Tantangan Pendidikan Hukum di Era MEA
Topo Santoso ;
Guru Besar dan Dekan Fakultas
Hukum UI
|
KOMPAS, 09 Mei 2016
Masyarakat Ekonomi
ASEAN atau MEA sudah berjalan sejak akhir 2015.
Siap atau tidak, kita
sudah memasuki era baru ini. Banyak persoalan sudah dan terus dibahas
mengenai berbagai aspek yang terpengaruh MEA. Ada satu hal yang patut kita
renungkan, bagaimana pendidikan hukum kita berbenah dengan kehadiran MEA?
Bagaimana harmonisasi hukum di kawasan ini? Bagaimana penguatan pemahaman
hukum yang berlaku di satu kawasan yang kian terintegrasi?
Pada 21-22 Maret 2016
lalu berlangsung konferensi ”Legal Education in the Wake of ASEAN
Integration” di Thammasat University, Bangkok, yang dihadiri sejumlah dekan
dari negara-negara ASEAN. Ada sejumlah permasalahan yang dibahas dalam
konferensi ini, seperti apa pentingnya pendidikan hukum dalam proses
integrasi ASEAN serta apa tantangan dan agenda ke depan?
Beberapa isu di atas
sesungguhnya pernah menjadi permasalahan lama yang dihadapi pendidikan hukum
negara-negara Eropa saat memasuki era Uni Eropa (UE). Bahkan hingga kini
sejumlah persoalan terus dibahas di sana. Belajar dari pengalaman itu, mau
tak mau, dunia pendidikan hukum di ASEAN juga mesti berbenah diri melakukan
kerja sama erat antarperguruan tinggi di semua negara ASEAN sehingga dapat
memenuhi kebutuhan dalam rangka MEA yang sudah efektif berjalan.
Meski tak sama antara
UE dan MEA, khususnya terkait hukum yang berlaku, di mana negara-negara di
Eropa mengenal adanya ”EU Law” sementara belum ada yang namanya ”AEC Law”,
bagaimanapun kita bisa mengambil pelajaran berharga dari berbenah diri dan
kerja sama pendidikan hukum di negara-negara Eropa.
Saat ini sudah mulai
lahir atau sudah digagas berbagai ASEAN Legal Center atauProyek Hukum ASEAN,
seperti digagas Faculty of Law University of Malaya dan National University
of Singapore. Universitas di Indonesia tak boleh ketinggalan menyiapkan diri
dari universitas di Malaysia, Singapura, Thailand, dan lain-lain. Bahkan di
luar ASEAN, saat ini sudah dibentuk, mengingat pentingnya penguasaan akan
hukum negara-negara ASEAN dan juga hukum terkait integrasi ASEAN. Di
University of Hawaii, William S Richardson School of Law, bahkan sudah
berdiri ASEAN Law & Integration Center.
Center ini merupakan
institusi pendidikan hukum pertama di AS yang khusus mendedikasikan diri
untuk mendukung analisis, assessment, pengembangan, dan inovasi yang
dilakukan negara-negara anggota ASEAN dalam proses menciptakan dan
menghadirkan apa yang disebut ASEAN Law, ASEAN Jurisprudence, dan ASEAN
Institution untuk pasar tunggal ASEAN. Bayangkan universitas dari negara di
luar ASEAN saja sudah sejauh itu memikirkan dan mendirikan pusat kajian ASEAN
karena pentingnya ASEAN secara perdagangan internasional.
Tiga tantangan
Era MEA mesti
ditanggapi secara serius oleh pendidikan hukum kita agar tak tertinggal dari
negara ASEAN lain, bahkan negara di luar ASEAN yang merasa penting membuat
ASEAN legal center dengan seluruh programnya. Integrasi regional, seperti MEA
ini sesungguhnya dilandasi suatu kerangka hukum (based on law) dan juga
dilaksanakan berdasarkan suatu hukum juga (implemented by law). Meski
demikian, perlu apa yang disebut Prof Thomas Schmitz sebagaisuatu komitmen
bersama atas aturan hukum (a common commitment to the rule of law).
Schmitz, profesor dari
Jerman dan konsultan pada beberapa universitas di Asia dan Eropa (2016)
mengemukakan, ada kebutuhan ASEAN atas pendidikan hukum dalam proses
integrasi ini. Apa saja kebutuhan itu? Kebutuhan akan spesialis yang
berkualifikasi tinggi dalam bidang hukum-hukum negara ASEAN, kebutuhan akan
budaya hukum yang sudah berkembang dan praktisi hukum yang cakap di semua
negara ASEAN, dan kebutuhan akan harmonisasi dan pemahaman dasar soal budaya
hukum di semua negara ASEAN.
Ada tiga tantangan
penting yang perlu didalami oleh pendidikan hukum di ASEAN dalam rangka
integrasi ASEAN: (1) masalah bahasa dalam kerja sama hukum internasional dan
dampaknya dalam pendidikan hukum; (2) mobilitas siswa, pengajar, dan
peneliti; dan (3) harmonisasi pendidikan hukum.
Masalah-masalah bahasa
hukum yang digunakan baik dalam studi perbandingan hukum maupun dalam praktik
dapat menimbulkan risiko kekeliruan serta distorsi, karena praktik hukum
memerlukan bahasa yang tepat dan akurat, kesalahpahaman bahasa bisa
menimbulkan kesalahan hasil dari seluruh proses bekerja. Untuk mengantisipasi
dan menghindari ini diperlukan suatu pengembangan terminologi hukum yang
konsisten untuk negara-negara ASEAN. Selain itu juga perlu pengembangan ahli
penerjemahan dan interpretator yang spesialis bahasa hukum.
Tantangan lain, soal
mobilitas siswa, dosen, dan peneliti di ASEAN. Hal ini bisa dilakukan,
misalnya dengan international summer school/program,
student/lecturer/researcher exchange program, joint seminar, joint research,
joint/double degree, dan sebagainya. Mobilitas ini sangat penting guna
mendorong lahirnya pemahaman dan pengertian bersama, pengetahuan tentang
hukum yang berlaku di ASEAN (termasuk kultur hukumnya), serta jaringan
transnasionalnya.
Selama ini kita tahu,
kebanyakan mobilitas mahasiswa, pengajar dan peneliti dari ASEAN, termasuk
Indonesia, lebih suka mobilitas dilakukan dengan negara-negara Barat baik
Eropa, Australia, maupun AS. Kalaupun di Asia, dengan Jepang, dan masih
jarang dengan sesama negara ASEAN sendiri. Ke depan perlu ditekankan
pentingnya mobilitas di antara sesama negara ASEAN mengingat pentingnya MEA.
Berbagai tantangan
pendidikan hukum era MEA di atas sudah disadari berbagai universitas di
negara ASEAN lain, bahkan luar ASEAN. Kita sebagai negara terbesar di ASEAN,
negara yang disegani di ASEAN, yang memiliki lembaga pendidikan hukum serta
lulusan hukum terbanyak di ASEAN, sudah sepantasnya menyambut lebih baik.
Sudah saatnya kerja sama semua lembaga pendidikan hukum dikuatkan. Sudah saatnya
agenda bersama pendidikan hukum Indonesia era MEA dibuat dan dijalankan.
Sudah saatnya semua pimpinan pendidikan hukum duduk bersama membahas ini.Jika
tidak sekarang, kapan lagi? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar