Terobosan
Kontrak Perminyakan Gross Split
Kardaya Warnika ; Mantan
Kepala BP Migas dan Anggota DPR
|
TEMPO.CO, 04 Januari
2017
Salah
satu gebrakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan adalah
mewacanakan pemakaian kontrak perminyakan gross split. Banyak pihak yang
antusias dan mendukung, tapi ada juga yang pesimistis dan menentangnya.
Apakah implementasi sistem gross split bisa memperbaiki industri perminyakan
Indonesia yang sedang terpuruk saat ini?
Dalam
beberapa tahun terakhir, muncul kegaduhan soal cost recovery (CR). Perusahaan
dituduh seenaknya membebankan biaya ke dalam CR. SKK Migas dan Kementerian
ESDM dianggap tidak ketat. Pekerja perusahaan minyak malah sudah ada yang
menjadi korban dan masuk penjara. Besarnya CR dimasukkan ke APBN, meski pada
prakteknya tidak pernah diindahkan. CR yang menentukan dana bagi hasil juga
dikeluhkan daerah karena dianggap tidak transparan.
Pendek
kata, belakangan ini CR, yang dulu tidak dipermasalahkan, sudah dianggap
tidak ada baiknya lagi untuk dipertahankan. Pemikiran untuk tidak memakai
sistem CR sudah mengemuka sejak sekitar tujuh tahun lalu.
Pada
sistem production sharing contract (PSC) yang memakai CR, prioritas pertama
pembagian hasil diberikan bukan kepada pemerintah, melainkan kepada
perusahaan (kontraktor) untuk mengembalikan CR plus insentif-insentif.
Sisanya (equity to be split) baru dibagi antara pemerintah dan kontraktor.
Negara, yang diwakili pemerintah sebagai pemilik sumber daya, bukan menjadi
prioritas. PSC saat ini sebetulnya lebih sesuai jika dinamakan profit sharing
contract karena pembagiannya tidak didasari produksi, melainkan laba—hasil
bersih setelah dikurangi biaya.
Pemerintah
tampaknya keliru menilai penyebab terpuruknya industri migas Indonesia.
Jangan dianggap hal ini terjadi karena faktor harga minyak rendah semata.
Harus dimengerti bahwa Indonesia saat ini tidak menarik lagi di mata
investor. Iklim investasi di sini tidak kondusif.
Banyak
perusahaan besar belakangan ini hengkang dari Indonesia. Kalau memang karena
harga minyak rendah, mengapa di negara lain mereka tidak hengkang? Penawaran
wilayah kerja baru terbukti kurang peminat. Kondisi semacam ini sangat
berbahaya. Sebab, untuk memperbaikinya, butuh waktu lama karena terkait
dengan pemulihan kepercayaan.
Upaya
pencarian cadangan migas mengandalkan perusahaan besar karena faktor risiko
yang tinggi dan kebutuhan dana sangat besar. Apalagi, lahan eksplorasi di
Indonesia sudah semakin sulit, yakni mengarah ke laut dalam dan remote.
Upaya
penerapan gross split dimaksudkan untuk keluar dari jeratan CR. Prinsip utama
gross split adalah pembagian hasil antara pemerintah dan kontraktor dihitung
dari produksi (gross), tidak dari laba seperti saat ini. Dengan ini,
diharapkan perhitungan yang ada menjadi lebih sederhana, transparan, dan
menjamin kepastian penerimaan negara.
Dalam
penerapan, apakah bentuk kontrak akan dipakai, mengingat prinsip gross split
dapat digunakan dalam berbagai bentuk sistem fiskal perminyakan? Saat ini,
sebaiknya tetap dulu memakai bentuk kontrak production sharing.
Hasil
penerapan gross split bisa saja tidak sesuai dengan harapan jika
implementasinya njelimet sehingga tidak menarik bagi investor. Sosialisasi
kepada para pemangku kepentingan amat penting untuk mengurangi kegaduhan dan akan
menentukan pula keberhasilannya.
Apakah
peran SKK Migas akan hilang? Lembaga seperti SKK Migas tentunya masih tetap
dibutuhkan. Plan of Development (POD) dan Work Program and Budget (WP&B)
harus tetap ada. Tapi masalah anggaran dan proses pembelian barang tidak
membutuhkan persetujuan. Pengawasan kegiatan juga harus tetap dijalankan
sebagai perwujudan amanat bahwa sumber daya migas adalah milik dan dikuasai
oleh negara. Peran SKK Migas akan lebih berfokus pada hal-hal teknis, seperti
diamanatkan undang-undang, yang saat ini belum sepenuhnya dijalankan.
Proses
tender dan pembelian barang yang tidak perlu lagi meminta persetujuan akan
memangkas banyak proses birokrasi yang saat ini dikeluhkan oleh pelaku usaha.
Namun semua barang yang dibeli tetap menjadi milik negara. Untuk melindungi
kepentingan dalam negeri, pemanfaatan barang dan jasa produk dalam negeri
harus diatur dan diawasi pemerintah secara ketat.
Sebagai
suatu gagasan baru, kesederhanaan dari konsep bersifat vital agar mudah
dimengerti dan menarik, sehingga akan menentukan keberhasilan implementasi.
Seyogianya, pemerintah tidak terlalu njelimet, seperti menerapkan sliding
scale split dan terlalu banyak variable dalam menetapkan besaran split. Untuk
melihat penerimaan pasar dan agar tidak mengganggu lifting migas, sebaiknya
konsep baru ini dicoba dalam penawaran wilayah kerja baru dulu, bukan pada
perpanjangan kontrak baru, apalagi untuk Pertamina.
Terakhir,
untuk menjaga kredibilitas, sebaiknya konsep gross split ini jangan
terburu-buru disampaikan ke publik sebelum dikaji dengan cermat dan matang
agar tidak menimbulkan kegaduhan. Para pihak yang takut kehilangan
otoritasnya dan sudah lama bekerja dengan CR biasanya akan menentang, dan ini
adalah sesuatu yang wajar dan harus dimaklumi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar