Timur
Tengah Jalan di Tempat
Trias Kuncahyono ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS, 03 Januari
2017
Perang
di Suriah belum menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir. Sampai tahun
lalu, Washington dan Moskwa tidak berhasil menghentikan perang. Pertanyaannya
justru apakah perdamaian bisa ditegakkan di Suriah? Selama lima tahun
terakhir, konflik Suriah telah tumbuh menjadi pusat krisis kemanusiaan global
dan mengirimkan ribuan pengungsi ke negara-negara tetangga di Timur Tengah,
bahkan Eropa.
Terdapat
hampir 5 juta pengungsi akibat perang. Tiga perempat di antaranya perempuan
dan anak-anak. Meskipun banyak komunitas internasional berusaha keras untuk
mencari perdamaian, sejumlah negara justru sebaliknya berusaha memperpanjang
perang. Begitu banyak tangan asing yang dimasukkan ke Suriah. Mereka antara
lain Rusia, Amerika Serikat, Turki, Arab Saudi, Qatar, dan Iran. Mereka
masing-masing memiliki kepentingan berbeda-beda, saling bertabrakan. AS,
misalnya, ingin menyingkirkan Presiden Bashar al-Assad, sebaliknya Rusia
berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankannya.
Pada
akhirnya, melihat situasi di lapangan saat ini, muncul pertanyaan, apakah
Suriah dapat bertahan sebagai negara seperti sebelum perang? Bukan hanya
Suriah yang menjadi sumber konflik di Timur Tengah. Konflik bersenjata di
Yaman, yang menarik keterlibatan Arab Saudi dan Iran, pun tidak akan mudah
diselesaikan. Kondisi di Suriah dan Yaman adalah cerminan pertarungan antara
Arab Saudi dan Iran yang memperebutkan sphere of influence, pengaruh, di
Timur Tengah.
Situasi
yang memprihatinkan juga masih terjadi di Libya. Sejak tersingkirnya pemimpin
Libya Moammar Khadafy, November 2011, di tengah revolusi, negeri itu
menyaksikan fase hiruk-pikuk yang membuat negeri tersebut hampir mati, bubar.
Penyingkiran Khadafy oleh operasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO)
dukungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan sejumlah negara Arab (antara
lain Qatar, Jordania, dan Uni Emirat Arab) telah menciptakan krisis politik
dan institusional serta menjerumuskan negeri itu dalam lubang konflik kelas,
agama, ideologi, politik, sosial, regional, dan suku. Inilah yang membuat
krisis di negeri itu, yang kini terpecah menjadi dua pemerintahan, Tobruk dan
Tripoli, hingga saat ini sulit diselesaikan. Ke depan, pemerintahan siapa pun
tanpa mendapat dukungan dari Tobruk ataupun Tripoli akan sangat lemah.
Situasi
dan kondisi di Mesir jauh lebih baik ketimbang Libya. Ada kemajuan dalam
usaha untuk mewujudkan demokrasi seperti yang diperjuangkan lewat ”Arab
Spring”. Meskipun di bawah pimpinan Presiden Abdel Fatah El-Sisi, demokrasi
Mesir dikategorikan dalam managed democracy, sebuah istilah yang digunakan
untuk menggambarkan Rusia di bawah Presiden Vladimir Putin dan negara lain
yang diperintah orang-orang kuat.
Managed
democracy adalah sebuah sistem di mana pemilu dan perangkat demokrasi formal
tetap ada, tetapi kehilangan makna: dalam realitas, otoritas tersentralisasi,
bahkan sering kali di tangan aparat keamanan. Sementara persoalan yang akan
dihadapi Mesir pada masa depan menyangkut masalah keamanan dan terorisme,
yang merupakan bentuk perlawanan terhadap pemerintahan El-Sisi.
Perkembangan
yang lebih menjanjikan untuk masa depan adalah Tunisia, yang boleh dikatakan
sudah menapak di jalan yang benar setelah revolusi. Tunisia mampu melalui
masa transisi dari pemerintahan otoritarian ke demokrasi, seperti yang
diharapkan rakyat ketika mereka mengobarkan revolusi.
Tatkala
Tunisia memandang masa depan dengan penuh harapan, rakyat Palestina masih
harus berjuang. Proses perdamaian antara Israel dan Palestina mati suri dan
pada tahun ini pun boleh jadi tidak akan banyak perubahan. AS pun tampaknya
tidak akan banyak memberikan sumbangan untuk menciptakan perdamaian di Timur
Tengah.
Apalagi,
Donald Trump, presiden terpilih AS, sebagaimana disampaikan dalam
kampanyenya, akan menganut kebijakan isolasionisme menentang terlibat dalam
masalah-masalah global dan regional. Ini strategi anakronistik pada abad
ke-19, yang dilakukan Presiden Thomas Jefferson dan Presiden James Monroe.
Mereka
yang berpandangan pesimistis dan sinis terhadap Trump mengatakan, jika
Presiden Barack Obama, dengan pikirannya yang rasional, latar belakang
intelektual, dan pengalaman politik yang banyak, gagal menyelesaikan masalah
Timur Tengah, bagaimana dengan Trump yang tidak memiliki semua itu.
Padahal,
Timur Tengah adalah kawasan paling berbahaya di dunia. Sedikit saja muncul
gejolak di Timur Tengah, hal ini tidak hanya memengaruhi sekitar 8 juta orang
Israel, 5 juta orang Palestina, tetapi juga lebih dari 357 juta orang Arab,
dan 7,4 miliar orang di dunia. Setiap kali ada ”ledakan” di Timur Tengah,
dampaknya terasa di negara-negara lain, hampir di seluruh dunia.
Asia Timur
Ketika
revolusi politik tengah melanda daratan Eropa; Timur Tengah semakin tercabik-cabik,
dan proses perdamaian jalan di tempat; terorisme melanda banyak wilayah,
sebagai rembesan dari konflik di Suriah; kawasan Asia Timur akan menjadi
pusat pertarungan baru.
Pada
tahun ini akan semakin jelas bahwa terjadi pergeseran gravitasi ekonomi dan
politik dari Barat ke Asia Timur. Kawasan ini akan menjadi semakin dinamis
dan menarik. Selain itu, kawasan Asia Timur juga akan menjadi mandala
pertemuan dan persaingan kepentingan negara di luar kawasan. Jika AS, seperti
yang dikatakan Trump, akan lebih memilih kebijakan isolasionisme, aktor utama
di kawasan Asia Timur adalah Tiongkok, yang sekarang sudah terlihat nyata dan
ke depan akan menjadi semakin nyata dan kuat.
Pemain
lainnya di Asia Timur adalah India dan Jepang, dua negara yang memiliki
potensi dan kekuatan besar secara ekonomi. Karena itu, pertarungan besar akan
terjadi di Asia Timur, yang akan menarik juga ASEAN, khususnya Indonesia,
dalam pergulatan pada masa depan.
Pada
2017, kalau uraian tersebut tidak terlalu meleset, akan terjadi perubahan
dalam tataran global ataupun regional; dari Eropa hingga Asia Timur atau
sekurang-kurangnya akan terjadi penyesuaian-penyesuaian baru dengan tatanan
baru. Dunia akan menyaksikan Rusia yang semakin percaya diri ”menari” di
panggung dunia apabila partai-partai populis kanan memenangi pemilu di Eropa,
sementara AS lebih sibuk mengurusi diri sendiri. Terorisme masih menjadi
ancaman global. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar