Pikiran
Politik Megawati
Benny Susetyo ; Rohaniwan
|
KORAN
JAKARTA, 16 Januari 2018
Peran penting Pulau Jawa
dalam kontestasi politik Indonesia jelang Pemilu dan Pilpres 2019 akan tecermin
mulai Pilkada serentak 2018. Tercatat pada Pilkada serentak 2018 nanti ada
171 wilayah terdiri dari 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Di Pulau
Jawa, provinsi yang melaksanakan pilkada adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
Jawa Timur. PDI Perjuangan di bawah Megawati memiliki sebuah cara berpikir
sendiri, yang kadang-kadang sulit dibaca. Keinginan Mega kerap kali berbeda
dengan cara pandang publik dalam melihat setiap keputusannya.
Politik itu dinamis, di
mana setiap saat bisa berubah tergantung pada dinamika internal dan
eksternal. PDI Perjuangan sebagai partai besar yang dikendalikan langsung
Ketua Umum Megawati memiliki daya tawar tinggi. Kematangan berpolitik
Megawati kadang-kadang sulit diduga lawan.
Pengurus PDI Perjuangan
boleh bermanuver karena itu bagian dari demokrasi, tetapi hak penentukan
calon gubernur ada di tangan Mega. Dinamika perpolitikan menjelang pilpres
menjadi seru karena manuver selalu berubah-ubah. Politik penuh dengan
ketidakpastian dan intrik untuk menemukan konsesus.
Situasi tersebut membuat
publik kerap kali bingung, bahkan terlukai perasaannya. Dalam berpolitik
dibutuhkan kematangan melihat realitas. Pilkada serentak jelas yang menonjol
menjual sosok lewat politik branding. Pemasaran politik sebagai cabang kajian
akademis sebenarnya sudah mulai menjadi perhatian para ilmuwan komunikasi dan
politik pada 1950-an.
Namun implementasinya baru
berkembang tahun 1980-an, ketika televisi memiliki peran sangat penting dalam
penyampaian pesan. Kajian pemasaran politik secara akademis ini dari waktu ke
waktu mengalami pergeseran penekanan. Adman Nursal dalam Shama (1975) dan
Kotler (1982) menekankan pada proses transaksi antara pemilih dan kandidat,
sedangkan O’Leary dan Iradela (1976) menekankan pada penggunaan marketing mix
mempromosikan partai politik.
Pendapat lain dikemukakan
Lock dan Harris (1996) yang penekanannya pada proses positioning. Kemudian,
Wring (1997) menekankan penggunaan riset opini dan analisis lingkungan.
Dengan demikian, yang tampak baru dalam perkembangan pemasaran politik ada
pada penerapan riset pemasaran atau riset opini.
Konsep pemasaran sendiri
mengalami pergeseran perspektif dari orientasi internal perusahaan ke pasar
(market oriented). Orientasi pada produk saja belumlah memadai, tapi harus
memperhitungkan kondisi pasar. Dalam orientasi pasar yang harus diperhatikan
adalah konsumen dan pesaing. Di sini, konsep market oriented tidak berarti
harus sepenuhnya memenuhi keinginan pasar karena ada ideologi dan aliran
pemikiran khas yang harus dipertahankan.
Berbeda
Konvergensi yang
ditawarkan dari pandangan pro dan kontra pemasaran politik berbeda dengan
pemasaran komersial. Pemasaran politik memerlukan berbagai pendekatan
keilmuan dan bersifat khas karena produknya sangat berbeda dengan komersial
baik ditinjau dari karakteristik produk maupun konsumennya. Pemasaran politik
memiliki dimensi lebih luas dan karenanya lebih kompleks. Firmanzah dalam
bukunya, Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas mengatakan,
pemasaran politik menempatkan pemilih sebagai subjek, bukan objek dari partai
politik atau kandidat.
Pemasaran politik
menjadikan permasalahan yang dihadapi pemilih sebagai langkah awal menyusun
program kerja yang ditawarkan dengan bingkai ideologi masing-masing partai
atau kandidat. Pemasaran politik ini tidak menjamin sebuah kemenangan, tapi
menyediakan tools menjaga hubungan dengan pemilih, sehingga dari sini akan
terbangun kepercayaan untuk selanjutnya memperoleh dukungan suara mereka.
Pilkada serentak 2018
adalah pertarungan branding di mana sosok yang mampu menguasai dunia maya,
memiliki gagasan segar, dan mampu keluar dari lingkaran kesukuan, keagamaan
serta pandangan sempit akan unggul. Yang dibutuhkan sekarang partai politik
bisa memanfaatkan peluang dengan menciptakan branding baru.
Munculnya lawan yang tak
terduga akan mengubah persaingan politik dan menjadikannya lebih seru. Parpol
juga dituntut untuk mampu membaca tanda zaman dan menyerap aspirasi warga
yang haus akan perubahan. Dalam pilkada mendatang, rakyat akan memilih pemimpin
dengan visi yang jelas dan terukur. Keputusan PDI Perjuangan mencalonkan
seorang pemimpin menjaga roh Pancasila yang harus dijaga keutuhan
multikulturnya dan pembanguan berkelanjutannya.
Megawati sebagai seorang
negarawan memikirkan keindonesian bukan semata-mata kepentingan partai.
Inilah yang membedakannya dengan partai lain yang kerap kali hanya berpikir
pragmatisme. Semua harus menegaskan kembali makna berpolitik dan
berkekuasaan. Mengembalikan makna berpolitik untuk kepentingan perjuangan
semesta untuk membangun Indonesia menjadi negara makmur dan luhur.
Berpolitik bukan jurus aji
mumpung sekadar meraih kekuasaan, tapi seni membangun kemajuan bangsa.
Disorientasi politik akan membawa bangsa ke jurang kesengsaraan yang amat
dalam. Pada tataran ini semua harus belajar dari para pendahulu negeri.
Mereka bisa mewarnai politik dengan gagasan-gagasan besar Indonesia masa
depan.
Berpolitik untuk membangun
bangsa dengan penguasa yang berpihak pada rakyat, bukan pemilik uang semata.
Inilah sebenarnya yang dijadikan pegangan Megawati berpolitik, keutamaan
untuk rela berkorban demi bangsa dan negara. Visi kenegaraan itulah menjadi
pegangan Megawati dalam berpolitik demi kebaikan bangsa, bukan semata-mata
kepentingan partai. Visi kenegarawan Megawati dalam banyak hal mengorbankan
kepentingan politik sempit karena bangsa lebih diutamakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar