Sabtu, 13 Januari 2018

Populisme Islam (3)

Populisme Islam (3)
Azyumardi Azra ;  Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
                                                   REPUBLIKA, 11 Januari 2018



                                                           
Sekali lagi, otoritarianisme yang merupakan fitur utama sistem politik dan kekuasaan di kebanyakan negara di Dunia Muslim tidak memberi ruang bagi kemunculan populisme politik. Tidak hanya di sampai di situ, pada tingkat pemikiran dan konsep politik, populisme politik Islam juga tidak tidak mendapat tempat dalam paradigma teologis dan fiqh siyasah (yurisprudensi politik Islam).

Pemikiran politik Islam Suni sangat menekankan kepatuhan warga Muslim pada penguasa. Secara senapas dalam ayat Alquran (an-Nisa’ 59) dinyatakan, kaum beriman wajib mematuhi Allah SWT, rasul-Nya, dan pemimpin (ulil amri)—yang dalam konteks politik adalah penguasa.

Secara mafhum mukhalafah, tidak mematuhi pemimpin pemegang kekuasaan berarti sekaligus tidak mematuhi Allah dan rasul-Nya. Kekuasaan mutlak penguasa diperkuat lagi dengan prinsip bahwa ia adalah ‘bayang-bayang Allah di muka bumi’.

Absolutisme penguasa dalam tradisi Suni tidak bisa dipersoalkan. Mempersoalkan apalagi menentang penguasa atas alasan apa pun—termasuk kepentingan umat—merupakan perbuatan bughat. Melakukan bughat terhadap penguasa merupakan tindakan tidak terampunkan; penguasa wajib menumpas baghi (pelaku bughat) sampai ke akar-akarnya.

Dengan konsepsi politik ini, absolutisme dan otoritarianisme menjadi tradisi politik Suni sepanjang sejarah. Berhadapan dengan kekuasaan seperti itu, ulama terutama karena alasan doktrinal-teologis dan //fiqh siyasah// bersikap submisif—tunduk sepenuhnya pada kekuasaan. Mereka menjadi klien penguasa yang berlaku sebagai patron atau pelindung dan penyedia fasilitas bagi ulama.

Dengan demikian, dalam konsep dan tradisi politik Suni tidak ada tempat bagi ulama atau pemimpin informal lain untuk menggalang kekuatan massa sehingga memunculkan populisme Islam. Sepanjang sejarah polity (masyarakat politik) Islam masa pramodern dan era awal modern, sulit menemukan gerakan yang sekarang disebut sebagai populisme Islam.

Tradisi berbeda ada di kalangan Muslim Syi'ah. Ulama yang merupakan wakil Imam ke-12 yang gaib memiliki otoritas bukan hanya dalam bidang keagamaan, melainkan juga politik. Kekuasaan politik adalah hak Imam yang dipegang ulama selama menunggu kedatangan kembali Imam ke-12. Karena itulah, ulama Syi’ah memiliki otoritas untuk menggalang kekuatan umat sehingga mewujudkan ‘populisme Islam’ melawan rezim penguasa non-Imam.

Tradisi politik Syi’ah seperti itu bertahan melintasi masa pramodern, moderen, dan kontemporer. Aktualisasi terjelasnya adalah Revolusi Ayatullah Khomeini 1979 yang berhasil menumbangkan kekuasaan Syah Reza Pahlevi. Mempertimbangkan kekuatan massa yang dipimpin Ayatullah Khomeini, Revolusi Islam Iran 1979 merupakan bentuk eksepsional ‘populisme Islam’.

Sebaliknya, di negara-negara Muslim Suni di Timur Tengah dan Asia Selatan, otoritarianisme penguasa politik tak tertandingi. Memang konsep bughat tidak lagi menjadi kerangka berpikir dan bertindak di kalangan umat yang telah terpapar ke dalam paradigma konsep dan praktik negara modern yang memberi tempat pada sikap berbeda terhadap penguasa. Namun, dissension itu tidak pernah menguat karena ulama yang menjadi pemimpinnya langsung ditumpas penguasa. Gerakan dan organisasinya segera dinyatakan terlarang.

Sementara itu, dalam lapisan umat arus utama juga tidak muncul kepemimpinan ulama karismatik yang potensial menggerakkan massa melawan rezim penguasa. Tetapi, potensi itu tidak dapat diwujudkan karena kaum ulama arus utama sudah hampir sepenuhnya pula dikooptasi penguasa.

Dalam pada itu, secara sosiologis masyarakat negara-negara Muslim pascakemerdekaan seusai Perang Dunia II tidak memiliki faktor penarik  yang membuat terjadinya migrasi dari wilayah lain. Sebaliknya, negara-negara Muslim mengandung faktor pendorong  sangat kuat—terutama keadaan politik dan ekonomi tak kondusif—yang membuat banyak warganya bermigrasi ke wilayah lain, terutama Eropa Barat dan AS.

Memang setelah terjadinya oil boom sejak 1980-an, terjadi peningkatan jumlah pekerja migran ke negara-negara Arab kaya minyak dan gas. Tetapi, mereka sepenuhnya hanya sebagai pekerja yang hampir tidak memiliki hak-hak sipil—apalagi mengekspresikannya.

Karena kekayaan minyak dan gasnya negara-negara Arab semacam ini tidak menghadapi masalah ekonomi; tidak ada krisis ekonomi. Sebab itu, tidak ada isu terkait lapangan kerja yang banyak dipegang kaum migran dan ekspatriat seperti terjadi di banyak negara Eropa dan AS.

Dengan begitu, isu ‘populisme politik’ tidak relevan di negara-negara Arab kaya minyak dan gas. Juga tidak relevan di negara-negara Muslim di wilayah lain di Timur Tengah, Afrika, Asia Selatan, dan juga di Asia Tenggara. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar