Problem
Kemiskinan 2017
Edy Purwo Saputro ; Dosen
di FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta; Doktor Ekonomi Manajemen UNS
|
MEDIA INDONESIA,
05 Januari 2017
SALAH
satu tantangan berat di 2017 ialah mereduksi kemiskinan, terutama mengacu rilis
BPS bahwa jumlah kemiskinan per September 2016 mencapai 27,76 juta atau 10,7%
dari total penduduk. Jumlah itu ternyata turun 0,89% jika dibandingkan dengan
periode Maret 2016 yang mencapai 28,01 juta atau 10,86% dari total penduduk.
Meskipun demikian, bila dibandingkan dengan periode September 2015, ternyata
penurunan kali ini mencapai 1,22%. Argumen yang mendasari penurunan jumlah
kemiskinan ialah turunnya harga sejumlah harga pangan periode Maret-September
2016.
Terkait
dengan itu, kenaikan harga cabai di awal 2017 bisa menjadi sinyal negatif
terhadap target penurunan angka kemiskinan, termasuk juga problem bencana
yang terjadi selama semester akhir 2016 sampai triwulan pertama 2017. Faktor
lain yang juga mendukung terjadinya penurunan kemiskinan ialah terjadinya
perbaikan nilai tukar pertanian. Data per September 2016, nilai tukar
pertanian tercatat 102,02 atau naik 0,69% jika dibandingkan dengan periode
Maret 2016.
Meski
demikian, ancaman terhadap perubahan nilai tukar pertanian pada semester awal
2017 perlu dicermati karena tren impor pangan cenderung meningkat, termasuk
juga problem klasik terkait dengan impor kedelai yang berpengaruh terhadap
fluktuasi harga komoditas berbahan kedelai. Selain itu, impor sapi secara
tidak langsung berpengaruh terhadap kesejahteraan peternak sehingga kenaikan
harga daging sapi tidak memberikan imbas terhadap taraf kesejahteraan
peternak.
Kesejahteraan
Belajar
bijak dari kegagalan pemerintah mengurangi kemiskinan di 2016, target
pengurangan kemiskinan di 2017 tampaknya harus lebih realistis. Artinya,
kegagalan pencapaian target pengurangan kemiskinan dalam dekade terakhir
seharusnya menjadi acuan untuk pemetaan target prioritas sehingga program
pengurangan itu dapat dilakukan secara bertahap dan sistematis serta tepat
sasaran. Terkait dengan hal itu, Rencana Pembangunan Jangka Menengah
2015-2019 menegaskan target pengurangan kemiskinan pada 2016 mencapai 9%-10%.
Oleh
karena itu, pada revisi APBN 2016, revisi target mencapai 10%-10,6%.
Ironisnya, meski target telah diturunkan, tetap tidak tercapai dan ada banyak
faktor yang mendasari, termasuk salah satunya yaitu belit inflasi yang
berpengaruh terhadap daya beli. Identifikasi terhadap kemiskinan pada
dasarnya menjadi faktor utama yang bisa menjadi acuan untuk pengurangan
kemiskinan. Terkait dengan hal itu, garis kemiskinan yang ditetapkan per
September adalah penduduk dengan pengeluaran Rp372.114 per kapita per bulan
di kota dan Rp350.420 per kapita per bulan di desa.
Identifikasi
itu memberikan gambaran riil tentang kemiskinan di perkotaan dan perdesaan
sehingga jumlah kemiskinan perkotaan naik 0,15 juta orang, sedangkan di
perdesaan turun 0,75 juta orang. Yang juga menarik dicermati ialah sebaran
kemiskinan yaitu yang terbesar di Pulau Maluku dan Papua 21,98%, sedangkan
yang terendah di Kalimantan yaitu 6,45%. Meskipun demikian, mayoritas
kemiskinan masih berkutat di Jawa yaitu mencapai 14,83 juta orang dan
terendah di Kalimantan yaitu 0,97 juta orang.
Jika
dicermati, persoalan tentang pengurangan kemiskinan pada dasarnya tidak bisa
lepas dari revisi APBN. Artinya, koreksi terhadap target pertumbuhan secara
tidak langsung akan berpengaruh terhadap keberhasilan pengurangan kemiskinan.
Alasan yang menjadi acuan ialah koreksi terhadap investasi, termasuk
realisasinya. Oleh karena itu, fakta membanjirnya pekerja asing secara tidak
langsung juga berpengaruh terhadap program pengurangan kemiskinan.
Semakin
banyaknya pekerja asing yang datang secara tidak langsung akan mereduksi
kesempatan kerja dari penduduk pribumi dan tentu hal ini akan riskan memicu
sentimen negatif terhadap ketenagakerjaan dan pendapatan bagi masyarakat.
Implikasi lebih lanjut ialah rendahnya pendapatan dan daya beli sehingga
berpengaruh terhadap angka kemiskinan.
Komitmen
Inflasi,
daya beli, dan kemiskinan ialah rangkaian terkait yang harus diwaspadai pada
2017. Inflasi 2016 yang dipengaruhi harga sejumlah komoditas pangan tentu
menjadi acuan untuk bisa mereduksinya di 2017. Artinya, belit inflasi secara
tidak langsung menjadi ancaman terhadap penurunan daya beli sehingga hal itu
memicu sentimen terhadap pengurangan kemiskinan. Oleh karena itu, lonjakan
harga cabai rawit di awal 2017 bisa menjadi sinyal negatif untuk terus
mengawasi lonjakan inflasi agar daya beli masyarakat tidak menurun.
Di
sisi lain, ancaman inflasi akibat laju impor kedelai dan daging sapi juga
perlu diwaspadai karena inflasi musiman masih tetap ada, yaitu selama
Ramadan-Idul Fitri. Artinya, mewaspadai belit inflasi ialah salah satu cara
untuk meredam angka kemiskinan. Aspek lain yang juga menarik dicermati ialah
dekade otda ternyata tidak berpengaruh terhadap penurunan kemiskinan. Oleh
karena itu, pemekaran daerah yang terjadi selama ini tidak menjamin
peningkatan kesejahteraan.
Ironisnya,
pemekaran daerah justru berdampak negatif terhadap konflik politik dan
terungkapnya kasus-kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah, serta
maraknya politik dinasti yang menjadikan raja-raja kecil di daerah. Terkait
dengan hal itu, pilkada serentak 2017 tampaknya menjadi test case untuk bisa
memilih kepala daerah terbaik yang bebas dari politik dinasti, korupsi, dan
praktik jual beli jabatan seperti yang terungkap di Klaten baru saja.
Artinya, kesuksesan pilkada era otda seharusnya juga berpengaruh terhadap
pengurangan kemiskinan, bukan sebaliknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar