Politisasi
dan Politik Hukum e-KTP
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua MK (2008-2013)
|
KORAN
SINDO, 06 Januari 2018
HAMPIR pasti, salah satu
isu yang akan menjadi rangkaian berita penting pada tahun 2018 ini adalah
kelanjutan kasus korupsi e-KTP. Kasus e-KTP menarik untuk tetap menjadi
berita penting karena tiga hal.
Pertama, berhasilnya KPK
menyeret Setya Novanto ke pengadilan tindak pidana korupsi yang proses
persidangan dan vonisnya pasti ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Maklumlah,
selain dikenal licin menghindar dari berbagai kasus hukum yang diduga
melibatkan dirinya, penersangkaan Setya Novanto juga melalui
peristiwa-peristiwa dramatis.
Kedua, korupsi e-KTP
merupakan salah satu megakorupsi karena
proyek senilai Rp5,7 triliun itu melibatkan puluhan orang yang
mengolaborasikan pejabat eksekutif, pejabat legislatif, dan pengusaha. Ada
yang menyebut, korupsi e-KTP adalah korupsi berjamaah yang paling besar
jamaahnya.
Ketiga, tahun 2018 adalah
tahun politik yang mempertemukan berbagai kegiatan politik besar dan masif.
Pada 2018 akan ada pilkada serentak yang melibatkan 171 daerah
provinsi/kabupaten/kota. Pada 2018 juga akan dimulai proses pendaftaran
kontestan pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres) yang akan
dilaksanakan secara serentak pada pertengahan 2019.
Ketiga hal itu menyebabkan
timbulnya kerawanan-kerawanan politik yang bisa menyembulkan isu SARA dan
upaya pencarian uang untuk kontestasi politik, baik melalui perampokan atas
uang rakyat dan negara maupun melalui percukongan yang bisa menyandera para
kontestan. Politisasi hukum karena persaingan dalam perebutan posisi politik
juga tidak akan terhindarkan dari muara agenda politik 2018 itu.
Kasus e-KTP adalah salah
satu isu yang sangat potensial untuk (terus) menjadi objek politisasi hukum.
Politisasi hukum tentu berbeda dengan politik hukum. Politik hukum adalah
kebijakan resmi (policy) tentang pemberlakuan dan penegakan hukum untuk
mencapai tujuan negara dalam tahap dan periode tertentu, sedangkan politisasi
hukum adalah upaya menjadikan hukum sebagai alat politik oleh kelompok atau
orang tertentu untuk mendapat keuntungan politik dari kasus tertentu.
Wujud dari politisasi
hukum itu bermacam-macam. Ada yang berusaha menjadikan suatu peristiwa biasa
sebagai kasus hukum yang kemudian diramaikan, ada yang berusaha menutup satu
kasus hukum agar tidak terungkap karena bisa merugikan diri atau kelompoknya.
Ada yang ingin menjerumuskan seseorang ke dalam satu kasus karena persaingan
dan dendam politik, ada yang ingin keluar dari kasus untuk menyelamatkan diri
atau ingin mengeluarkan seseorang dari satu kasus demi keuntungan politik
tertentu.
Jadi, pada dasarnya
politik hukum itu baik, sedangkan politisasi hukum itu jelek. Dalam konteks
ini, selain sebagai penegakan politik hukum kasus e-KTP sejak awal sudah
terasa sarat dengan politisasi hukum.
Ada yang ingin
mengungkapnya karena persaingan politik, ada yang ingin menyembunyikannya
juga karena kepentingan politik atau bahkan untuk penyelamatan politik. Ada
yang ingin menjerumuskan seseorang agar dinyatakan terlibat, ada yang ingin
menyelamatkan seseorang agar dinyatakan tidak terlibat.
Bahkan terkait dengan soal
ada atau tidaknya korupsi dalam kasus e-KTP ini juga terjadi pertentangan.
Ada yang bilang kasus e-KTP adalah korupsi besar yang nyata, ada yang
mengatakan bahwa kasus korupsi e-KTP itu hanyalah rekayasa KPK, tidak ada
korupsinya.
Di sanalah terasa ada
politisasi hukum. Mana yang benar? KPK-lah yang harus memilah dan memilih
agar pelaksanaan politik hukum berlangsung tanpa politisasi hukum.
Kasus e-KTP itu jelas
merupakan kasus korupsi besar. Faktanya, ada perusahaan yang menagih uang
lagi ke Kemendagri, padahal Kemendagri sudah mengeluarkan seluruh biaya yang
ditentukan dalam kontrak. Ada yang mengaku menerima uang haram dari proyek
tersebut, ada yang mengembalikan uang “korupsi” ke KPK, dan ada yang sudah
divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor secara sah dan meyakinkan sehingga
dijatuhi hukuman.
Bahkan Andi Narogong,
selain tidak mengajukan eksepsi ketika didakwa, langsung menerima dan tidak
menyatakan banding atas hukuman penjara 8 tahun yang dijatuhkan oleh
pengadilan. Masa, yang sudah cetho wela-wela seperti itu masih mau dibilang
tidak ada korupsinya? Itu sungguh terlalu.
Tetapi, karena kasus e-KTP
ini banyak politisasi hukumnya, KPK harus fair dalam memilah dan memilih.
Semua koruptornya memang harus dijebloskan ke penjara, tetapi mereka yang
hanya dijerumuskan tanpa bukti yang kuat janganlah sampai dihukum.
Ini penting disampaikan
kepada KPK karena dari fakta persidangan, selain banyak yang memang koruptor,
ada juga yang tidak atau belum jelas bukti dan rangkaian faktanya. Misalnya,
ada yang diduga menerima uang melalui si A pada bulan tertentu, padahal pada
bulan tersebut si A sudah meninggal dunia.
Ada yang disebut menerima
uang, tetapi tidak jelas kapan dan di mananya serta siapa yang menerima
dengan atas namanya. Ada juga informasi dari Nazaruddin tentang “permainan”
rencana proyek e-KTP pada pertengahan 2010, padahal pada saat itu Nazaruddin
sedang menjadi buron KPK untuk akhirnya oleh KPK ditangkap di Cartagena,
Kolombia. Itu semua harus clear.
Tanpa bermaksud membela,
kita juga mencatat bahwa tudingan keterlibatan terhadap mantan menteri dalam
negeri Gamawan Fauzi terasa terlalu kabur. Dugaan bahwa Gamawan ikut
berkolusi dan menerima sesuatu sudah dibantah dengan runut dan masuk akal
dalam persidangan, baik oleh Gamawan maupun oleh terdakwa.
Dugaan menerima ruko yang
diberikan melalui adik Gamawan, misalnya, ternyata tidak ada buktinya. Ruko
itu dibeli oleh dua perusahaan yang dimiliki oleh adik Gamawan dan seorang pimpinan
parpol yang transaksinya dilakukan secara sah oleh swasta ke swasta dan tak
pernah menjadi milik Gamawan sampai sekarang. Sementara pembeli yang satunya,
selain adik Gamawan, tidak diperiksa sama sekali.
Kita mendukung sepenuhnya
langkah KPK memerangi korupsi dalam kerangka politik hukum, bukan dalam
jebakan politisasi hukum. Demi melaksanakan politik hukum KPK harus mengadili
semua koruptor e-KTP. Dan demi menghindari politisasi hukum KPK tidak boleh
menjadikan orang sebagai tersangka korupsi secara sembarangan. Ayo, KPK terus
maju. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar