Jepang
dan Indonesia di Asia
Tirta N Mursitama ; Ketua Departemen Hubungan Internasional
BINUS University;
Alumnus Gakushuin University,
Tokyo, Jepang
|
KORAN SINDO, 17 Januari
2017
Perdana
Menteri Jepang Shinzo Abe melakukan lawatan ke Indonesia, 14- 16 Januari
2016. Pertemuan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Bogor layaknya
kunjungan protokoler kenegaraan dua negara menghasilkan hal-hal yang positif.
Bagaimana
kita memaknai kunjungan Abe kali ini dalam konteks bilateral maupun regional?
Pada tataran global dan regional, tentu tak bisa dinafikan bahwa Abe berusaha
menunjukkan peran Jepang yang lebih asertif sebagai jawaban dari sinyal
Donald Trump, presiden Amerika Serikat (AS) terpilih, dengan berbagai rencana
kebijakan kontroversialnya di Asia.
AS
“membiarkan” Jepang bertarung dengan China di Asia dan Korea Selatan yang
kadang-kadang Negeri Ginseng ini menjadi duri dalam daging dalam konstelasi
di Asia Timur. Secara bilateral, kunjungan Abe bila ditinjau dari simbol-simbol
diplomatik, menunjukkan kedekatan antara Jepang dan Indonesia.
Paling
tidak pertemuan ini adalah yang keenam selama keduanya dalam tampuk
kepemimpinan atau keempat kali dalam dua tahun terakhir. Namun, dalam
hubungan internasional makna dibalik simbol itu juga tidak kalah penting.
Dari sisi ekonomi tak diragukan komitmen investasi Jepang ke Indonesia yang
masih besar untuk industri automotif, elektronika, energi, dan belakangan di
sektor infrastruktur dan pengembangan sektor maritim.
Evaluasi IJEPA
Di
antara berbagai agenda yang dibahas dan kesepakatan yang dihasilkan dari
pembicaraan Abe dan Jokowi, satu hal yang penting dan strategis adalah
evaluasi terhadap Indonesia Japan Economic Partnership (IJEPA). Walau telah
berlaku hampir 10 tahun, pelaksanaan IJEPA masih problematik. Laporan dari
kementerian terkait seperti perindustrian menyatakan bahwa pihak Indonesia
dirugikan di seluruh sektor pada lima tahun pertama.
Misalnya,
Indonesia masih lebih banyak mengimpor dari Jepang dibandingkan ekspor ke Jepang.
Di sisi lain, sebuah studi tentang dampak penerapan IJEPA terhadap kinerja
ekspor yang dilakukan Setiawan (2014) secara empiris terhadap data ekspor
Indonesia ke Jepang dan ekspor Jepang ke Indonesia dengan data 2008-2011
menyimpulkan bahwa kedua negara mendapatkan keuntungan dengan penerapan tarif
IJEPA dibandingkan tanpa pemberlakuan IJEPA.
Kesimpulannya,
ekspor Indonesia meningkat 5,23% per tahun, sedangkan ekspor Jepang hanya
mengalami peningkatan yang sangat kecil yaitu 0,46% per tahun. Namun, jantung
dari IJEPA terletak pada penguatan daya saing industri nasional melalui
Manufacturing Industrial Development Center (MIDEC).
Dari
reviu yang dilakukan Kementerian Perindustrian, MIDEC belum berjalan efektif.
Sebanyak 13 sektor yang terdiri dari 6 cross sectors dan 7 specific sectors,
hanya 5 yang berjalan dengan baik. Sektor tersebut tiga di bagian cross
sectors seperti pengelasan, pencetakan dan pemotongan logam, serta konservasi
energi.
Sedangkan
dua lainnya yaitu elektronika dan otomotif yang termasuk specific sectors.
Dengan demikian, MIDEC yang diberlakukan 2008-2013 tidak menghasilkan
prestasi pengembangan kapasitas (capacity building) yang mencolok. Untuk itu,
Kementerian Perindustrian (2015) mengusulkan peningkatan infrastruktur manufaktur
(improvement of manufacturing industry infrastructure) yang selama ini tidak
pernah dipenuhi oleh Jepang padahal tercantum dalam IJEPA.
Selain
faktor teknis di atas yang bersifat ilustratif, bila dilihat dari sisi
diplomasi, IJEPA telah gagal bersaing dengan berbagai pengaturan
institusional ekonomi seperti ASEANChina Free Trade Agreement (ACFTA) di Asia
Tenggara baik gaungnya maupun dampaknya.
Belum
lagi bila dihadapkan dengan kebijakan China yang belakangan ini semakin
gencar menawarkan dan melakukan One Belt One Road (OBOR) maupun Regional
Comprehensive EconomicPartnership (RCEP) di level global. Bagi sebuah negara
sebesar Jepang yang ingin atau sedang berusaha memainkan peran yang lebih
penting di kawasan dalam konteks geopolitik global dan regional Asia yang
sedang tak menentu seperti saat ini, kemampuan memberikan tawaran wacana
merupakan faktor kunci.
Ide
tersebut haruslah menarik, menguntungkan para pihak yang terlibat dan
akhirnya diikuti oleh negara-negara di kawasan. Pengaruh tidak hanya timbul
karena penguasaan aspek militer dan teknologi keamanan seperti kepemilikan
persenjataan militer canggih dan pasukan yang berketerampilan tinggi, serta
keunggulan ekonomi.
Namun,
sering kali pengaruh muncul dalam bentuk memberikan tawaran wacana (ide)
bagaimana tata kelola dunia ini dilakukan. China sedang kuat-kuatnya di aspek
militer dan ekonomi sedangkan ironisnya Jepang tidak mampu melakukannya
secara baik paling tidak dalam satu dekade terakhir.
Terobosan
Untuk
itu perlu dicari terobosan dalam hubungan diplomatik antara Indonesia dan
Jepang. Kata kuncinya adalah keberhasilan membangun hubungan dengan Indonesia
yang sedang sangat dekat dengan China dan masih berpengaruh di kawasan Asia
Tenggara (ASEAN).
Bila
itu terpenuhi maka Jepang akan merasa lebih aman dan nyaman karena hubungan
baik tersebut akan berdampak pada konstelasi regional Asia Tenggara dan Asia
yang lebih berimbang. Pilihannya saat ini ada di Jepang. Akankah Jepang
melakukan janji-janji dalam IJEPA yang nanti akan disempurnakan dengan
sepenuh hati atau tidak.
Pertama,
tidak ada cara lain selain mengembangkan kemampuan industri dan teknologi
Indonesia untuk mengimbangi ekspansi China yang gencar. Kekhawatiran perlu
tidaknya alih teknologi harus dihentikan karena tidak diperlukan lagi.
Yang
harus dilakukan Jepang adalah melakukan alih teknologi tersebut dan Indonesia
siap merebutnya dengan meningkatkan absorptive capacity-nya, mempersiapkan
sistem inovasi nasional termasuk di dalamnya meningkatkan pengeluaran
penelitian dan pengembangan (research and development) industri maupun
pemerintah secara lebih signifikan.
Kedua,
Jepang harus mengubah gaya diplomasinya dengan memanfaatkan para alumni
Jepang yang duduk di pemerintahan, industri, komunitas epistemik di perguruan
tinggi, maupun kelompok-kelompok masyarakat secara lebih efektif. Melakukan
evaluasi atas langkah yang selama ini telah dilakukan dan melaksanakan perbaikan
termasuk mencari saluran, jalan dan aktor baru yang mungkin belum mengemuka
namun bermanfaat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar