Politik Pangan
Sofyan Sjaf ;
Dosen Pascasarjana Sosiologi
Pedesaan IPB; Sekretaris PSP3 IPB
|
KOMPAS, 15 Juni
2016
Isu pangan kembali
mencuat dan seolah membuat negeri agraris ini tak berdaya. Harga pangan yang
menggila (daging, bawang, minyak goreng, dan lain-lain) di tingkat konsumen
membuat beberapa legislator melontarkan sikap kritis.
Instabilitas harga
pangan yang terjadi setiap tahun seolah membuat kementerian yang bertanggung
jawab mengamankan stok pangan kelimpungan. Alhasil, aksi operasi pasar pun
gencar dilakukan sebagai pendekatan jangka pendek untuk menstabilkan harga
pangan.
Namun, disadari,
stabilisasi harga pangan tak semudah membalikkan telapak tangan. Dengan kata
lain, pemahaman secara komprehensif tentang pangan sangat dibutuhkan dan
mendesak. Oleh karena itu, sangat ironis jika panjangnya rantai pasok pangan
selalu dikambinghitamkan sebagai penyebab masalah instabilitas harga pangan!
Bukan sebaliknya, ikut memahami realitas kuasa pangan dari para pelaku utama
(pemerintah, petani/peternak, dan swasta/pedagang) penyedia pangan untuk
rakyat.
Sehubungan dengan
konteks kuasa pangan tersebut, maka menjadi penting untuk memahami logika
politik pangan, yakni logika kepentingan yang dibangun dari basis relasi para
pelaku penyedia pangan. Dengan demikian, pertanyaannya adalah bagaimana
relasi kuasa pangan yang ada saat ini? Lalu, apa saja upaya yang perlu segera
dilakukan agar persoalan instabilitas harga pangan tak mentradisi setiap
tahunnya?
Relasi kapitalistik
Instruksi Presiden
Joko Widodo kepada para pembantunya untuk menjungkirbalikkan harga pangan
menjelang puasa dan Lebaran adalah momentum tepat untuk membaca relasi kuasa
pangan yang ada saat ini. Setidaknya
ada tiga pesan yang tersirat dari instruksi itu. Pertama, realitas kondisi
pengorganisasian petani yang ada saat ini. Kedua, memahami kecenderungan
kepentingan swasta (pedagang). Ketiga, efektivitas kinerja pemerintah
(kementerian yang bertanggung jawab menangani persoalan ini).
Dari tiga pesan
tersirat di atas, tampaknya tradisi instabilitas harga pangan yang terjadi
setiap tahun disebabkan dominannya relasi kapitalistik, di mana kekuatan
modal swasta mampu mengatur pangan di negeri ini. Kebijakan importasi pangan
tidak serta-merta hadir apabila petani kita memiliki kekuatan untuk
menyediakan pangan.
Lemahnya kebijakan
pengorganisasian petani adalah bukti relasi popularisme di mana petani
sebagai pilar kekuatan dalam kuasa pangan sama sekali belum serius
digarap. Alhasil, tampilnya relasi
kapitalistik yang dominan tersebut telah berhasil membuka ruang bagi para
pemburu rente mengambil keuntungan di balik mentradisinya instabilitas harga
pangan di negeri ini.
Tak hanya itu, dampak
dari dominannya relasi kapitalistik dalam kuasa pangan menyebabkan perwujudan
kedaulatan pangan jadi utopis. Jika demikian halnya, maka ungkapan Bung Karno
lebih dari setengah abad lalu, yakni "soal pangan adalah soal hidup
matinya bangsa", menjadi keniscayaan.
Simaklah daftar impor
pangan yang dikeluarkan BPS sepanjang Januari-Agustus 2015: beras 225.029 ton
(97,8 juta dollar AS), jagung 2,3 juta ton (522,9 juta dollar), kedelai 1,52
juta ton (719,8 juta dollar), biji gandum dan meslin 4,5 juta ton (1,3 miliar
dollar), tepung terigu 61.178 ton (22,3 juta dollar), gula pasir 46.298 ton
(19,5 juta dollar), gula tebu (raw sugar) 1,98 juta ton (789 juta dollar),
garam 1,04 juta ton (46,6 juta dollar), dan daging 302.000 ton (121 juta
dollar). Artinya, data ini kian mempertegas bahwa tampilnya relasi
kapitalistik yang dominan dalam kuasa pangan menjadi ancaman masa depan
bangsa Indonesia yang, katanya, agraris.
Menuju popularisme
Sudah saatnya kita
tidak bermimpi dan terus membangun slogan untuk berswasembada beras, daging,
atau swasembada pangan lainnya dalam waktu dekat, tetapi terlebih dahulu
melakukan penataan relasi kuasa pangan di negeri ini. Saatnya slogan Nawacita
dipraksiskan di lapangan, di mana pertanian, desa, dan agraria dijadikan
sebagai basis untuk menghidupkan kembali kejayaan negeri agraris ini.
Menitikberatkan
kekuatan petani (relasi popularisme) dalam kuasa pangan menjadi hal yang
mutlak. Di sini negara harus mampu menggiring para pihak untuk berjibaku di
pedesaan, bersama-sama petani menata persoalan pangan yang dihadapi negeri
agraris ini.
Untuk itu, ada
beberapa upaya yang bisa dilakukan. Pertama, melakukan konsolidasi dan
pengorganisasian pangan untuk rakyat. Konsolidasi dan pengorganisasian
tersebut bisa dilakukan dengan menerbitkan instrumen berupa peraturan
presiden (perpres) yang mengatur lintas sektor agar lebih fokus pada petani,
pengembangan komoditas strategis, penerapan inovasi teknologi pertanian, dan
rekayasa kelembagaan. Cerita sukses "Bimas" dapat dijadikan
pembelajaran untuk melakukan rekonstruksi pangan untuk rakyat.
Kedua, memberdayakan
lulusan perguruan tinggi dan pemuda desa untuk membangun kewirausahaan sosial
pangan di pedesaan. Setidaknya upaya kedua ini bisa mengatasi problem:
lambatnya inovasi teknologi pertanian di pedesaan, panjangnya rantai pasok,
penanganan bonus demografi, dan berkurangnya angkatan muda desa untuk bekerja
di sektor pertanian.
Ketiga, mengatur dan
menata pasar domestik, serta melakukan penetrasi pasar internasional melalui
persekutuan pangan dengan negara lain. Pada beberapa komoditas pangan
(seperti daging ayam dan hortikultur), Indonesia sudah memiliki daya saing,
meski belum tertata dengan baik dalam pendistribusiannya. Di satu sisi,
segmentasi pasar domestik harus diatur sedini mungkin agar konflik pelaku di
dalam negeri tidak terjadi dan petani dirugikan, dan di sisi lain memanfaatkan
besarnya peluang penetrasi pasar di negara-negara Muslim. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar