Indonesia sebagai Motor Penggerak di Asia
Hikmahanto Juwana ; Guru
Besar Hukum Internasional
Universitas Indonesia, Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
30 Mei 2016
PADA Jumat lalu (27/5), dalam rangka
Konferensi Tingkat Tinggi G-7 di Ise-Shima, Jepang, Presiden Joko Widodo
menyampaikan bahwa tatanan dunia kini sudah berubah dengan munculnya
negara-negara berkembang seperti Indonesia. Keberadaan Indonesia dari waktu
ke waktu terlihat oleh negara-negara yang tergabung dalam G-7 semakin
penting.Kali ini Indonesia pun berkomitmen dalam peran sebagai motor
penggerak untuk stabilitas dan kesejahteraan ekonomi kawasan Asia.
Pernyataan Presiden ini menarik untuk
dicermati dalam dua dimensi. Pertama, Indonesia sebagai motor penggerak bagi
stabilitas kawasan di Asia. Kedua, Indonesia sebagai motor penggerak
kesejahteraan ekonomi kawasan Asia.
Stabilitas
Peran Indonesia sebagai motor penggerak dan
penjaga stabilitas di kawasan Asia sebenarnya telah diakui dunia sejak lama.
Ketokohan Soekarno sebagai presiden pertama telah mampu mengonsolidasikan
negara-negara berkembang dalam gerakan nonblok. Gerakan nonblok telah menjadi
kekuatan ketiga saat dunia dijalankan secara bipolar.
Perdamaian di Kamboja melalui Jakarta Informal
Meeting (JIM) yang diinisiasi Presiden Kedua HM Soeharto dan Menteri Luar
Negeri (Menlu) ketika itu Ali Alatas juga merupakan bukti. Konflik internal
di Kamboja dengan turut bermainnya negara-negara besar bila tidak
diselesaikan akan mengganggu stabilitas kawasan.
Demikian pula dalam konflik Laut China Selatan
(LCS). Indonesia telah berperan untuk menjaga stabilitas kawasan dengan
menjadi mediator yang jujur. Konflik LCS yang setiap saat dapat berubah
menjadi perang terbuka (hot war) dapat diredam, salah satunya karena andil
Indonesia.
Dunia pun mengakui peran Indonesia dalam
berbagai misi pasukan perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Bahkan,
Indonesia telah membangun fasilitas pelatihan bagi pasukan yang akan
diikutkan dalam misi perdamaian PBB, tidak hanya yang berasal dari Indonesia,
tetapi dari kawasan.
Oleh karena itu, tidak salah bila Presiden
Jokowi menyatakan Indonesia sebagai negara berkembang telah mampu berperan
sebagai motor penggerak stabilitas di kawasan Asia. Pernyataan ini penting
karena Indonesia berarti telah mempunyai posisi tawar baru bila berhadapan
dengan berbagai negara dalam menyelesaikan konflik di kawasan.
Namun, tantangan menjadi motor penggerak tentu
ada. Paling tidak ada tiga. Pertama, peran Indonesia sebagai motor penggerak
stabilitas harus dilakukan tidak hanya oleh presiden.
Peran ini dapat didelegasikan para tokoh. Mereka
antara lain para mantan presiden, yaitu BJ Habibie, Megawati, dan Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY). Jusuf Kalla pun termasuk tokoh yang saat ini
menjabat sebagai wakil presiden.
Demikian pula para mantan menteri yang andal
dalam kancah internasional, seperti Hassan Wirajuda, Alwi Shihab, dan Marty
Natalegawa.
Pendelegasian itu tentu tidak akan terwujud
bila masih ada sekat antara mereka yang menjabat di masa lampau dan sekarang.
Presiden Jokowi diharapkan dapat menghilangkan sekat ini.
Mantan presiden Megawati, misalnya, dapat
diminta menjadi tokoh motor penggerak dalam perdamaian di semenanjung Korea. Sementara
itu, mantan presiden SBY dapat diminta menjadi tokoh motor penggerak dalam
peredaman eskalasi konflik di LTS.
Agar dapat terlaksana upaya para tokoh ini,
mereka harus didukung para staf yang mumpuni. Staf ini harus pandai
mengidentifikasi permasalahan dan secara cermat bersama para tokoh
mengartikulasikan serta menjual solusi.
Tantangan kedua berkaitan dengan anggaran.
Sebagai motor penggerak stabilitas di kawasan, sudah dapat dipastikan
Indonesia akan membutuhkan anggaran yang tidak kecil. Di sini pentingnya
pemerintah mengalokasikan anggaran yang memadai tanpa dikesankan sebagai penghambur-hamburan
uang negara oleh DPR dan publik.
Ketiga, tantangan yang dihadapi ialah
bagaimana publik di Indonesia mengapresiasi apa yang dilakukan pemerintah. Publik
tidak boleh mengecilkan keinginan pemerintah untuk menjadi motor penggerak
stabilitas di kawasan dengan melihat realitas kemampuan pemerintah untuk
dapat menyelesaikan berbagai konflik di dalam negeri.
Untuk itu, perlu dilakukan penyampaian
pemahaman kepada publik pentingnya Indonesia mengambil peran sebagai motor
penggerak stabilitas di kawasan. Tidak saja disebabkan dunia membutuhkan
peran Indonesia, tetapi juga kewajiban ini tercantum dalam mukadimah
konstitusi, yaitu untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Di samping itu, di saat-saat Indonesia
menghadapi kesulitan, bukannya tidak mungkin Indonesia mendapatkan bantuan
dari negara-negara yang telah terbantu.
Pembebasan atas sandera di Filipina tidak
mungkin terjadi dalam waktu yang relatif singkat bila Indonesia tidak
memainkan peran dalam perdamaian antara pemerintah Filipina dan para pemberontak
etnik Moro.
Kesejahteraan kawasan
Indonesia pun sangat bisa menjadi penggerak
kesejahteraan kawasan. Indonesia adalah pasar yang sangat menjanjikan bagi
para pelaku usaha, baik dari negara maju maupun negara berkembang.
Dengan jumlah penduduk yang besar dan kelas
menengahnya yang terus berkembang, Indonesia menjadi sasaran pelaku usaha
mancanegara. Belum lagi konsumen di Indonesia yang sangat mudah diubah
melalui iklan dan tidak adanya pesaing yang tangguh di dalam negeri.
Indonesia juga menjadi motor penggerak
kesejahteraan di kawasan karena Indonesia sedang membangun banyak
infrastruktur, mulai transportasi umum hingga pelabuhan dan pembangkit
listrik.
Pendeknya, pasar dan pembangunan infrastruktur
telah menjadi motor pertumbuhan ekonomi di berbagai negara.
Hanya, pemerintah tentu harus memikirkan
kesejahteraan tidak hanya terjadi di kawasan. Pada saat bersamaan, pasar yang
besar di Indonesia dan pembangunan in frastruktur harus memberikan
kesejahteraan bagi Indonesia sendiri.
Dalam konteks demikian, pemerintah harus
menjamin lapangan pekerjaan terbuka di Indonesia. Pemerintah juga harus
memastikan di Indonesia muncul pelaku-pelaku usaha yang tangguh. Pada saatnya
nanti, para pelaku usaha diharapkan mampu me rambah pasar dunia.
Karena Indonesia sebagai motor penggerak
kesejahteraan kawasan, bahkan dunia, bisa jadi ini meru pakan alasan
pemerintah Jepang sebagai organizer pertemuan tingkat tinggi G-7 mengundang
secara khusus Presiden Jokowi.
Upaya ini juga dapat ditafsirkan agar
Indonesia lebih memberikan tempat bagi kepentingan ekonomi negara anggota G-7
di Indonesia.
Ini mengemuka karena Indonesia di bawah
kepemimpinan Presiden Jokowi dianggap sejumlah negara yang tergabung dalam
G-7 lebih memberikan keistimewaan kepada Tiongkok. Berbagai proyek infrastruktur
telah dimenangi para pelaku asal Tiongkok, seperti proyek kereta cepat
Jakarta-Bandung.
Di sinilah pentingnya presiden memainkan peran
untuk menjaga keseimbangan negara-negara yang memiliki ketertarikan Indonesia.
Tidak mengherankan bila presiden ingin mendengar Jepang terkait dengan proyek
kereta cepat Jakarta Surabaya. Presiden tentu tidak boleh mengistimewakan
satu negara daripada negara lain.
Di samping akan bertentangan dengan kebijakan
luar negeri yang secara konsisten dijalankan, yaitu bebas aktif, ini akan
berimplikasi pada posisi Indonesia yang ditinggal kan negara-negara G-7.
Presiden justru harus pandai memainkan posisi
Indonesia agar negara-negara yang tertarik dengan Indonesia terus meningkatkan
investasi mereka di Indonesia. Intinya mereka harus dibuat cemburu satu sama
lain untuk memenangi hati Indonesia. Upaya itu tentu harus disertai dengan
pembenahan iklim investasi secara terus-menerus.
Dengan semakin pentingnya posisi Indonesia di
mata dunia, setiap komponen bangsa, utamanya birokrasi, harus siap.
Presiden membutuhkan setiap komponen bangsa
untuk mendukung, termasuk peran swasta. Presiden Jokowi melakukan ini tentu
demi Indonesia, bukan demi partai pendukungnya, bahkan kepentingan pribadi
untuk dapat terpilih lagi. Di sisi lain, pemerintah harus bijak, jangan
sampai kepentingan Indonesia tercederai dan terbebani karena beban baru sebagai
pelopor di Asia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar