Ironi
Impor Beras
Dwi Andreas Santosa ; Guru Besar IPB;
Ketua Umum Asosiasi
Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia
|
KOMPAS,
18 Januari
2018
Selama tiga tahun
pemerintahan ini, gejolak harga beras pernah terjadi pada 2015. Saat itu,
harga beras medium rata-rata nasional meningkat tajam dari Rp 9.646 pada
Januari kemudian memuncak di angka Rp 10.375 pada Maret 2015.
Harga kemudian kembali
turun pada April dan Mei. Setelah Mei 2015, harga kembali meningkat tajam dan
tidak ada bulan tanpa kenaikan harga beras di tengah ironi klaim peningkatan
produksi yang luar biasa, yakni dari 70,8 juta ton gabah kering giling (GKG)
pada 2014 menjadi 75,4 juta ton GKG pada 2015 atau peningkatan sebesar 6,42
persen (Badan Pusat Statistik/BPS, Juli 2016).
Tak
sesuai kenyataan
Klaim produksi dan surplus
besar tersebut tidak sesuai dengan kenyataan yang ada karena pada saat
bersamaan terjadi fenomena El Nino yang mengganggu produksi padi. Pada saat itu,
Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) melakukan kajian
lapangan dan berkesimpulan produksi pada 2015 lebih rendah dibandingkan pada
2014 (DA Santosa, ”Kekeringan Mengancam Pangan”, 10/8/2015). Pemerintah
akhirnya mengambil keputusan untuk impor beras pada September 2015.
Beras impor dalam jumlah
besar masuk pada November dan Desember 2015, masing-masing 318.925 ton dan
291.981 ton. Total impor beras pada 2015 sebesar 861.630 ton (pada 2014
sebesar 844.191 ton) yang berupa beras untuk keperluan umum sebanyak 505.290
ton dan beras pecah (broken rice) 353.453 ton. Impor beras memperlihatkan
dampaknya sehingga meski harga beras tetap mengalami peningkatan pada Januari
hingga Maret 2016, peningkatannya mulai melandai. Beras impor dalam jumlah
besar masuk lagi pada awal 2016, masing-masing sebesar 382.546 ton, serta
296.375 ton dan 303.077 ton pada Januari hingga Maret 2016.
Panen raya yang dimulai Maret 2016
menyebabkan beras tersedia melimpah pada April sehingga harga kemudian turun.
Harga beras sangat stabil hingga Maret 2017, yang ditopang oleh produksi
sepanjang tahun karena fenomena La Nina dan impor beras pada 2016 yang
totalnya mencapai 1.283.183 ton. Dari jumlah itu, hampir 1 juta ton berupa
beras untuk keperluan umum dan 282.177 ton berupa beras pecah serta sangat
sedikit beras khusus.
Sepanjang tahun 2016
hingga kuartal pertama tahun 2017 merupakan ”masa keemasan” tata kelola
beras. Harga beras pada Januari 2017 bahkan lebih rendah dibandingkan dengan
Januari 2016 yang belum pernah terjadi selama beberapa tahun terakhir.
Sebagaimana pola umum yang terjadi, pada April 2017 harga beras turun tajam
dan kemudian meningkat lagi meskipun kecil.
Pada bulan-bulan tersebut
serangan hama mulai meluas, terutama wereng batang coklat (WBC) dan kerdil
rumput. Dari hasil kajian AB2TI dan kajian lapangan penulis dan tim mulai
dari Bogor, Indramayu, hingga Tabanan, Bali, menemukan serangan hama yang
masif akibat penanaman padi tanpa jeda sepanjang tahun 2016 dan awal tahun
2017. Hingga Juli 2017 diperkirakan serangan WBC dan kerdil rumput mencapai
407.000 hektar di Jawa dan Bali, yang kemudian diberitakan oleh sejumlah
media nasional pada saat itu. Hasil kajian dengan data yang mirip disampaikan
juga oleh Departemen Proteksi Tanaman IPB. Berdasarkan hal tersebut, AB2TI
berkesimpulan bahwa produksi padi tahun 2017 lebih rendah dibandingkan tahun
2016.
Pada saat bersamaan
terjadi peristiwa lainnya, yaitu penggerebekan PT IBU yang menjadi fenomena
baru tata kelola pangan di Indonesia. Pedagang-pedagang beras ketakutan
sehingga tidak berani melakukan manajemen stok karena bisa dituduh melakukan
penimbunan. Pada saat itu banyak penggilingan padi skala kecil mati suri.
Pada Agustus, pemerintah mengeluarkan peraturan harga eceran tertinggi (HET)
untuk beras medium di wilayah produsen sebesar Rp 9.450/kg serta Rp 9.950/kg
dan Rp 10.250/kg di luar wilayah produsen. Pelaku usaha yang tidak taat
diancam dengan pencabutan izin usaha.
HET tersebut ditetapkan
saat harga beras medium rata-rata nasional telah mencapai Rp 10.617/kg dan
harga gabah kering panen (GKP) sudah mencapai Rp 4.509/kg (BPS, September
2017), yang jauh melampaui harga pembelian pemerintah (HPP) sebesar Rp
3.700/kg. HPP digunakan sebagai salah satu dasar penghitungan penetapan HET.
Akibatnya, beras medium mulai langka di pasaran karena pedagang takut menjual
di atas harga ketetapan dan/atau diubah menjadi beras premium. HET tidak
memiliki dampak apa pun dan harga terus naik hingga September 2017 meskipun
dengan kenaikan yang relatif kecil.
Potensi penurunan produksi
dan kebijakan baru tata niaga beras menimbulkan kekhawatiran. Hal tersebut
terbukti ketika kenaikan harga mulai menajam sejak Oktober. Pada bulan
tersebut, AB2TI mengadakan kajian terkait harga GKP di 36 kabupaten di wilayah
produsen. Harga GKP meningkat tajam dari Rp 4.509/kg di Agustus menjadi Rp
4.908/kg atau 8,8 persen dalam tempo hanya dua bulan. Pada saat itu tidak ada
tindakan apa pun dari pemerintah untuk mengkaji lebih detail terkait stok
beras nasional karena terbuai dengan klaim produksi sebesar 81,57 juta ton
GKG serta surplus beras sebesar 17,6 juta ton (Kementerian Pertanian, 2017).
Kekhawatiran kemudian
mewujud pada awal Januari 2017 ketika harga beras medium rata-rata nasional
melewati batas psikologis sebesar Rp 11.000/kg. Berbagai upaya dilakukan
melalui operasi pasar (OP), tetapi tidak berhasil meredam harga beras. OP
biasanya berhasil dengan baik apabila stok di pedagang masih ada. Stok gabah
di sebagian besar petani anggota AB2TI juga kosong dan mereka sudah menjadi
konsumen neto yang ikut terdampak akibat melambungnya harga.
Pada awal Januari 2018,
AB2TI kembali melakukan kajian terkait harga GKP di tingkat petani dan
mendapatkan bahwa harga GKP telah mencapai Rp 5.667 atau kenaikan sebesar
15,4 persen dibandingkan pada Oktober 2017. Harga GKP terus meningkat dan
mencapai rekor baru setinggi Rp 6.000/kg GKP di pertengahan Januari 2018.
Jika GKP tersebut dikonversi ke beras, harga beras medium akan menyentuh ke
angka Rp 13.000/kg.
Tata
kelola beras
Menghadapi risiko kenaikan harga beras yang
tidak terkendali, pemerintah memutuskan melakukan impor beras sebesar 500.000
ton. Keputusan pemerintah tersebut dapat dipahami. Sekalipun ada panen pada
Januari dan Februari, jumlahnya biasanya belum memadai untuk memenuhi
kebutuhan. Harga akan masih terus meningkat hingga Februari dan Maret. Dalam
pola produksi yang normal, Maret biasanya panen raya, tetapi harga masih
tetap tinggi karena beras belum tersedia hingga ke konsumen. Baru pada April
harga beras biasanya turun.
Sayangnya, keputusan impor
tersebut sangat terlambat karena tanda-tanda kekurangan stok sudah jelas
terlihat sejak Oktober 2017 dan potensi penurunan produksi tampak sejak Juli
2017. Pemerintah melalui Bulog perlu berupaya keras sehingga beras impor bisa
benar-benar datang di pertengahan Februari 2018 sehingga dapat digunakan
untuk intervensi pasar. Intervensi pasar bisa dilakukan ketika harga beras
medium telah mencapai Rp 13.000/kg. Beras impor sebaiknya disimpan sebagai
cadangan untuk tahun 2018 ketika sudah memasuki Maret karena apabila
didistribusikan akan berdampak pada penurunan harga gabah di tingkat usaha
tani.
Kejadian ini juga menjadi
pembelajaran penting untuk tata kelola pangan yang lebih baik pada masa yang
akan datang. Sebagaimana berkali-kali disampaikan, akurasi data produksi dan
stok menjadi kunci utama tata kelola pangan yang baik. Presiden perlu
mengambil tindakan tegas terkait hal ini.
Dalam kondisi dan situasi
yang terjadi seperti akhir-akhir ini, sektor swasta memainkan peran penting
dalam upaya merespons harga yang tinggi dan menghindari krisis pangan
(Gilbert, University of Trento, Itali, 2012). Hampir seluruh stok pangan
berada di tangan pelaku usaha, petani dan masyarakat umum. Dengan demikian,
upaya untuk membangun rasa saling percaya antara pemerintah dan pelaku usaha
menjadi kunci penting tata kelola pangan yang baik. Sayangnya, selama tiga
tahun terakhir ini kita disuguhi drama ketidakpercayaan yang semakin lebar
antara sektor swasta dan pemerintah. Upaya penyelesaian masalah berakhir di
upaya mencari ”kambing hitam pelaku usaha” ketika gejolak harga pangan
terjadi, yang justru membuat situasi semakin runyam.
Terkait dengan stok yang
dipegang pemerintah, kapasitas pemerintah untuk menguasai stok pangan perlu
ditingkatkan 10-20 persen dari total produksi sehingga efektif ketika
melakukan intervensi pasar. HPP untuk gabah di tingkat usaha tani yang hanya
Rp 3.700/kg sudah tidak masuk akal dan mencederai petani. Biaya produksi
untuk menghasilkan 1 kilogram gabah sudah mencapai Rp 4.199 (kajian AB2TI,
September 2016) sehingga pemerintah perlu segera menaikkan HPP di atas Rp
4.200/kg untuk GKP di tingkat usaha tani sebelum panen raya pada Maret 2018.
Penetapan HPP yang terlalu rendah dan tidak mempertimbangkan inflasi serta
kesejahteraan petani menjadi penyebab utama mengapa serapan Bulog terus
menurun tiap tahunnya.
Terakhir, kedaulatan
pangan sebagaimana diamanatkan di Nawacita telah berbelok arah menjadi
swasembada pangan. Petani ditempatkan sebagai obyek melalui berbagai program,
bantuan dan subsidi input agar berproduksi setinggi-tingginya dan melupakan
hakikat terbesar kedaulatan pangan, yaitu menempatkan petani sebagai subyek
yang ikut menentukan arah dan kebijakan pertanian, meningkatkan hak dan
kedaulatan petani, serta memuliakan petani. Salah satu upaya pragmatis yang
bisa ditempuh adalah mengubah berbagai program, bantuan dan subsidi, menjadi
subsidi output yang lebih menyejahterakan. Peningkatan produksi adalah berkah
karena kita bersungguh-sungguh memuliakan petani dan meningkatkan
kesejahteraan mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar