Ahok, Eksperimen Demokrasi
Heru Margianto ;
Wartawan Kompas.com;
Meminati isu-isu Politik dan Keberagaman.
|
KOMPAS, 15 Juni
2016
Let us never forget that government is ourselves and not an
alien power over us. The ultimate rulers of our democracy are not a president
and senators and congressmen and government officials, but the voters of this
country.
--Franklin D. Roosevelt
Mantan Presiden
Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt pernah mengingatkan, tuan sesungguhnya
atas demokrasi adalah masyarakat, bukan presiden, anggota parlemen, atau
pejabat negara.
Tersirat di dalamnya,
segala prasarana praktik demokrasi seyogianya mendekatkan dan melibatkan
publik di dalamnya, sebab proses demokrasi bukan milik elit politik.
Di Pilkada DKI Jakarta
saya sebenarnya berharap Ahok tetap maju di jalur perseorangan. Saya tidak
ingin menihilkan peran partai politik. Saya hanya berharap menyaksikan sebuah
eksperimen demokrasi di jantung politik Indonesia yaitu Jakarta.
Ahok, Teman Ahok, dan
jalur perseorangan yang ditempuhnya adalah eksperimen tentang otentisitas
partisipasi publik yang sejatinya merupakan tuan atas sistem demokrasi kita
sebagaimana disebut Roosevelt.
Ahok kini berada di
simpang jalan, apakah tetap maju melalui jalur perseorangan atau melalui
partai politik. Jalur partai yang dulu rasanya musykil dilalui kini terbuka
lempang menyusul dukungan resmi yang dinyatakan Partai Golkar, Selasa
(14/6/2016).
Dukungan Golkar
menggenapi dukungan dua partai sebelumnya, Nasdem dan Hanura. Dengan dukungan
tiga partai ini, syarat minimal 20 persen total kursi DPRD DKI Jakarta
terpenuhi, yaitu 24 kursi.
Sebelumnya, saat
“digoda” Megawati agar maju bersama PDI-P berpasangan dengan Djarot Saeful
Hidayat, Ahok mengatakan ia sudah telanjur berkomitmen pada Teman Ahok untuk
maju melalui jalur perseorangan.
Dengan dukungan Golkar
yang tidak memiliki “prasyarat mekanisme partai” seperti PDI-P, akankah Ahok
tergoda untuk meninggalkan Teman Ahok?
Jalur partai politik
memang memberi banyak keuntungan bagi Ahok. Setidaknya, untuk jangka pendek,
ia tidak perlu dipusingkan lagi oleh proses verifikasi faktual dukungan yang
memberatkan.
Untuk jangka panjang,
jika kembali memenangi pilkada, Ahok akan punya tandem koalisi di parlemen
daerah untuk mengelola berbagai program pemerintah provinsi. Tidak ada lagi
keributan yang tidak perlu dengan legislatif seperti beberapa waktu lalu.
Jalur perseorangan
Saya berharap Ahok
tetap maju di jalur peseorangan. Agak konyol memang karena ia harus
meninggalkan jalan terbuka nan lempeng di partai politik. Juga berisiko
karena ia bisa gugur dalam tahap verifikasi faktual yang sulit.
Tapi, bukankah ia
berulangkali menyatakan tak soal jika harus gugur atau kalah dalam
pertarungan ini? Lagi pula, tidakkah meninggalkan Teman Ahok berarti juga
mencederai dukungan publik?
Namun, lebih daripada
itu, jalur perseorangan yang di tempuh Ahok bersama Teman Ahok di pusat
etalase politik Jakarta merupakan pembelajaran politik partisipatoris yang
paling nyata untuk Indonesia. Setidaknya ada tiga hal yang bisa menjadi legacy Ahok.
Pertama, seperti
dikatakan Roosevelt di atas, pemilik demokrasi yang sesungguhnya adalah
publik, bukan partai politik atau elit-elite politik.
Fenomena Teman Ahok
adalah eksperimen partisipasi otentik publik di luar partai politik. Ia
menjadi semacam pengingat bahwa masyarakat memiliki kekuatan untuk melakukan
dekonstruksi atas ketidakpuasan mereka pada kinerja partai politik dan
nilai-nilai buruk yang ada di dalamnya seperti korupsi, politik
transaksional, dan setoran kiri kanan untuk berbagai urusan.
Selain itu, bukankah
wajah sebagian partai politik kita umumnya menampilkan potret oligarki ketua
umumnya ketimbang sebagai partai yang partisipatoris. Teman Ahok menjadi
semacam kontrol nyata civil society atas praktik demokrasi oligarkis yang
dijalankan para politisi itu.
Catatan lain, Teman
Ahok adalah representasi generasi milienial atau kerap disebut generasi Y.
Anak-anak muda berusia 17-35 tahun yang selama ini barangkali merasa
teralienasi dalam hiruk pikuk politik di tanah air, mampu membuktikan diri
menjadi sebuah kekuatan politik yang mumpuni. Ini kelak menjadi warisan dan
proses pembelajaran yang berharga dalam perjalanan demokrasi Indonesia.
Transaksional
Kedua, meminimalisir
politik transaksional. Politik transaksional rasanya mustahil dilepaskan
dalam praktik demokrasi di manapun. Politik selalu adalah soal kompromi.
Jokowi yang semasa
kampanye pilpres mendengung-dengungkan “dukungan tanpa syarat” toh akhirnya
harus terjerambab pada kompromi politik dalam penyusunan kabinetnya.
Secara pragmatis
Jokowi tidak bisa melepaskan utang budi sejumlah partai politik yang
mendukungnya. Tak ada makan siang gratis.
Calon perseorangan
meminimalisir ruang utang budi. Ia seharusnya memiliki posisi tawar yang
lebih baik. Ini sama sekali tidak ingin menafikan peran partai politik di
legislatif yang menjadi penyeimbang kekuasaan.
Justru eksperimen
penting yang harus dibuktikan adalah bahwa calon perseorangan yang menang
pilkada dituntut untuk dapat bermitra secara lebih sehat dengan partai
politik di parlemen.
Ahok punya catatan
buruk dalam relasinya dengan legislatif DKI Jakarta sepanjang periode
kepemimpinannya yang galak. Tentu saja ini adalah pekerjaan rumah berikutnya
yang harus diselesaikanya jika ia kelak memenangi pilkada dari jalur
perseorangan.
Partisipasi politik
Ketiga, partisipasi
politik civil society di luar relawan adalah sesuatu yang ril. Bisa jadi ini
adalah bagian yang terberat.
Sebagaimana ramai
diperdebatkan, Undang-Undang baru Pemilihan Kepala Daerah yang disetujui DPR
dinilai memperberat majunya calon perseorangan. UU baru itu mempersempit
ruang klarifikasi pendukung calon perseorangan dalam tahap verifikasi
faktual.
Pasal 48 RUU Pilkada
mengatur, jika pendukung calon perseorangan tidak bisa ditemui Panitia
Pemungutan Suara (PPS) dalam verifikasi faktual ke alamatnya, pasangan calon
diberikan kesempatan menghadirkan mereka ke kantor PPS dalam waktu 3 hari.
Apabila tenggat itu
dilampaui, dokumen dukungan yang diajukan terhadap calon perseorangan
dinyatakan tak memenuhi syarat.
Wakil Ketua Komisi II
DPR Lukman Edy mengatakan, dengan ketentuan itu DPR dan pemerintah ingin
menghapus kemungkinan dukungan fiktif yang selama ini kerap ditemukan.
Hal ini juga untuk
lebih memastikan penyelenggara pilkada menjalankan sepenuhnya mekanisme yang
ada dan mencegah multi-interpretasi.
Undang-undang itu
mungkin bisa berlaku di daerah yang mobilitas penduduknya tidak setinggi
Jakarta. Semangat di baliknya baik: menghapus kemungkinan dukungan fiktif,
meskipun mekanismenya terasa tidak realistis.
Sudahlah. Sudah
diundangkan. Tidak sempat untuk diujimateri di Mahkamah Konstitusi.
Ketentuan
undang-undang ini justru merupakan ujian nyata bagi partisipasi politik
terhadap mereka yang memberikan dukungan pada calon perseorangan.
Di pihak lain,
ketentuan ini juga merupakan tuntutan bagi mereka yang maju di jalur
perseorangan untuk menunjukkan bahwa mereka layak mendapat dukungan publik.
Wacana gerakan “cuti
sehari di hari verifikasi” yang digaungkan Teman Ahok lagi-lagi merupakan
ujiannya. Jika Ahok dan Teman Ahok berhasil melewati bagian ini, kita boleh
bergembira bahwa demokrasi di Jakarta bukan semata prosedural, tapi
substantif.
Ini akan tentu akan
menjadi sejarah. Ahok berhasil menggerakan publik untuk ambil bagian secara
nyata dalam sebuah pesta demokrasi. Jika demikian, ia layak disebut pembaharu
dalam demokrasi modern di Indonesia.
Partai politik itu
penting karena ia adalah pilar demokrasi. Tak pernah ada masalah dengannya.
Yang selalu menimbulkan masalah adalah para politisinya.
Seorang politisi
semata-mata hanya mengejar kemenangan, sementara seorang negarawan
mengajarkan bagaimana caranya berdemokrasi dengan benar.
Di negeri ini terlalu
banyak politisi. Negarawan? Anda tahu jawabnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar