Tantangan
Tahun Elektoral
Moch Nurhasim ; Peneliti pada Pusat
Penelitian Politik LIPI
|
KOMPAS,
16 Januari
2018
Sebagai pertanda zaman,
tahun 2018 disebut sebagai tahun politik. Saya lebih suka menyebutnya sebagai
tahun elektoral. Serangkaian tahapan pemilu akan segera digelar, mulai dari
tahapan pemilihan kepala daerah secara langsung 2018, sekaligus beberapa
tahapan awal pemilu serentak 2019 akan segera dimulai.
Dapat dibayangkan betapa
sibuknya para elite dan partai politik di tahun ini. Sejumlah agenda politik
telah menanti. Pertama, mengusung calon kepala daerah pada pilkada langsung
2018 di 171 daerah yang terbagi menjadi 17 provinsi, 39 kota, dan 115
kabupaten. Kedua, pada 4-17 Juli 2018 Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan
membuka pendaftaran untuk calon anggota legislatif, baik di tingkat pusat
maupun daerah. Ketiga, KPU telah menetapkan pendaftaran bakal calon presiden
dan wakil presiden pada 4-10 Agustus 2018.
Ketiga agenda politik itu
waktunya saling berimpitan. Dalam politik, tidak ada makan siang yang gratis.
Oleh karena itu, tahapan pilkada langsung 2018 dan pemilu serentak 2019
secara berimpitan akan diwarnai oleh tensi politik, transaksi politik,
perjanjian koalisi—dukungan politik, dan bentuk-bentuk kerja sama yang saling
menguntungkan antar-elite.
Ada adagium umum, siapa
yang menguasai pilkada langsung 2018 akan menentukan posisi elektoralnya pada
pemilu serentak 2019. Meskipun asumsi itu belum bisa dibuktikan, perhelatan
politik di tahun 2018 akan menyisakan banyak bacaan untuk sekadar dapat
memahami apalagi memprediksi. Apalagi menyimpulkan secara sesat bahwa partai
yang mendulang kemenangan pada pilkada serentak 2018 akan secara otomatis
dapat menjadi pemenang pada pemilu serentak 2019. Paling mungkin, banyaknya
kemenangan calon kepala daerah yang diusung partai akan menjadi modal politik
awal untuk tetap eksis pada pemilu serentak setahun kemudian.
Adu
strategi politik
Sebagai awal tahun
politik, tahun 2018 akan menjadi titik awal kontestasi politik yang penuh
dengan perhitungan angka-angka elektabilitas. Elite partai politik bersaing
dalam menjaring calon kepala daerah yang dinamis dan kadang-kadang sulit
dipahami secara nalar sehat. Biaya politik yang besar tidak menyurutkan
sebagian orang dan politisi untuk menghindarinya. Tidak ada istilah kapok
dalam berpolitik meskipun risiko yang dihadapinya begitu besar, bisa
bangkrut, buntung, atau sebaliknya bisa untung.
Referensi politik kita
diwarnai oleh angka-angka ketenaran para calon yang dirilis oleh sejumlah
lembaga survei. Politik angka telah menjadi literasi baru, menggantikan
metode lama dalam proses kandidasi politik yang terkesan ”tradisional”.
Proses politik menyerupai pasar modal, hukum ekonomi pasar, tidak bisa
ditampik. Siapa yang potensi terpilihnya besar nilai tawarnya akan semakin
tinggi.
Politik angka ini bukan
berarti tanpa kelemahan karena partai justru mentradisikan mengusung calon
yang bisa saja bukan kader yang dibina. Akibatnya, kader-kader partai merasa
”dibinasakan” karena kesempatan politiknya menjadi tertutup.
Politik angka yang
didasarkan pada seberapa besar dukungan terhadap calon yang diusung juga
menghilangkan tradisi politik gagasan karena partai relatif terdorong untuk
mengikuti arus pasar politik. Padahal, menjadi kepala daerah adalah sebuah
proses pertarungan gagasan dan ide, yang di dalamnya mencerminkan apa yang akan dilakukan para
calon kalau yang bersangkutan terpilih. Kontestasi gagasan dan ide inilah
yang masih minim dalam proses kandidasi politik yang tergerus oleh
kepentingan politik sesaat untuk mengejar kemenangan.
Penentuan calon kepala
daerah yang akan maju dalam pilkada serentak 2018 bukanlah fenomena tunggal
dalam kontestasi politik Indonesia, tetapi berkelindan dengan agenda politik
menjelang pemilu serentak 2019. Perjanjian politik untuk saling mendukung
pada pilkada tidak tertutup kemungkinan akan berlanjut pada pola koalisi pada
pemilu serentak 2019, meskipun dalam praktik politik selama ini tidak ada
jaminan koalisi dalam pilkada sama dengan koalisi pada pilpres. Perbedaan
pola koalisi politik di tingkat nasional dan lokal sudah kerap kali terjadi.
Artinya, tidak ada hubungan secara langsung antara pola koalisi pada pilkada
akan berlanjut ke pilpres.
Oleh karena itu, koalisi
dalam pilkada hanyalah strategi untuk memenangi kekuasaan di tingkat lokal,
yang tidak linear dengan kontestasi politik pada pemilu serentak 2019. Dalam
konteks itu, tidak terlalu signifikan kasus perjanjian Demiz (Dedy Mizwar)
dengan Partai Demokrat—bahwa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) akan secara
otomatis tidak mendukung atau mendukung Demokrat pada pencalonan presiden
pada pemilu serentak 2019.
Pola koalisi dalam pemilu
serentak 2019 bergantung pada dinamika dan kepentingan politik yang tidak
sama, antara peta politik nasional dan peta politik lokal dalam pilkada. Tak
ada rumus baku dalam penentuan model koalisi yang akan dibangun. Paling tidak
ada beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama, pola koalisi pasca-Pemilu
2014—Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP)—akan
terulang kembali. Walau demikian, keutuhan KIH dan KMP peluangnya kecil
karena bangunan koalisi keduanya sudah rapuh dan tak solid lagi.
Kemungkinan kedua, jika
elektabilitas Joko Widodo (Jokowi) tinggi dan tak ada penantang yang sepadan,
besar kemungkinan koalisi KIH jumbo akan terjadi. Dampaknya, persaingan ketat
hanya pada penentuan siapa yang akan dijadikan calon wakil presiden. Meskipun
tanda-tanda itu belum tampak, arah politik menjelang pemilu serentak 2019
sudah menunjukkan sinyalnya.
Kemungkinan ketiga ialah
pecahnya KIH dan KMP sebagai konsekuensi logis bahwa pemilu serentak
meniscayakan partai memiliki tokoh sebagai magnet untuk memperoleh dukungan
suara. Ada asumsi bahwa dalam pemilu serentak sosok calon presiden yang kuat
akan berpengaruh linear terhadap dukungan suara terhadap partai yang
mengusungnya. Calon presiden yang kuat seperti Jokowi akan menjadi rebutan
partai, apalagi belum muncul calon yang sebanding dengannya untuk saat ini.
Peta koalisi tampaknya
akan mengarah pada kemungkinan pertama setelah Mahkamah Konstitusi (MK) tetap
mempertahankan ambang batas pencalonan presiden. Besar kemungkinan
partai-partai pendukung Jokowi saat ini akan tetap mempertahankannya.
Artinya, tinggal Gerindra dan PKS—mungkin ditambah Demokrat—yang dapat
mencari figur alternatif selain Jokowi.
Kemungkinan terakhir,
apabila Gerindra gagal membangun koalisi dengan PKS atau Demokrat untuk
menghadirkan calon alternatif, untuk pertama kalinya rakyat Indonesia akan
disuguhi calon tunggal presiden/wakil presiden. Ini akan jadi titik baru
dalam sejarah politik Indonesia, yang tidak pernah diperhitungkan sebelumnya.
Karena format pemilihan presiden Indonesia menurut konstitusi (UUD 1945)
Pasal 6A Ayat (3) dan (4) tidak mengenal calon tunggal, tetapi mayoritas (50% + 1). Apabila tak ada
pasangan calon presiden/wakil presiden yang memenuhi syarat, akan dilakukan
putaran kedua. Kasus calon tunggal presiden/wakil presiden tidak diatur UUD 1945,
karena semangat konstitusi kita pilpres dua putaran.
Itulah yang tidak
dipertimbangkan MK dalam memutus uji materi Pasal 222 UU No 7/2017 tentang
Pemilu. Akibatnya, calon tunggal presiden/wakil presiden amat mungkin terjadi
manakala elektabilitas Jokowi tak terbendung dan makin melejit. Atau partai
tidak ada yang berani berspekulasi, dan lebih tertarik mencari untung di
balik popularitas Jokowi sehingga enggan membangun koalisi alternatif.
Tantangan
berat parpol
Tantangan partai politik
bukan hanya pada adu strategi untuk memenangi perebutan kekuasaan di tingkat
lokal dan daerah. Jauh lebih mendasar dan penting dari itu semua ialah sejauh
mana partai politik akan menyediakan para politisinya untuk menduduki
jabatan-jabatan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Paling tidak
dibutuhkan minimal 177 orang calon yang akan maju sebagai calon, 575 calon
anggota DPR, 136 calon anggota DPD, minimal 2.114 anggota DPRD provinsi dan
14.766 anggota DPRD kabupaten/kota. Jumlah total (Pemilu 2014) partai harus
menyediakan calon minimal 17.591 dari
jumlah kursi yang akan diperebutkan, dengan asumsi setiap partai hanya
mencalonkan satu (1) orang di setiap daerah pemilihan.
Tantangannya bagaimana
partai politik akan merekrut orang dalam jumlah besar dalam waktu yang
berimpitan. Dilihat dari mekanisme selama ini, partai-partai politik
cenderung mengusung orang-orang kuat sebagai pemikat suara pemilih (vote
getter). Sebagian partai yang lain sudah menentukan dengan cara uji
psikologi, tetapi tidak jarang yang memasang pamflet dan baliho untuk perekrutan
calon anggota legislatif.
Dalam mencukupi kebutuhan
perekrutan di atas, tantangan yang dihadapi oleh partai politik tidaklah
ringan. Dari segi waktu kadang-kadang ”mepet,” seiring dengan proses tahapan
pemilu yang harus dipatuhi. Partai politik juga dituntut untuk menyediakan
calon-calon politisi yang baik, yang memenuhi harapan publik. Publik juga
mengharapkan partai hadir dalam setiap aktivitas yang berdampak positif bagi
masyarakat luas atau tidak. Tantangannya, apakah parpol dapat menjalankan peran
dan fungsinya yang dapat dirasakan oleh publik secara luas. Jangan sampai
publik menganggap partai hanya hadir menjelang dan pada saat pemilihan umum,
atau sibuk menyiapkan administrasi elektoral dan melupakan tugas dan perannya
sebagai partai politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar