Mencari Alternatif Pidana Penjara
Muladi ;
Menteri Kehakiman RI 1998-1999
|
KOMPAS, 09 Mei 2016
Data populasi lembaga
pemasyarakatan per 25 April 2016 dari Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum
dan HAM di seluruh Indonesia (Kompas, 27 April 2016), sangat mengejutkan,
mengerikan, dan sudah tak manusiawi. Total tahanan dan narapidana di seluruh
Indonesia berjumlah 187.701 orang. Padahal, kapasitas total lembaga
pemasyarakatan (lapas)dan rumah tahanan (rutan) di seluruh Indonesia idealnya
hanya untuk119.269 orang. Kelebihan kapasitas ini merupakan akar permasalahan
kekacauan di lapas akhir-akhir ini, di samping masalah narkoba, kurangnya
jumlah petugas, konflik antar-napi, dan lain-lain.
Dalam kondisi semacam
itu, sangat diragukan apakah fungsi lapas sebagai tempat pembinaan yang
menggantikan sistem kepenjaraan dapat tercapai, yaitu memasyarakatkan
terpidana agar menjadi warga negara yang baik dan berguna (UU No 12/1995).
Secara universal,
salah satu dokumen hak-hak asasi manusia (HAM) dalam sistem peradilan pidana,
sebagaimana diatur di dalam Standard
Minimum Rules for the Treatment of Prisoners (1957), dipenuhi berbagai
indikator minimum pembinaan narapidana yang harus dilaksanakan setiap
pemerintahan. Hal ini, antara lain, meliputi: prinsip non-diskriminasi;
respek terhadap kepercayaan/agama dan moral; register yang tertib;
kategorisasi napi (jenis kelamin, pembedaan antara terpidana dan tahanan,
usia, beratnya tindak pidana);akomodasi yang memadai dan sehat; pakaian;
makanan; olahraga; jaminan kesehatan yang cukup; perlindungan hak milik napi;
di samping tindakandisiplin dan hukuman yang proporsional apabila diperlukan.
Dalam kondisi lapas yang melebihi kapasitas dan padat kiranya sangat sulit
untuk memenuhi standar universal tersebut.
Namun, yang pasti
terjadi adalah sulitnya melaksanakan pembinaan yang memadai, terjadinya
interaksi antar-napi yang negatif, beban pembiayaan pemerintah yang semakin besar,
dan meningkatnya residivisme karena lapas cenderung menjadi sekolah
kejahatan. Apalagi, terlihat adanya kecenderungan bahwa sistem pemidanaan di
Indonesia menempatkan penjatuhan pidana penjara sebagai primadona sanksi.
Dengan demikian, secara singkat dapat dikatakan bahwa kondisi lapas saat ini cenderung
menciptakan efek kontraproduktif dalam bentuk meningkatnya stigmatisasi dan
penyebaran kuantitas dan kualitas kejahatan.
Beberapa keuntungan
Untuk itu,
bentuk-bentuk sanksi pidana yang merupakan alternatif pidana penjara harus
dikembangkan. Akan tetapi, tentu dengan catatan: alternatif tersebut harus tetap
dilandasi oleh tujuan yang sama dengan pidana penjara, yaitu mengembangkan
tindakan rehabilitasi yang lebih efektif untuk mengurangi kejahatan atau
residivisme.
Jadi, yang dirancang
bukan mencarialternatif tujuan pidana penjara, tetapi mengembangkan
alternatif sanksi pidana penjara dengan tujuan yang sama. Bagi pelaku tindak
pidana berat tetap diterapkan pidana penjara. Dua sistem ini disebut sebagai
kebijakan pidana dua jalur atau a
two-track penal policy (Albrecht, 2006). Keuntungannya adalah memberikan
kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki diri di masyarakat, terpidana
dapat melanjutkan fungsinya di masyarakat, menghilangkan sebagai stigma
eks-napi, menghindari proses prisonisasi atau pengaruh budaya negatif lapas,
biaya lebih murah, dan penggunaan fasilitas negara dapat dikurangi. Bagi
Indonesia, alternatif lain dari pidana penjara tersebut paling tidak dapat
mencakup tiga hal.
Pertama, alternatif
penahanan (pre-trial detention) berupa
keberanian penyidik untuk menerapkan diskresi tidak menahan atau menahan
lanjutan tersangka atau terdakwa di rutan. Penerapan diskresi itu
karenadidasari keyakinan bahwa tersangka atau terdakwa tidak akan melarikan
diri, tidak akan merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau tidak akan
mengulangi tindak pidana (Pasal 21 Ayat 1 KUHAP). Dalam kaitan ini, penahanan
rumah atau penahanan kota dengan pengawasan dapat dilakukan. Kemudian penangguhan
penahanan yang disertai dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang
juga dapat dikabulkan berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan (Pasal
31 Ayat 1 KUHAP).
Kedua, sanksi
alternatif yang dapat dijatuhkan hakim selain pidana penjara adalahpidana
denda apabila tercantum sebagai alternatif. Selanjutnya pidana percobaan
(pidana tidak usah dijalani dengan syarat-syarat umum dan khusus tertentu)
apabila hakim menjatuhkan pidanapenjara paling lama satu tahun (Pasal 14a
hingga Pasal 14f KUHP). Di sisi lain, diversi (pengalihan penyelesaian perkara
anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana) dengan
syarat tertentu berlaku atas dasar UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Anak.
Ketiga, alternatif
dengan tujuan untuk mengurangi lamanya pidana penjara, berupa lepas
bersyarat, dapat diintensifkan bagi terpidana yang telah menjalani dua
pertiga lamanya pidana penjara dengan masa percobaan. Hal ini, di samping
pertimbangan pendayagunaan lapas terbuka untuk mengurangi intensitas penjara,
juga atas dasar Pasal 15 KUHP. Mekanisme sistem remisi juga dapat ditempuh;
sekalipun akhir-akhir ini masih diperdebatkan dalam kaitannya dengan PP No
99/2012, yang memperketat persyaratan remisi bagi terpidana terorisme,
narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap
keamanan negara, kejahatan HAM yang berat, serta kejahatan transnasional
terorganisasi lain.
Beberapa alternatif
Dalam RUU KUHP yang
saat ini sedang dibahas di DPR, pengembangan alternatif pidana penjara,
antara lain, juga mencakup penyempurnaan pengaturan pidana denda dengan
sistem kategori, penyempurnaan pidana percobaan dengan pidana pengawasan, dan
pidana kerja sosial secara sukarela sebagai alternatif pidana penjara jangka
pendek.
Usaha untuk mencari
alternatif pidana penjara di atas harus disertai semangat para pemangku
kepentingan sistem peradilan pidana (polisi, hakim, jaksa, dan pejabat lapas)
untuk tidak lagi menjadikan penerapan pidana penjara sebagai primadona,
terutama yang berjangka pendek. Hal ini pasti akan mengurangi populasi lapas
secara signifikandan membantu usaha rehabilitasi napi serta akan mengurangi
kekisruhan di lapas.
Di berbagai negara
Eropa ataupun Amerika Serikat, usaha untuk mengembangkan alternatif pidana
penjara juga dilakukan. Yang populer antara lain diversi, mencakup: tindak
pidana ringan yang diterapkan jugauntuk orang dewasa; penundaan penuntutan
bersyarat; pidana kerja sosial, probation (menempatkan terdakwa di bawah
pengawasan tanpa pemidanaan dengan syarat-syarat tertentu); dan pidana
penjara yang hanya dilakukan di waktu senggang (intermittent custody), misalnya pada hari Minggu dengan
memerhatikan syarat-syarat tertentu karena adanya tanggungan anak atau
orangtua, sedang menyelesaikan sekolah, atau agar yang bersangkutan tidak
kehilangan pekerjaan, dan lain-lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar