Refleksi
Administrasi Publik untuk Keberagaman
Agung Tri Wibowo ; Peneliti
Pusat Kajian Ilmu Administrasi (PUSKA ADM), Fakultas Ilmu Administrasi
Universitas Indonesia;
Program Master dan Doktoral
Universite Pantheon Sorbonne, Perancis, Jurusan Hukum Administrasi Publik
Perbandingan (2015-2021)
|
KOMPAS, 03 Januari
2017
Akhir-akhir
ini publik di Indonesia sedang diuji kemapanannya pada isu keberagaman. Paling
kentara, tentu saja, isu penodaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki
Tjahaja Purnama. Kejadian itu menciptakan efek yang luar biasa. Saya sebut
luar biasa mengingat eskalasi publik yang besar.
Secara
awam, saya melihat gerakan ini memiliki efek yang berkepanjangan di media
sosial ataupun perbincangan pada skala publik lebih kecil, yaitu rumah
tangga. Saya pribadi melihat ini sebagai sesuatu yang mendasar sekaligus
memiliki efek interdependensi.
Saya
sebut mendasar dengan alasan bahwa tuntutan penodaan agama oleh komunal
Islam, yang di Indonesia mayoritas, sebagai sesuatu yang wajar dan
konstitusional di negara yang demokratis. Sementara di sisi lain, peristiwa
tersebut juga memiliki efek interdependensi yang buruk pada tegaknya negara
Indonesia sebagai negara yang bineka tunggal ika. Lalu, mengapa
interdependensi buruk ini bisa terjadi?
Peristiwa
interdependensi adalah sebuah peristiwa yang saling terkait satu dengan yang
lain. Seperti sistem sebuah mobil, mesin menyala karena ada busi, busi bisa
hidup karena ada aki, aki bisa mengalirkan listrik karena ada starter, dan
seterusnya.
Interdependensi buruk
Kembali
ke bahasan di atas, saya menyebutnya interdependensi yang buruk, dengan
mendasarkan pada efek yang timbul. Paling tidak dapat dilihat melalui tiga
kategori. Pertama, media sosial yang merupakan refleksi publik paling aktual
di era high technology based. Kedua, peristiwa aksi publik sebagai refleksi
pada dunia nyata. Yang terakhir, cacatnya administrasi publik sebagai
refleksi peran negara.
Di
media sosial, saya mengumpulkan tidak kurang dari 100 isu yang
mengatasnamakan sengketa keberagaman. Pergulatan antara pihak satu dan yang
lain melalui rekayasa gambar, ujaran kebencian, dan juga faksi politik.
Melalui pemahaman yang telanjang, kita bisa melihat langsung bagaimana
permusuhan antar- pihak di media sosial. Sebut saja, satu pihak menuduh A
adalah orang kafir, sedangkan yang lain menuduh B sebagai pihak yang
terinjak-injak martabat agamanya. Situasi ini bertambah runyam tatkala
ditambahi bumbu hujatan dan fitnah. Lihat saja di media sosial sekarang.
Lain
lagi dengan aksi publik baru-baru ini. Oknum ormas menghentikan perayaan
keagamaan di Bandung atau sweeping yang dilakukan oknum ormas di sebuah kafe
yang disinyalir menjual minuman keras di Solo. Aksi publik ini semakin
menambah kentara goyahnya kemapanan keberagaman di Indonesia.
Hal
ini diperparah oleh adanya cacat administrasi yang dilakukan oknum birokrat
yang seharusnya bertugas mengawal tegaknya keberagaman. Saya mencatat paling
tidak ada dua peristiwa, yaitu keluarnya sebuah produk kebijakan berupa surat
edaran oleh Kapolresta Bekasi dan Kapolres Kulon Progo tentang atribut natal
yang rujukannya adalah fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di luar surat
edaran tersebut memiliki tujuan yang benar atau salah, ini jelas janggal,
sebuah produk kebijakan mengacu pada fatwa MUI yang bukan merupakan produk
hukum positif.
Saya
melihat ketiga kategori tersebut sebagai sebuah peristiwa interdependensi.
Seseorang berbicara di media sosial disebabkan oleh kesadaran faktual mereka
sehingga berkembang menjadi isu publik, lalu itu mendorong ormas tertentu
mengambil timing untuk melakukan aksi yang mereka anggap benar. Adapun
kebijakan yang dibuat oleh dua unsur pimpinan polisi setingkat
kabupaten/kota, saya menebak, dimaksudkan untuk tindakan preventif pada isu
yang sama walaupun sesungguhnya salah kaprah. Itu semua dapat terjadi
disebabkan oleh cacatnya sistem administrasi publik.
Peran administrasi publik
Administrasi
publik lahir pada tahun 1886 saat Woodrow Wilson —Presiden Amerika Serikat
saat itu—menulis sebuah jurnal tentang ilmu administrasi publik. Isi dari
jurnal tersebut salah satunya adalah ia mengingatkan perlunya sebuah
administrasi publik yang pro terhadap keberagaman.
Artinya,
administrasi publik, dalam hal ini birokrasi, harus berfungsi sebagai mesin,
yang memiliki jiwa kemanusiaan, untuk memastikan tegaknya keberagaman di
suatu negara yang demokratis. Bagaimana caranya? Metodenya tentu saja
berkembang sejak dulu hingga sekarang saat dunia telah mengenal
penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan e-government.
Dalam
konteks Indonesia saat ini, saya melihat adanya sumbatan pada sistem
administrasi publik yang sedang berjalan. Presiden Joko Widodo dengan
jargonnya‚ revolusi mental, memiliki subprioritas program, yaitu menjaga
kebinekaan, tetapi ternyata itu tidak terlaksana sampai pada tingkat
eksekusi. Buktinya sudah saya sampaikan pada deskripsi di atas.
Lalu,
bagaimana pemerintah harus bersikap melihat situasi sekarang? Hemat saya,
pemerintah harus kuat dalam penegakan hukum dan e-government tools.
Instrumen
hukum dan manusianya harus linier untuk sepakat menciptakan efek hukum
terhadap publik. Efek yang dimaksud adalah efek jera. Penegakan hukum yang
kuat akan secara tidak langsung menggiring logika publik untuk sadar bahwa
pelanggaran terhadap statuta keberagaman memiliki efek pada individu. Publik
akan mawas diri ketika akan mengambil tindakan yang bersentuhan pada
eksistensi kemapanan keberagaman.
Keguncangan
terhadap mantapnya keberagaman di negara kita diawali maraknya isu liar yang
bergulir bebas di media sosial. Pemerintah alpa terhadap pelanggaran hukum
yang terjadi di media sosial. Jika pun ada penindakan, itu tidak berlaku
secara sistemik. Saya tidak bermaksud mengajak pemerintah untuk mengontrol
pendapat publik di media sosial secara masif, tetapi lebih pada penerapan
hukum yang sama terhadap aktivitas media sosial.
Di
wilayah ilmu administrasi publik, isu ini sedang naik daun di semua negara,
yaitu bagaimana pemerintah hadir di dunia baru kesadaran publik, yaitu media
sosial. Di masa depan, kesadaran publik mungkin saja 100 persen ada di media
sosial atau electronic based. Negara harus mempersiapkan hal ini.
Secara
praktis pemerintah sebaiknya menunjukkan kepada publik penindakan hukum yang
dilakukan terhadap oknum yang mencederai keberagaman. Tindakan ini juga
bentuk terobosan akuntabilitas bersifat langsung.
Di
sisi lain, pemerintah dapat membuat instrumen baru yang sistemik untuk
mengontrol ruang publik dengan tetap berasaskan demokrasi. Praktisnya,
membuat instrumen e-government yang mampu melakukan tindakan preventif
terhadap ancaman keberagaman.
Segera
membuat peraturan, seperti membuat peraturan turunan UU Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE), yang applicable oleh polisi dan penegak hukum
lain dengan tetap menjaga marwah negara Pancasila yang bebas, akuntabel, dan
melindungi kepentingan publik.
Siapa
yang harus memulainya? Tentu saja Presiden Jokowi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar