Dapur Pikir Strategis
Bambang Kesowo ;
Ketua Dewan Penasihat Ikatan
Keluarga Alumni Lemhannas
|
KOMPAS, 15 Juni
2016
Harus diakui kinerja
industri minyak sawit sebenarnya memang bagus. Kontribusinya terhadap
pendapatan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara konkret dan
meningkat dari tahun ke tahun.
Dalam APBN 2016,
subsektor ini menyumbang perolehan pendapatan ekspor tertinggi dibandingkan
dengan komoditas nonmigas lain. Oleh karena itu, ketika kemudian pemerintah
menasbihkannya sebagai industri nasional yang penting, pikiran khalayak
melambung bahwa di depan usaha tersebut akan terbentang berbagai kebijakan
insentif dan perlindungan. Begitu pula sewaktu eksponen utama komunitas usaha
ini beberapa bulan lalu menggelar tekad di forum dunia untuk maju terus
seraya tetap peduli lingkungan, pemerintah juga senang.
Entah sekadar
kesejajaran yang tepat waktu ataukah by
design, pernyataan tersebut memperkokoh komitmen pemerintah di forum yang
sama untuk berpegang pada prinsip pembangunan berkelanjutan. Pemerintah juga
sadar, lingkungan hidup sangat penting dalam pembangunan. Lingkungan hidup
tidak hanya penting bagi kelangsungan hidup bangsa, tetapi juga dunia. Dalam
isu lingkungan, komitmen pemerintah ditebar di banyak fora di luar maupun
dalam negeri.
Dalam contoh dua isu
tersebut pemerintah memang bersikap jelas. Pemerintah pro sawit. Pemerintah
juga pro lingkungan. Namun, sikap jelas saja ternyata belum cukup karena yang
diperlukan adalah "sikap dan kebijakan yang nyambung". Sebab, hanya
dengan begitu ada kebijakan yang pas. Semua juga tahu bahwa antara isu
lingkungan dan isu sawit ada lubang yang mesti ditambal. Ada jarak yang mesti
disambung. Semua juga maklum, gerak industri sawit memang berselimut isu
lingkungan walaupun dalam kualitas yang kurang menguntungkan.
Kondisi hubungan di
antara keduanya menunjukkan belum terkelolanya kebijakan dalam dua isu
tersebut secara tepat. Aspek kelestarian dan kesinambungan dalam isu
lingkungan senyatanya belum juga bisa "dirukunkan" dengan aspek
ekonomi dan sosial yang lekat pada isu persawitan. Bukan rahasia lagi, isu
lingkungan memang telah digunakan sebagai alat pemukul pesaing dalam
perdagangan internasional. Kesadaran memang biasa terlambat datangnya.
Ujung-ujungnya hal itu juga menambah kerepotan pemerintah ketika dampaknya
menggoyahkan iklim investasi yang tengah dibangun.
Tak hanya dalam
persawitan, isu lingkungan juga digunakan untuk menghantam komoditas industri
lain berbasis kayu. Industri kertas dan bubur kertas, industri mebel, pontang-panting
memikul beban "pembuktian terbalik" bahwa produk mereka
"bersih lingkungan". Di hadapan pasar pembeli yang bagai duduk
bersilang kaki, mereka harus membuktikan bahan baku produk mereka tidak
berasal dari/terkait dengan kerusakan hutan.
Dunia memang bagai
terbalik. Hutan tropik harus mengambil alih beban, tanggung jawab, dan dosa
dunia industri yang telah menyebabkan kerusakan ozon dan perubahan iklim.
Entah itu karena kepandaian kelompok negara industri/maju, ataukah karena
kelemahan negara-negara pemilik hutan tropik yang selalu tergoda iming-iming
dana pembangunan hutan, dana penghutanan kembali, ataupun bantuan dana dengan
nama apa pun lainnya.
Aneh atau tidak, dan
bagaimanapun liku-likunya, negara pemilik hutan tropik bagai manut saja dengan
titah tersebut. Warisan soal sengkarut hutan yang timbul sedari zaman HPH,
tumpang tindih antarsektor dalam pengelolaan dan eksploitasi hutan, dan
lain-lain yang kian merusak rasio luasan hutan, terkesan menjadi tak relevan.
Hal itu bagai sekadar persoalan domestik. Dalam dimensi internasional,
perubahan iklim dunia akibat hancurnya hutan tropik dinilai lebih sahih untuk
dijadikan alat penekan dalam percaturan dagang antarnegara. Contoh di atas
menunjukkan, betapa pengelolaan kebijakan dan gerak pengembangan potensi
ekonomi, penanganan isu lingkungan dan perubahan iklim, serta kebutuhan
pengamanan pasar dalam perdagangan internasional, merupakan masalah yang
memerlukan pemecahan yang komprehensif dan terpadu. Kemampuan meramu konsep
pemecahan yang terpola bagi kebijakan penyelesaian banyak masalah yang
berbeda, tetapi saling mendukung dan memperkuat, makin terasa menjadi
kebutuhan.
Aspek geopolitik
Tak hanya di bidang
ekonomi, kebutuhan serupa sesungguhnya juga ada di bidang lain. Tengoklah
usrek di Laut Tiongkok Selatan (LTS), dan kaitannya dengan cita kita
membangun diri sebagai bangsa maritim, serta negara yang ingin meneguhkan
diri sebagai kekuatan yang harus diperhitungkan dalam poros maritim dunia.
Masalah ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan keamanan saling berkait erat
dalam percaturan politik antarnegara.
Cepat atau lambat kita
tidak akan dapat terus mengelak, dan perlu mulai menimbang ulang pandangan
lama bahwa LTS bukan masalah kita. Bahwa usrek LTS adalah soal antara
Tiongkok dan negara-negara di sekitar kawasan yang memiliki klaim teritorial
di dalamnya. Bahwa Natuna kita berada di luar (berapa pun jumlah) titik atau
dots yang digelar Tiongkok untuk memberi legitimasi klaimnya dalam kisruh
tersebut. Pada saatnya baik untuk disadari bahwa dengan basis kesejarahan apa
pun, digelarnya titik-titik batas klaim tersebut sesungguhnya hanya dalih.
Seperti negara-negara lain yang kini bertikai, Tiongkok pasti juga menimbang
LTS mengandung nilai dan kepentingan yang strategis. Bukan sekadar kekayaan laut,
tetapi juga yang ada di dasar dan bahkan di bumi di bawahnya.
Bukan tidak mungkin
pula jika Tiongkok memimpikan bahwa dengan menguasai LTS, mereka dapat
membayangkan dominasi imperiumnya di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Adakah
di antara kita yang berpikir, dengan cita seperti itu, walau mungkin tak akan
digelar secara terburu-buru, Tiongkok tak akan menurunkan beberapa titiknya
ke selatan, lebih luas dari yang sekarang dikampanyekannya? Sejarah kita juga
memiliki catatan bahwa kedatangan bangsa lain ke Nusantara dahulu tidak hanya
berlayar dari arah barat, tetapi juga ada yang lewat lorong utara tersebut.
Perebutan dan
penguasaan sumber daya akan kian hebat di masa depan. Penduduk dunia di 2020
diprediksi akan menjadi sekitar 9 miliar berdasar hitungan statistik PBB.
Indonesia sendiri akan memiliki kira-kira 300 juta penduduk pada tahun itu.
Jumlah sebesar itu mestinya kian menggugah kesadaran betapa soal keamanan
pasokan sumber pangan dan obat akan menjadi kebutuhan, dan bahkan perebutan.
Sebagai negara dengan kekayaan hayati terbesar kedua di dunia, menjadi
kewajiban kita untuk benar-benar menyiapkan dan mengelola SDM yang dengan
kemampuan iptek mampu menguasai dan memanfaatkannya. Bukankah itu pula yang
sebenarnya ingin dijawab dalam Nawacita pemerintah kini?
Sebagaimana menghadapi
persaingan dengan bangsa lain yang juga akan (atau bahkan sudah bersiap)
berlomba untuk memperoleh akses dan atau menguasai, kita memerlukan desain
penanganan yang komprehensif dan padu untuk membangun kemampuan guna
menghadapinya. Lebih dari sekadar kebijakan sektoral, kita butuh konsep
desain yang secara strategis mampu membangun korelasi dunia pendidikan,
kegiatan penelitian dan pengembangan iptek, serta dengan dunia industri yang
secara konkret akan memanfaatkannya.
Tantangan dalam
membangun kemampuan penguasaan dan pengamanan kekayaan nasional, dan pada
saat yang sama memikirkan langkah untuk tetap memelihara perdamaian dunia
(dan mencegah benturan dalam perebutannya), memang memerlukan pemikiran guna
melandasi banyak kebijakan yang diperlukan untuk menjawabnya. Contoh adanya
benturan kepentingan dalam membangun kemampuan ekonomi nasional dengan
pengelolaan lingkungan, dan bagaimana memadukan kebijakan agar keduanya dapat
berjalan tanpa tabrakan, memang sebaiknya segera diatasi, apalagi keduanya
ternyata memiliki kaitan yang erat dengan kebutuhan pengamanan kepentingan
dalam perdagangan internasional kita.
Sama halnya adalah
kebutuhan antisipasi terhadap kemungkinan perebutan sumber daya atau akses
terhadapnya, serta membangun kemampuan SDM nasional (termasuk bonus demografi
yang sering diwacanakan), yang juga memerlukan desain penanganan komprehensif
dan tepat.
Penyiapan desain besar
Dalam konteks
interaksi dengan bangsa-bangsa yang memang mendefinisikan dan memperjuangkan
kepentingan nasional masing-masing, semua masalah tersebut akan menjadi
komponen dalam pemahaman tentang geopolitik yang perlu dikembangkan dan mesti
dikuasai. Pada gilirannya, sulit dibayangkan betapa tanpa penguasaan dan
pemahaman tentang geopolitik ini, kita akan dapat melangkah dalam mewujudkan
cita untuk ikut serta mewujudkan ketertiban dunia. Kita mungkin juga
mengalami kesulitan untuk mengartikulasi dan mengoperasionalkan prinsip
politik luar negeri yang bebas dan aktif. Lebih dari sekadar pemecahan yang
bersifat teknis operasional, pemikiran dan penyiapan desain besar ini memang
bersifat strategis. Tidak hanya obyek atau sasarannya, tetapi langkah
penyusunan konsepsi pemecahan yang utuh dan bulat itu yang sifatnya
strategis.
Di banyak negara,
presiden atau perdana menteri biasa memiliki dapur untuk mengolah pemikiran
soal strategis seperti itu. Nama dan statusnya mungkin berbeda satu dari
lainnya, tetapi esensinya sama. Mereka bahkan membuat kajian dan bahkan
dengan interpretasi mereka terhadap banyak variabel dalam geografi
masing-masing, membangun desain strategis bagi arah kehidupan masa depan,
mendefinisikan kepentingan nasional mereka, dan menentukan cara interaksi
mereka dengan bangsa lain di dunia. Di Indonesia, mungkin di lingkungan
kantor staf presiden telah ada. Namun, dengan mengingat substansi dan
keluaran yang diharapkan, rasanya tidak mudah mewujudkan hal itu dalam
tatanan organisasi dan norma birokrasi yang baku. Lantas di mana?
Lembaga Ketahanan
Nasional (Lemhannas) yang berkedudukan langsung di bawah Presiden kiranya
bisa dioptimalkan untuk berfungsi sebagai dapur tersebut. Lembaga ini, sesuai
dengan namanya, memiliki keluwesan lebih besar jika dibandingkan dengan Dewan
Pertahanan Nasional (Wantannas), yang secara fungsional bagai telah dibatasi
oleh nomenklaturnya. Selain itu, bukankah pada dasarnya Lemhannas sedari awal
pembentukannya memang difungsikan secara pokok untuk membentuk calon-calon
pemimpin bangsa dan negara, dan melakukan kajian strategis tentang permasalahan
nasional?
Pemantapan ideologi
dan sistem nilai nasional, pembangunan dan pengembangan wawasan nasional,
serta penguasaan geopolitik merupakan bidang kajian yang strategis sifatnya.
Kajian bagi perumusan simpul-simpul hulu bagi kebijakan yang komprehensif,
yang integral, yang padu, sangat diperlukan dan strategis sifatnya. Hasil
kajian tidak hanya perlu untuk membekali calon pemimpin yang dididik, tetapi
terutama mesti menjadi konsumsi Presiden. Gubernur Lemhannas dapat membentuk
grup-grup kajian ini, dan merekrut tenaga-tenaga senior ahli dan
berpengalaman di bidang-bidang bersangkutan, dan secara fungsional bekerja
langsung di bawah kendali dan arahannya.
Lemhannas dapat
merekrut tenaga yang benar-benar ahli dan berpengalaman yang mana pun di
Indonesia ini yang diperlukannya. Untuk kebutuhan yang demikian strategis,
sungguh sayang jika pemerintah tidak memanfaatkan lembaga itu secara optimal.
Mungkin memang tak perlu menjadi satu-satunya, tetapi Lemhannas sebenarnya
juga tak terlalu keliru jika dibangun sebagai sebuah dapur pikir strategis,
sebagai think-tank Presiden. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar