Nasib
‘Kambing Hitam' Bernama HTI
Ma'mun Murod Al-Barbasy ; Direktur Pusat Studi
Islam dan Pancasila
(PSIP) FISIP UMJ
|
REPUBLIKA,
10 Januari
2018
Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI) telah dibubarkan Pemerintah tanpa melalui proses yang lazim sebagaimana
amanat UU Nomor 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Bahkan bila
pembubarannya mendasarkan pada Perppu Nomor 2/2017 tentang Organisasi
Masyarakat sekalipun, banyak tahapan pembubaran HTI yang dilanggar. HTI
“hanya” dibubarkan oleh Menkopolhukam. Tak ada sanksi administrasi atau pun
pidana. Proses pemberian sanksi administrasi dari mulai peringatan tertulis
sampai penghentian kegiatan tak dilakukan oleh Pemerintah. Pemerintah langsung
mengambil sanksi administrasi berupa pencabutan surat keterangan terdaftar
atau pencabutan status badan hukum. Ini jelas pelanggaran UU dan juga Perppu.
Meskipun sudah dibubarkan,
HTI masih saja terus disudutkan sebagai organisasi yang hendak mendirikan
bukan sekadar Negara Islam tapi juga Negara Khilafah (Islamiyah). Beberapa
individu maupun tokoh yang diduga menjadi pendukung HTI, yang tergambar dari
pernyataan-pernyataannya terkait HTI yang tersebar di media sosial, dilarang
mengisi pengajian. Pengajiannya diancam untuk dibubarkan. Kasus terbaru
menimpa Felix Siauw dan Bahtiar Nasir
belum lama ini. Keduanya dilarang mengisi pengajian dengan dalih keduanya
mendukung HTI.
Kalau ukuran dukungan
terhadap HTI hanya dilihat dari pernyataan-pernyataannya di media massa, maka
sebenarnya tidak hanya Felix Siauw dan Bahtiar Nasir. Ada banyak mantan
pejabat di negeri ini yang pernah pembuat testimoni atau pernyataan dukungan
kepada HTI. Beberapa di antaranya bahkan sekarang menjadi bagian dari
Pemerintan yang telah membubarkan HTI itu sendiri.
Mungkinkah
Berdiri Negara Khilafah?
Meskipun bercita-cita
mendirikan Negara Khilafah, namun kalau melihatnya dengan nalar yang jernih,
sejatinya tak ada satu celah pun dalam sistem politik Indonesia yang bisa
menjadi pintu masuk bagi HTI untuk mendirikan Negara Khilafah, sehingga
menyudutkan HTI menjadi sangat berlebihan.
Kalau berkaca pada kasus
Turki misalnya, di mana Recep Tayyip Erdogan dengan Adalet ve Kalkinma
Partisi (AKP)-nya berhasil mengembalikan Turki sebagaimana sebelum Kemal
At-Taturk, dengan wajah Islam yang menonjol, sejatinya untuk mengubahnya
membutuhkan waktu cukup lama. Awal perjuangan politiknya setidaknya bisa
dilacak sejak bendirinya Partai Refah oleh Necmettin Erbakan.
Dalam proses mengembalikan
menjadi wajah Turki yang sekarang ini –dari mulai Erbarkan sampai Erdogan–
dilakukan dengan mengikuti mekanisme politik yang ada di Turki. Necmettin
sampai Erdogan sama sekali tidak pernah menegasikan sistem politik yang
tengah berlangsung di Turki. Sebaliknya mengikuti semua mekanisme politik
yang berlaku, termasuk dengan mendirikan partai politik dan terlibat dalam
pemilu.
Sebaliknya, HTI justru
tegas menyatakan demokrasi sebagai sistem kufur, termasuk menolak keberadaan
partai politik sebagai produknya, seperti tergambar dalam karya Amir Hizbut
Tahrir (1977-2003) Abdul Qadim Zallum, ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufr: Yahrumu
Akhdzuha aw Tathbiquha aw Dakwatu Ilaiha. Pandangan ini kontras dengan
demokrasi yang tegas menjadikan partai politik dan pemilu sebagai instrumen
politik paling penting yang digunakan dalam proses pergantian kepemimpinan.
Dengan kata lain tak mungkin tidak untuk merubah negara harus melalui pemilu
dan partai.
Sementara Indonesia,
negara yang hendak diubah menjadi Negara Khilafah adalah negara yang sudah
bersepakat menjadikan demokrasi sebagai the rule of games dalam praktek
politiknya. Artinya, untuk mengubah Indonesia menjadi Negara Khilafah, HTI
harus beradaptasi dengan sistem politik Indonesia. Caranya, HTI harus mau
menerima demokrasi sebagai sistem politik, tak bisa lagi dianggap sebagai
sistem kufur, meski di dalamnya terdapat banyak titik kelemahan.
Selain itu, “kelamin
politik” HTI harus jelas, dengan bersedia mengubah diri menjadi partai
politik. Bukan sekadar namanya Hizbut Tahrir
yang kalau diartikan bisa berarti “Partai Pembebasan”. Lebih dari itu
semua, HTI juga harus mau menerima Pancasila sebagai ideologi negara.
HTI harus mau menerima
tiga hal tersebut: menerima demokrasi, menjadi partai, dan menerima
Pancasila. Sementara tiga hal ini pula yang selama ini menjadi prinsip dasar
perjuangan HTI. Dan untuk mengubah tiga hal prinsip ini tentu bukan perkara
mudah bagi HTI. Kalau HTI tidak mau mengubahnya, maka sulit bagi HTI untuk
memulai mewujudkan impiannya mendirikan Negara Khilafah.
Sampai di sini saja sudah
terbayang betapa sulitnya mencari pintu masuk bagi HTI untuk mengubah
Indonesia menjadi Negara Khilafah. Dengan prinsip dasar politiknya,
hampir-hampir sulit bagi HTI untuk berputar haluan dengan menerima demokrasi
dan mendirikan partai politik. Bahkan andaikan HTI mau “menggadaikan” diri
dengan ber-taqiyah dan bersepakat beradaptasi dengan sistem yang ada pun
belum tentu juga niat mengubah Indonesia menjadi Negara Khilafah akan
terwujud.
Andai HTI bersedia
menerima demokrasi dan mendirikan partai politik, juga tidak yakin akan
begitu mudah memperoleh dukungan politik.Mainstream umat Islam Indonesia itu
menolak formalisasi agama dalam kehidupan negara. Apalagi saat ini
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama juga sudah confirm menjadikan Pancasila
sebagai ideologi negara. Dulu ketika Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan
partai Islam lainnya masih berjuang menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam
pun selalu menuai kegagalan, rasanya akan sangat sulit memperjuangkan
berdirinya Negara Khilafah di Indonesia saat ini.
Sebelumnya kelompok Islam
gagal dalam perjuangan mempertahankan kesepakatan BPUPKI dengan Piagam
Jakarta-nya pada Sidang PPKI. Sidang PPKI berhasil mengubah isi Piagam
Jakarta dengan membuang anak kalimat: “Ketuhanan dengan menjalankan Syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pada
persidangan di Konsituante, kelompok Islam juga mengalami kekalahan. Usulan
mengembalikan Piagam Jakarta ditolak oleh mayoritas anggota Konstituante.
Umat Islam sedikit
terhibur karena dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Soekarno masih
menyebutkan: “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni
1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian
kesatuan dengan Konstitusi tersebut”.
“Kambing
Hitam” HTI
Berangkat dari prinsip
dasar HTI dan berkaca pada sejarah perjuangan politik Islam di Indonesia,
untuk tidak mengatakan mustahil, rasanya tidak mudah bagi HTI untuk
menghadirkan Negara Khilafah di Indonesia. Karenanya, saya menilai sangat
berlebihan terhadap mereka yang terus menyudutan dan mengkambinghitamkan HTI
dengan tuduhan hendak menghadirkan Negara Khilafah.
Saya menduga, penyudutan
terhadap HTI bukan semata “kambing hitam” terhadap HTI, tapi memang ada upaya
serius dan sistematis, terutama dari kalangan islamophobia yang sengaja
terus-menerus mencoba memojokkan Islam politik di Indonesia dengan
menonjolkan wajah Islam yang menyeramkan dan menakutkan. Tujuannya jelas,
agar kalangan islamophobia tetap mempunyai alasan atau sasaran untuk mencerca
da menghina-dina Islam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar