Penurunan
(Semu) Kemiskinan
Bagong Suyanto ; Guru Besar FISIP Universitas Airlangga
|
KOMPAS,
05 Januari
2018
Di awal tahun 2018, Badan
Pusat Statistik mengumumkan data yang menggembirakan: jumlah penduduk miskin
di Indonesia menurun. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per September
2017, penduduk miskin di Indonesia tercatat sebesar 10,12 persen. Angka
tersebut turun jika dibandingkan dengan September 2016 yang tercatat sebesar
10,70 persen, dan Maret 2017 sebesar 10,64 persen. Sementara itu, jumlah
penduduk miskin per September 2017 dilaporkan juga turun menjadi 26,58 juta
orang. Bandingkan dengan kondisi pada Maret 2017 di mana jumlah penduduk
miskin sebesar 26,77 juta orang.
Secara statistik, laporan
BPS yang menyebutkan tingkat kemiskinan selama Maret-September 2017 menurun
tentu melegakan banyak pihak. Artinya, kritik dari berbagai pihak yang
menyebut kekeliruan pemerintah dalam merumuskan program- program pembangunan
dan program penanggulangan kemiskinan ternyata tidak sepenuhnya benar.
Buktinya, selain jumlah
penduduk miskin menurun, indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan juga
dilaporkan membaik, yakni masing-masing sebesar 1,79 persen dan 0,46 persen.
Tingkat ketimpangan kemakmuran yang diukur dari rasio gini, menurut BPS
sebesar 0,391 poin per September 2017 atau turun 0,002 poin bila dibandingkan
dengan kondisi Maret 2017.
Apa makna dari data yang
diekspos BPS di atas? Apakah data statistik yang melaporkan penurunan jumlah,
persentase, dan ketimpangan kemakmuran merefleksikan bahwa berbagai program
penanggulangan kemiskinan yang dikembangkan pemerintah selama ini sudah di
jalur yang benar?
Keberhasilan
semu
Sebelum membahas sejauh
mana berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dikembangkan selama ini
efektif dan tepat sasaran atau tidak, ada baiknya jika kita terlebih dahulu
memahami makna di balik data BPS tentang penurunan kemiskinan di Indonesia.
Perlu diketahui, di balik angka penurunan kemiskinan sebagaimana dilaporkan
BPS, satu hal yang masih menjadi ganjalan sebetulnya adalah soal batasan
tentang siapa yang tepat dikategorikan miskin.
Persoalan ini perlu
dijernihkan terlebih dahulu. Sebab, batasan BPS untuk menentukan seseorang
disebut miskin atau tidak sebetulnya masih jadi kontroversi karena dinilai
terlalu rendah. Seperti diketahui, di tahun 2017, seseorang dikategorikan
miskin jika pendapatan per kapita per bulan sekitar Rp 375.000. Artinya, satu
keluarga miskin dengan dua orang anak, mereka tidak akan disebut miskin jika
setiap bulan penghasilan keluarga itu di atas Rp 1,5 juta. Apakah realistis
berharap satu keluarga dengan empat anggota keluarga dapat bertahan hidup
hanya dengan Rp 1,5 juta?
Di tengah kondisi di mana
harga bahan kebutuhan pokok terus naik, dan tidak jarang keluarga miskin
harus menghadapi kebutuhan yang sifatnya mendadak, termasuk bila ada anggota
keluarga yang sakit, maka bisa dibayangkan bagaimana mungkin satu keluarga
miskin dapat bertahan hidup hanya dengan penghasilan di bawah Rp 2 juta atau
bahkan di atas Rp 3 juta.
Jika penetapan UMR di
berbagai kota saja kini sudah di atas Rp 3 juta, sebetulnya agak aneh jika
BPS tetap memakai batasan sekitar Rp 375.000 untuk mengategorikan seseorang
disebut miskin atau tidak. Kalau mengacu pada batasan Bank Dunia, seseorang
dikategorikan tidak miskin apabila penghasilan mereka per kapita per bulan
sekitar
Rp 780.000 ke atas.
Jadi, kalau mempergunakan
batasan Bank Dunia, jumlah penduduk miskin di Indonesia bisa dipastikan jauh
lebih besar daripada angka yang diumumkan BPS di atas. Selain itu, kalau
dilaporkan angka ketimpangan kemakmuran menurun, itu juga bukan berarti tidak
ada masalah di balik angka yang tersaji.
Meski pemerintah mengklaim
angka ketimpangan kemakmuran menurun, dalam kenyataan sangat terasa bahwa
kehidupan masyarakat miskin justru sering kali masuk dalam pusaran
kemiskinan, sedangkan masyarakat menengah ke atas masuk dalam pusaran
kemakmuran yang kian tidak terkejar.
Sekadar contoh, data
Forbes, misalnya, mencatat laju pertumbuhan 40 orang terkaya di Indonesia
empat kali lebih cepat daripada pertumbuhan ekonomi nasional selama
2006-2016. Pada kurun waktu yang sama, jumlah pundi-pundi 40 orang terkaya di
Indonesia tercatat melonjak 317 persen, sementara pendapatan per kapita
masyarakat hanya tumbuh 52 persen. Berdasarkan data Global Wealth Databooks
Credit Suisse tahun 2017, sebesar 45,4 persen porsi kekayaan nasional
ternyata hanya dikuasai 1 persen rumah tangga terkaya.
Atas dasar kenyataan ini,
berbagai keberhasilan sebagaimana diperlihatkan dalam laporan BPS di atas
tidaklah berlebihan jika disebut sebagai keberhasilan semu. Apalah artinya
data statistik yang melaporkan terjadi penurunan kemiskinan di Indonesia jika
di saat yang sama kesempatan orang-orang miskin untuk mengembangkan mobilitas
vertikal memperbaiki taraf kesejahteraannya tidak membaik?
Fondasi
Guna memberi kesempatan
dan memastikan agar masyarakat miskin di Indonesia memiliki peluang
meningkatkan taraf kesejahteraannya, tidak bisa tidak yang dibutuhkan adalah
bagaimana memperbaiki fondasi dan posisi tawar masyarakat miskin. Memperkuat
fondasi dan modal sosial bagi masyarakat miskin untuk memperbaiki taraf
kesejahteraannya ini penting dilakukan karena hal itu memang merupakan
prasyarat untuk menjamin mereka memperoleh proporsi yang layak dan adil atas
jerih-payah yang dilakukan.
Dalam kenyataan, selama
ini sudah bukan rahasia lagi bahwa masyarakat miskin umumnya jadi makin papa
ketika posisi tawar mereka rendah, dan mereka tak memperoleh margin keuntungan
sesuai dengan haknya. Memang pemerintah sudah berupaya meningkatkan taraf
kesejahteraan masyarakat miskin melalui kebijakan reforma agraria yang
meredistribusi aset masyarakat miskin. Akan tetapi, tanpa dibarengi upaya
perlindungan dan memastikan masyarakat miskin memperoleh apa yang menjadi hak
mereka, yang dialami masyarakat miskin niscaya hanya kerentanan dan
ketidakberdayaan.
Lebih dari sekadar
keberhasilan dalam bentuk angka-angka statistik, untuk memastikan bahwa
pembangunan yang dikembangkan benar-benar telah berhasil mengurangi jumlah
penduduk miskin dan ketimpangan kemakmuran, maka yang dibutuhkan adalah
bagaimana memfasilitasi pengembangan modal dan fondasi sosial masyarakat
miskin. Jangan sampai terjadi, pembangunan diklaim telah berhasil dan on the
track, tetapi ternyata itu semua hanya fatamorgana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar