atasannya.
Dengan kondisi kompetensi dan budaya aparatur negara yang
belum baik, struktur birokrasi yang hierarkis ini menyebabkan penundaan
berbagai keputusan dan tindakan administrasi pemerintahan.
Sebagai ilustrasi, jika ada persoalan pemerintahan dan suatu
rencana yang harus diselesaikan, menteri/pimpinan lembaga akan mendisposisi
surat kepada pejabat eselon 1 (JPT Madya), lalu berlanjut kepada eselon 2 (JPT
Pratama), berlanjut kepada eselon 3 (Administrator), berlanjut kepada eselon 4
(Pengawas), dan di beberapa kementerian atau lembaga berlanjut sampai eselon 5
(Pelaksana).
Pada akhirnya yang akan melakukan telaah/analisis atas suatu
persoalan pemerintahan adalah level staf (pelaksana). Secara berjenjang ke
atas, hasil akhir analisis staf akan disampaikan kepada menteri/pimpinan
lembaga melalui proses hierarkis tersebut.
Gagasan Presiden Jokowi untuk menghapus eselon 3, 4, dan 5
berkaitan dengan beberapa hal.
Pertama, membangun profesionalisme birokrasi. Selama ini
orientasi para pejabat birokrasi Indonesia masih pada jabatan struktural.
Mengapa demikian, karena setiap jabatan struktural diberikan otoritas penuh
untuk mengelola anggaran, melaksanakan program dan kegiatan, sumber daya
manusia, serta berbagai fasilitas jabatan yang diberikan.
Orientasi struktural ini menghilangkan keahlian pejabat
untuk berinovasi dan berproduksi karena pada akhirnya berbagai persoalan dan
rencana pemerintahan akan ditelaah oleh staf secara hierarkis. Sering kali
keputusan pemerintahan tingkat tinggi merupakan telaah staf di tingkat
pelaksana dan tanpa melalui pembahasan yang lengkap dari pejabat pimpinan.
Kedua, menciptakan akuntabilitas pemerintahan. Dalam
praktiknya, struktur birokrasi yang hierarkis selain menimbulkan penundaan
(delay) dalam pengambilan keputusan juga menimbulkan potensi penyalahgunaan
wewenang.
Semakin berlapis struktur hierarki, semakin tinggi potensi
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Dengan budaya birokrasi Indonesia
yang masih korup, setiap pejabat yang memiliki kewenangan administrasi
pemerintahan secara berjenjang berpotensi untuk memanfaatkan dan
menyalahgunakan wewenangnya.
Ide memangkas eselonisasi birokrasi ini bertujuan memperkuat
tanggung jawab setiap pejabat atas keputusan dan tindakan administrasi yang
dibuatnya, sekaligus memotong mata rantai potensi penyalahgunaan untuk
menciptakan akuntabilitas publik.
Ketiga, menciptakan efisiensi dan efektivitas birokrasi.
Seperti diketahui, struktur birokrasi
yang gemuk membutuhkan nutrisi anggaran yang semakin banyak.
Pemangkasan eselon birokrasi akan mengurangi berbagai
anggaran yang tidak diperlukan untuk fasilitas jabatan, program dan kegiatan
pembangunan yang tak relevan dengan kebutuhan bangsa dan negara, sumber daya
manusia yang tidak kompeten, serta berbagai potensi perilaku menyimpang pejabat
yang mengakibatkan penyalahgunaan wewenang dan menimbulkan kerugian negara.
Pemangkasan birokrasi merupakan upaya menciptakan efisiensi, sekaligus
memperkuat efektivitas pemerintahan.
Membangun birokrasi
dinamis
Untuk bisa memperkuat daya saing global, Indonesia harus
memiliki birokrasi yang dinamis, bukan birokrasi yang hierarkis. Ciri-ciri
birokrasi yang dinamis antara lain memiliki fleksibilitas yang tinggi,
kapabilitas yang baik, adaptasi perubahan yang cepat, serta budaya yang unggul.
Fleksibilitas yang tinggi dicerminkan dengan proses bisnis yang sederhana,
struktur organisasi yang ramping, dan berbasis kinerja.
Birokrasi Indonesia harus berubah dari berbasis tugas pokok
fungsi ke berbasis kinerja (hasil dan dampak, atau performance based
organizational structure). Setiap unit organisasi dan setiap instansi
pemerintah harus dapat menunjukkan peran dan kontribusi secara langsung dalam
pencapaian target indikator kinerja pemerintah. Jika tidak, unit atau
organisasi pemerintah dapat dihapuskan.
Birokrasi yang kapabel harus memiliki kemampuan berpikir ke
depan dalam jangka panjang, selalu membuat berbagai inovasi dan perubahan,
serta membandingkan berbagai kemajuan yang dicapai negara lain atau pihak
swasta. Dengan kondisi saat birokrasi sangat hierarkis dan berbasis peraturan
perundang-undangan (rule based bureaucracy), para aparatur sipil negara (ASN)
sulit berinovasi. Selain terikat dengan berbagai struktur yang ada, para
pegawai ASN juga harus melaksanakan berbagai peraturan yang sangat kaku.
Rencana pemerintah untuk memangkas berbagai peraturan
perundang-undangan dan menggantikannya dengan omnibus law sejalan dengan
keinginan untuk menciptakan birokrasi yang inovatif. Dalam negara yang
desentralistik, omnibus law harus diikuti dengan review secara komprehensif
berbagai peraturan daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Review ini harus dilakukan secara cepat dengan melibatkan
berbagai pemangku kepentingan, seperti perguruan tinggi di daerah. Jika tidak,
omnibus law tak akan efektif karena sebagian besar proses perizinan menjadi
kewenangan pemda.
Birokrasi yang dinamis juga harus memiliki budaya yang
unggul, seperti antikorupsi, meritokrasi, dan berorientasi pada kinerja. Fase
perubahan budaya birokrasi dalam sejarah Indonesia belum pernah dilakukan
secara terstruktur dan jangka panjang. Meskipun lima tahun lalu Presiden Jokowi
mencanangkan Revolusi Mental, ini belum dapat dilihat hasilnya. Hal ini menurut
penulis akan menjadi hambatan besar dalam perubahan struktur birokrasi
Indonesia. Tak ada kata lain, Presiden Jokowi harus meletakkan perubahan budaya
birokrasi sebagai prioritas pembangunan lima tahun ke depan dan melaksanakannya
secara sungguh-sungguh.
Memangkas birokrasi tidaklah cukup untuk meningkatkan daya
saing global. Pemerintah harus memperkuat kualitas kebijakan publik. Problem
birokrasi Indonesia adalah ketidakmampuan membuat kebijakan berbasis data,
informasi, dan pengetahuan, serta berlaku jangka panjang. Apalagi dengan
perubahan yang bersifat disruptif, dibutuhkan pegawai ASN yang mampu
mempersiapkan kebijakan publik yang baik.
Pemangkasan eselonisasi birokrasi, dengan demikian, bukanlah
agenda tunggal karena harus diikuti dengan berbagai perubahan lain. Jika
perintah Presiden mengenai pemangkasan birokrasi ini akan dilakukan, ada
beberapa tahapan yang harus dilakukan.
Pertama, dengan panduan dari Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, setiap kementerian atau lembaga
mengidentifikasi dan mengusulkan jabatan eselon 3, 4, dan 5 yang dapat
dipangkas. Kriteria jabatan diprioritaskan untuk jabatan yang memiliki
kedekatan dengan jabatan fungsional.
Kedua, mempersiapkan dan memperkuat jabatan fungsional
dengan pola karier jelas, insentif memadai dan memotivasi pegawai ASN, serta
membangun kebanggaan bekerja dalam jabatan fungsional.
Ketiga, melakukan pemetaan nasional tentang kebutuhan
jabatan fungsional sehingga para pegawai tak hanya bekerja di lingkungan
lamanya, tetapi bisa disebarkan ke berbagai kementerian, lembaga, dan pemda.
Dengan demikian, program pemangkasan eselonisasi ini juga akan mengurangi silo
mentality dan ego sektoral.
Keempat, mempersiapkan manajemen perubahan, termasuk skema
pensiun dini bagi pegawai ASN yang tak lagi memiliki kompetensi dan
berkeinginan memilih karier kedua di swasta. Perubahan ini memang tak mudah.
Akan tetapi, jika kita tak melakukannya hari ini, niscaya besok tak akan pernah
selesai.
(Eko Prasojo, Guru
Besar dan Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar