Masalah
Pengaderan Politik Bangsa
M Alfan Alfian ; Direktur Pascasarjana Ilmu Politik Universitas
Nasional, Jakarta
|
KOMPAS,
30 Desember
2017
Membaca kembali uraian
ilmuwan politik Indonesia generasi pertama Deliar Noer, sampailah kita pada
kalimat, ”Pemunculan pemimpin hanya mungkin dengan adanya kebebasan”. Kalimat
itu muncul dalam bukunya, Membincangkan Tokoh-tokoh Bangsa (2001). Apa yang disinyalir
doktor ilmu politik lulusan Universitas Cornell ini tidaklah keliru dalam
konteks demokrasi.
Kita dapat membacanya
dalam pengertian bahwa tantangan pemunculan pemimpin di alam ketidakbebasan
berbeda dengan dalam suasana demokrasi. Di era kebebasan seharusnya kita
lebih mudah menghadirkan pemimpin. Namun, justru ketika kita masuk dan berada
di era demokrasi, problem pengaderan tidak semulus bayangan semula. Tak mudah
menghadirkan pemimpin bangsa.
Iklim kebebasan telah
direspons oleh munculnya berbagai partai politik. Hal yang lazim ini
mengingatkan masa awal kemerdekaan ketika
partai-partai berkembang dalam corak ideologisnya. Pola pengaderannya
pun bernuansa ideologis.
Deliar Noer mencatat
mengemukanya pola kepemimpinan masa revolusi pasca-kemerdekaan, di mana
calon-calon pemimpin harus melewati fase magang atau latihan. Dedikasi pada
partai atau organisasi pun menguat. Para tokoh masa magang itu berbeda dengan
para seniornya yang telah ditempa ujian politik sebelum kemerdekaan. Pola
magang bertujuan menguji kesetiaan sekaligus peningkatan kapasitas politik.
Partai-partai berlomba menghadirkan kader unggulan dalam kontestasi ataupun
mengisi jabatan publik.
Namun, sejarah kepolitikan
Indonesia yang begitu dinamis di era Demokrasi Parlementer berubah ke
fase-fasenya yang relatif statis pada Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru.
Peran sentral negara, kalau bukan elite kekuasaan, sangat memengaruhi pola
pengaderan politik di partai-partai dan masyarakat. Iklim ketidakbebasan
tidak menjamin munculnya sosok pemimpin independen, kecuali yang serestu
sentral elite kekuasaan. Pada masa Orde Baru pendekatan korporatis
diterapkan. Pewadahtunggalan berbagai kegiatan dan profesi dilakukan agar
mereka mudah dikontrol negara. Seleksi kepemimpinan hampir selalu melalui
campur tangan negara.
Kendati demikian,
antitesisnya muncul justru dari ranah masyarakat sipil (civil society). Ruang
kebebasan yang sempit mampu memicu kepemimpinan perlawanan. Namun, mereka
sekadar kelompok penekan yang marjinal. Negara terlalu kuat masa itu kendati
akhirnya masyarakat sipil mampu mendorong perubahan politik ke era reformasi.
Dampak sentralitas elite kekuasaan dan kuatnya negara Orde Baru yang mampu
membentuk kultur pengaderan politik sesuai caranya masih kuat di era
kebebasan dewasa ini.
Paradoks
Apa yang kita jumpai
sekarang masih diwarnai paradoks. Era kebebasan sudah terjadi, tetapi
pengaderan tidak optimal. Apabila dibandingkan dengan pola kepemimpinan masa
revolusi yang berpola magang, nyaris hal itu tidak begitu penting lagi kini.
Para elite partai
menganggap pengaderan penting, tetapi mereka lebih meyakini hukum pasar.
Dalam konteks kontestasi, kader internal sering kali tidak dianggap penting
manakala terdapat tokoh luar atau dari partai lain yang direkomendasikan
lembaga survei lebih tinggi elektabilitasnya.
Kalau dulu, dedikasi dan
loyalitas itu penting dilakukan kader ke partai, lantas partai pun konsisten
dalam memberikan insentif politik, pun tak takut kalah dalam kontestasi
karena barisannya kuat, sekarang nyaris tidak penting lagi. Banyak kasus
memberi tahu publik bahwa aspek dedikasi dan loyalitas yang telah dipenuhi
oleh kader partai tidak memperoleh balasan yang sepadan dari elite kekuasaan
partai yang berpola pikir pasar.
Elite itu tidak siap kalah
dalam kontestasi, lantas sengaja mendukung kader lain yang tidak terkait
dengan aspek dedikasi dan loyalitas. Pola pikir pragmatis itulah yang
dominan.
Desakralisasi
partai
Ada masalah pokok yang
diabaikan di sini, ketika ideologi atau setidaknya identitas politik partai
tidak lagi dianggap penting. Kini telah terjadi desakralisasi partai dari
alat perjuangan ideologis menjadi sekadar kendaraan politik untuk tujuan
praktis kekuasaan.
Kekuasaan hanya perlu
diraih dan dibagi-bagi untuk memberlangsungkan pembangunan yang nyaris hanya
bisa berjalan apabila struktur insentifnya kuat. Yang berkuasa harus
pandai-pandai membuat struktur insentif, membagi-bagi ke seluruh pendukung
agar stabilitas politik internal terjaga.
Tidak adanya tradisi
oposisi politik yang kuat karena budaya dan sistem juga turut berpengaruh
pada pola pengaderan dewasa ini. Kekuatan-kekuatan politik di luar atau di
dalam pemerintahan rata-rata punya tradisi pengaderan yang sama. Jawaban
cukup mudah untuk menjelaskannya, itu semua dampak sistem. Sistemlah yang
membuat para elite politik tidak punya pilihan lain selain melakukan hal-hal
yang klise dalam politik praktis. Karena ongkos dalam suatu praktik politik
non-ideologis dewasa ini begitu mahal, mereka dituntut pandai-pandai
beradaptasi.
Apakah gejala demikian
menandai krisis pengaderan politik bangsa? Ataukah sekadar fenomena perbedaan
pola pengaderan akibat tuntutan yang berbeda? Bahwa telah terjadi krisis
pengaderan partai mungkin cukup tepat kendati bisa identik krisis pasokan
pemimpin bangsa. Akan tetapi, harus diakui bahwa tuntutan kepartaian dewasa
ini berbeda dengan masa lalu.
Partai-partai di Indonesia
sudah masuk fase ketiga, fase persaingan atau kontestasi pragmatisme
kalkulatif, bukan lagi perjuangan ideologis (fase pertama) dan fase pembangunan
yang berpusat negara.
Fase masa kini punya
peluang dan konsekuensinya. Karena bukan entitas yang dipandang sakral atau
sangat ideologis, dan secara tuntutan harus mampu bersikap terbuka, partai
berpeluang akomodatif bagi hadirnya kepemimpinan yang bersumber masyarakat.
Sumber-sumber kepemimpinan masa kita bisa menjadi sangat luas, tak hanya
penyedia magang di partai maupun organisasi nonpartai, tetapi juga
individu-individu kreatif yang hadir dari tradisi era digital baru. Masalah
pengaderan politik bangsa pun harus menjadi tanggung jawab bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar