Di
Balik Perceraian Pemerintah dan JP Morgan
Bhima Yudhistira Adhinegara ; Peneliti
INDEF
|
TEMPO.CO, 05 Januari
2017
Sebuah
bank milik asing mendadak menjadi perhatian publik saat surat Kementerian
Keuangan tersebar. Dalam surat tersebut, pemerintah memutuskan untuk
mengakhiri segala kerja sama dengan bank JP Morgan terhitung mulai awal
Januari 2017. Awalnya, kerja sama yang diputus ini berkaitan dengan
penunjukan JP Morgan sebagai bank persepsi alias bank penerima dana
pengampunan pajak. Kasus berlanjut, dan ternyata imbas pemutusan kerja sama
itu menyangkut pencabutan hak JP Morgan sebagai penjual surat utang
Indonesia.
JP
Morgan mendapat pukulan yang lumayan keras pada awal tahun ini. Isi surat
Kementerian Keuangan memang awalnya tidak terlalu jelas. Dalam surat tersebut
dinyatakan bahwa pemutusan kerja sama dilakukan karena JP Morgan menjadi
ancaman bagi stabilitas sistem keuangan. Setelah ditelusuri, ternyata sikap
Kementerian Keuangan ini ada kaitannya dengan hasil riset independen yang
dilakukan JP Morgan pada November 2016.
Hasil
analisis tersebut, JP Morgan dianggap tidak menguntungkan pemerintah
Indonesia. JP Morgan merekomendasikan kepada investor atau kliennya untuk
menjual surat utang negara. Alasannya, risiko surat utang Indonesia melonjak
pasca-kemenangan Donald Trump. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya imbal
hasil surat utang Amerika Serikat,
baik tenor jangka pendek maupun jangka panjang. Naiknya imbal hasil surat
utang Negeri Abang Sam itu membuat investor buru-buru menjual kepemilikan
utang di negara berkembang dan pindah ke Amerika Serikat.
Larinya
modal dari negara berkembang, termasuk Indonesia, ini sempat melemahkan nilai
tukar rupiah. Bahkan, beberapa hari setelah kemenangan Trump, rupiah sempat
menyentuh level 13.550 per dolar Amerika Serikat akibat aksi jual investor
asing. Jumlah uang yang lari dari Indonesia atau capital outflow pun tercatat
lebih dari Rp 5 triliun hanya dalam kurun satu minggu pasca-kemenangan Trump.
Fakta lain juga menunjukkan betapa Bank Indonesia kerepotan mengendalikan
rupiah sehingga US$ 3,5 miliar cadangan devisa habis pada November lalu untuk
operasi moneter.
Dengan
melihat kondisi tersebut, posisi Indonesia kemudian diturunkan dua tingkat,
dari sebelumnya overweight (rekomendasi beli) menjadi underweight
(rekomendasi jual). Turunnya outlook surat utang Indonesia ini bukan hal yang
aneh. Sebelumnya, lembaga pemeringkat, seperti Standard and Poor’s (SnP),
juga enggan memberikan predikat layak investasi bagi Indonesia. Dalam
laporannya, SnP melihat kredibilitas fiskal Indonesia masih karut-marut.
Pengelolaan anggaran belum realistis sehingga ancaman akan jerat utang
semakin nyata.
Lihat
misalnya shortfall atau selisih antara target dan penerimaan pajak pada 2016
yang masih cukup tinggi, yaitu diprediksi di atas Rp 230 triliun, kendati
sudah dibantu dengan pengampunan pajak. Jika penerimaan tidak tercapai,
defisit dipastikan terus melebar di atas 2,7 persen terhadap PDB. Batas aman
defisit adalah 3 persen sesuai dengan Undang-Undang Keuangan Negara.
Selain
itu, kondisi fiskal yang gawat ini berkaitan dengan kebergantungan pemerintah
terhadap utang. Meskipun sering terdapat klaim rasio utang terhadap PDB masih
aman, di bawah 30 persen, pengukuran tingkat risiko utang terlalu sederhana
jika hanya dibandingkan dengan PDB. Lihat misalnya defisit keseimbangan
primer atau kemampuan bayar utang dibanding sisi penerimaan, angkanya sangat
mengejutkan, yakni Rp 105,5 triliun, atau meningkat dibanding 2014 yang masih
Rp 93,3 triliun.
Program
pengampunan pajak yang diandalkan untuk menutup lubang penerimaan pun seakan
kehilangan momentum. Setelah mencatatkan te-busan sebesar Rp 97 triliun pada
periode I di akhir September lalu, minat wajib pajak untuk ikut program ini
menurun drastis. Sampai akhir Desember 2016, total tambahan tebusan tak
mencapai Rp 10 triliun. Target Rp 165 triliun yang digadang-gadang masuk kas
negara dari program ini tampaknya masih jauh panggang dari api. Lantas, jika
tidak ada pengampunan pajak pada 2017, dari mana pemerintah bisa menambal
lubang defisit anggaran? Jalan pintas yang digunakan tidak lain adalah utang.
Karena
itu, analisis independen JP Morgan sebenarnya hanya menguatkan analisis
lembaga pemeringkat sebelumnya. Tidak ada yang baru dari rekomendasi JP
Morgan untuk menjual surat utang Indonesia karena adanya kenaikan risiko.
Sebelumnya, pada Agustus 2015, di bawah kepemimpinan Menteri Keuangan Bambang
Brodjonegoro, pemerintah sudah pernah melayangkan keberatan atas hasil
laporan JP Morgan. Bahkan saat itu pemerintah menuding JP Morgan membuat
panik dan mengancam stabilitas keuangan domestik.
Sikap
pemerintah juga berkaitan dengan kebu-tuhan
akan utang yang semakin besar. Dalam kurun dua tahun terakhir pada era
Jokowi, tambahan utang sudah hampir mencapai Rp 1.000 triliun, sedangkan
porsi utang sebagian besar adalah surat berharga negara (SBN). Walhasil, jika
bank internasional sekelas JP Morgan merekomendasikan kliennya untuk menjual,
ada kekhawatiran surat utang Indonesia menjadi kurang laris di pasar. Target
menutup defisit dari penerbitan surat utang semakin sulit tercapai.
Di
pengujung 2016, sikap pemerintah memutus kerja sama dengan JP Morgan justru
menguatkan analisis JP Morgan bahwa memang betul outlook surat utang
Indonesia kurang bagus pada 2017. Reaksi berlebihan dari pemerintah merupakan
blunder yang berpotensi menurunkan kepercayaan internasional. Seharusnya
pemerintah tetap tenang. Langkah cerdas yang bisa dilakukan adalah
menjalankan rekomendasi JP Morgan agar penilaian risiko menjadi positif
kembali. Salah satunya dengan membuat fiskal lebih kredibel dan membuat
suasana politik menjadi lebih stabil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar