Debat
Calon dan Hak Publik
Fajar Kurnianto ; Peneliti
Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK)
Universitas Paramadina Jakarta
|
KOMPAS, 03 Januari
2017
Menjadi
calon pemimpin atau kepala daerah mesti siap untuk menyampaikan ide,
pemikiran, program, peta jalan pembangunan wilayah, dan seterusnya dalam
kampanye mereka. Semua itu tidak hanya disampaikan pada saat bertemu warga
langsung, tetapi juga di media—cetak maupun televisi—yang sudah menyediakan
ruang debat untuk mereka. Ini sekaligus menyangkut hak publik untuk
mendapatkan gambaran yang jelas tentang kapasitas mereka yang akan menjadi
pemimpin. Sayangnya, ada calon yang menolak berdebat dengan calon lainnya.
Manfaat debat
Ruang
debat yang diberikan media televisi bagi para calon pemimpin atau kepala
daerah, selain merupakan bagian dari rangkaian kampanye yang diprogramkan
KPUD, sesungguhnya juga merupakan kesempatan emas bagi para calon untuk
mencuri perhatian para pemilih. Selain itu, juga untuk ”memamerkan kebolehan”
mereka dalam berdebat, adu argumentasi, dengan para kompetitornya.
Meskipun,
tentu saja, itu tidak menjadi jaminan kemenangan pada hari pemilihan. Paling
tidak itu terjadi pada kasus Hillary Clinton yang menang atas Donald Trump
pada sesi debat, nyatanya Trump yang menang dan terpilih menjadi presiden
Amerika baru menggantikan Barrack Obama.
Debat
dalam konteks kampanye merupakan sesuatu yang urgen dan penting. Ini menjadi
salah satu faktor—bukan satu-satunya—naik-turunnya elektabilitas para calon.
Apalagi jika di antara calon itu adalah petahana. Para penantang akan dengan
leluasa melakukan kritik terhadap berbagai kekurangan dan kekeliruan pada
kinerja sang petahana, sekaligus menyampaikan gagasan-gagasan baru yang
dirasakan lebih benar dan segar.
Ini
jelas sangat positif. Sang penantang juga bisa menyampaikan data pembanding
mengenai banyak persoalan daerah, baik itu ekonomi, sosial, maupun yang
lainnya, yang bisa jadi berbeda dengan data dari sang petahana.
Di
sisi lain, bagi calon petahana, debat di media televisi juga menjadi
kesempatan baik untuk menyampaikan apa yang mereka sebut sebagai keberhasilan
dan kesuksesan program dan nyata telah dilakukan serta akan terus dilakukan
karena dirasakan ada manfaatnya. Sekaligus menjawab balik semua kritik dari
para penantang melalui data statistik atau fakta di lapangan yang dapat
dilihat secara gamblang.
Selain
itu, ajang debat juga untuk menyampaikan apa program-program baru yang lebih
baik dan segar daripada yang digagas para calon penantang. Mereka bisa
menjadikan panggung itu sebagai ruang penegasan bahwa mereka telah sungguh-
sungguh berpengalaman: bekerja dan berhasil.
Sayangnya,
panggung debat di media ini acap kali tidak diikuti oleh salah satu calon.
Jadi, terasa ganjil. Alasan ketidakhadirannya bisa macam-macam dan kadang
terkesan dibuat-buat. Misalnya, ada yang menyebut debat tidak terlalu
bermanfaat, lebih baik bersama-sama dengan rakyat langsung, bertemu dengan
mereka, berdekat-dekatan, lalu melakukan semacam atraksi tertentu yang heboh.
Bisa
jadi pula sang calon ini sudah merasa di atas angin karena sebuah peristiwa
fantastis, kolosal, dramatik yang telah berhasil menekan salah satu calon
yang rupanya tersandung suatu kasus hukum serius. Jadi, peristiwa besar itu
menjadi semacam durian runtuh bagi sang calon tadi.
Hadir
atau tidak hadir dalam program debat di media televisi memang pilihan para
calon. Itu hak mereka untuk memutuskan. Tak ada larangan apa pun untuk tidak
hadir. Pun tidak ada sanksi atau bahkan eliminasi dari KPUD karena
ketidakhadiran itu.
Namun,
mereka harus ingat dan menyadari, ada hak publik di situ. Publik berhak tahu,
seperti apa gambaran nyata, tidak hanya fisik, tetapi juga cara atau pola
berpikir mereka dalam membaca problem daerah dan apa solusi baru yang
ditawarkan. Karena, berbeda dengan kampanye di lapangan, dalam program debat
tentu ada pertanyaan yang lebih kritis dan sistematis dari para panelis yang
ada.
Pemilih rasional-kritis
Publik
perlu kehadiran para calon pemimpin atau kepala daerah dalam debat, terutama
bagi publik yang masuk dalam tipologi pemilih rasional dan kritis. Pemilih
rasional adalah pemilih yang memiliki orientasi tinggi para
policy-problem-solving dan berorientasi rendah untuk faktor ideologi. Pemilih
rasional lebih mengutamakan kemampuan para calon dalam program kerjanya yang
bisa dilihat dari kinerja pada masa lalu dan tawaran program untuk
menyelesaikan persoalan yang ada. Bagi pemilih rasional, yang terpenting
adalah apa yang bisa dan telah dilakukan oleh para calon kontestan.
Adapun
tipologi pemilih kritis, mereka merupakan perpaduan antara tingginya
orientasi pada kemampuan calon dalam menuntaskan suatu problem dan tingginya
orientasi mereka akan hal-hal ideologis. Pemilih kritis ini menjadikan nilai
ideologis sebagai pijakan untuk menentukan kepada calon mana mereka akan
berpihak, selanjutnya mereka akan mengkritik kebijakan yang akan atau telah
dilakukan. Bisa jadi juga mereka tertarik dulu dengan program kerja yang
ditawarkan, baru kemudian mencoba memahami nilai-nilai dan paham yang
melatarbelakangi pembuatan sebuah kebijakan.
Dua
tipologi pemilih tadi jelas sangat ingin memperoleh gambaran yang utuh akan
calon yang ingin mereka dukung dan pilih. Mereka tidak ingin mendapatkan
pemimpin yang hanya pandai bermanis janji menabur program menggiurkan, tetapi
tidak memiliki basis analisis, filosofis, logis, atau pemikiran yang mengakar
ke inti problem yang tengah dihadapi daerah.
Melalui
debat di depan publik melalui media televisi, setidaknya sebagian besar dari
gambaran itu bisa terlihat dari para calon. Mereka akan melihat bagaimana
program kerja yang ditawarkan memiliki landasan kuat untuk diimplementasikan,
yang betul-betul bisa mengurai dan menyelesaikan masalah kompleks, apalagi
dalam konteks ibu kota Jakarta, misalnya.
Jadi,
bagi para calon yang sudah ”bernyali” ingin menjadi pemimpin atau kepala
daerah, mestinya bernyali juga untuk hadir di ruang debat yang agak formal
dan berbeda dibandingkan dengan ruang-ruang kampanye di luar. Mereka punya
hak untuk tak ha- dir, tetapi jika mereka betul- betul ingin menjadi pemimpin
yang seutuhnya sejak awal, alangkah baiknya mengesampingkan hak mereka dan
lebih mementingkan untuk memenuhi hak publik.
Bukankah
rakyat adalah segalanya, dan mereka pula yang akan dilayani oleh para calon
itu nantinya jika sudah terpilih. Jika hak rakyat sudah diabaikan sebelum
mereka jadi pemimpin, bagaimana nanti jika mereka sudah terpilih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar