Politik
Identitas
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 29 Desember 2017
MEMASUKI tahun 2018, suhu
politik akan meningkat dari bulan ke bulan, karena tak lama lagi akan
dilaksanakan pilkada serentak pada 27 Juni 2018 yang meliputi 171 daerah,
terdiri atas 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Sebuah hajatan nasional
yang bisa dilihat dan dianalisis dari berbagai dimensi. Salah satunya adalah
kemungkinan terjadinya politik identitas untuk menarik simpati dan menjaring
massa.
Sesungguhnya tak ada yang
salah dengan identitas primordial seperti suku ataupun identitas keagamaan.
Keduanya merupakan disain Tuhan. Di muka bumi ini, terdapat beragam suku dan
beragam agama tak lepas dari kehendak Tuhan.
Dan, sungguh tidak menarik
andaikan manusia penduduk bumi ini seragam warna kulitnya, bahasanya,
wajahnya, juga tradisi dan agamanya. Tak ubahnya nanti bagaikan miliaran
domba yang seragam dan mendominasi planet bumi.
Karena keragaman itu
ciptaan Tuhan, kita tidak dibenarkan mengutuk seseorang semata karena beda
etnis dan agama. Masyarakat Nusantara yang sedemikian majemuk ini sangat
sadar akan perbedaan sehingga motonya pun berbunyi Bhinneka Tunggal Ika.
Kita saling mengakui,
menerima, dan merajut perbedaan identitas suku dan agama, namun sepakat pada
satu tujuan yaitu membangun NKRI demi terwujudnya kehidupan masyarakat
Indonesia yang merdeka, rukun, damai, cerdas, dan sejahtera yang didirikan di
atas prinsip keadilan. Dengan demikian, tidak mungkin kita menghilangkan
identitas suku dan keagamaan.
Menjadi persoalan ketika
isu dan sentimen etnis dan agama dimanipulasi dan dipolitisasi untuk
menjaring massa demi memenangkan kontestasi politik, sehingga menggeser
prinsip fairness, kompetensi, dan integritas calon. Memilih pemimpin tidak
cukup hanya mengandalkan kesamaan etnis dan agama, jika kualitas calon
diabaikan. Akibatnya, yang akan rugi adalah rakyat sebagai pemilih dan juga
martabat agama akan ternodai, bahkan dikhianati.
Sekali lagi, orang mencari
kesamaan identitas dalam berkawan, berbisnis, dan berpolitik, itu sangat
wajar dan sah. Tetapi ketika yang terjadi adalah manipulasi dan politisasi,
sama saja dengan membohongi rakyat dan merendahkan martabat agama.
Mengapa itu terjadi?
Mungkin seorang calon tidak cukup percaya diri dengan modal integritas,
popularitas, dan kompetensinya, sehingga mesti mencari cara lain untuk
membeli suara rakyat.
Yang mudah adalah dengan
membeli suara dengan uang dan menggoreng isu keagamaan. Ini mudah dilakukan
karena tingkat pendidikan dan ekonomi rakyat yang rendah. Kalau ini terjadi,
dan menang sudah terjadi, maka ongkos politik sangat mahal, jago yang menang
kualitasnya mengecewakan, agama dinodai, rakyat dibodohi, masyarakat
tersegregasi, pembangunan budaya demokrasi yang sehat menjadi mundur.
Oleh karena itu, jajaran
elite parpol punya tanggung jawab politik dan moral yang sangat besar dan
mulia untuk memperkecil kemungkinan terjadinya politisasi identitas yang akan
merusak kehidupan politik dan berbangsa. Kebangkitan dan semarak agama
seharusnya membangkitkan optimisme bagi kemajuan dan persatuan bangsa, karena
misi agama adalah memberikan pencerahan moral masyarakat serta penguatan
karakter.
Agama itu rahmat,
anugerah, kegembiraan, bukan ancaman yang menakutkan. Begitu pun politik,
pada dasarnya politik adalah ilmu, seni, dan aktivitas sangat mulia untuk
meraih kekuasaan guna melindungi dan menyejahterakan rakyat.
Jadi, jika dua entitas
yang pada dasarnya baik, yaitu agama bertemu politik, mestinya terjadi
akselerasi bagi pembangunan dan kemajuan bangsa, bukannya pertengkaran,
saling fitnah dan saling jegal tanpa panduan moral hanya semata demi memenuhi
ambisi dan kepentingan kelompok kepentingan dan para pemodal dalam hajatan
pilkada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar