Rehabilitasi bagi Korban Kejahatan Seksual
Neng Djubaedah ;
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Indonesia
|
MEDIA INDONESIA,
12 Mei 2016
KASUS
perkosaan saat ini semakin memprihatinkan. Setelah kasus Yy di Bengkulu,
terungkap pula beberapa kasus perkosaan lainnya, antara lain perkosaan yang
menimpa LN, usia 2,2 tahun, di Bogor, yang diduga pelakunya ialah tetangganya
sendiri, B, 26. Tentu masih banyak korban perkosaan yang belum terungkap.
Apakah para orangtua, terutama para ibu, yang mengandung dapat tenang dan
ikhlas menerima perlakuan demikian terhadap buah hatinya?
Pada
Selasa (10/5) terhadap tujuh pelaku perkosaan yang berusia di bawah 18 tahun
di Bengkulu divonis hukuman penjara 10 tahun. Apakah hukuman itu dapat
melipur lara hati orangtua Yy dan/atau para orangtua lainnya?
Perlindungan
hukum publik terhadap para korban dan ahli warisnya tidak cukup melipur hati
hanya dengan hukuman penjara bagi pelaku. Seperti yang ditentukan dalam: (i)
KUHP Pasal 285: menentukan hukuman penjara paling lama 12 tahun bagi setiap
orang (lelaki) yang melakukan perkosaan terhadap perempuan di luar
perkawinan. Perkosaan di wilayah rumah tangga terdapat dalam UU No 23/2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga--atau (ii) UU No 23/2002
tentang Perlindungan Anak diubah UU No 35/2014 menentukan hukuman bagi pelaku
perkosaan terhadap anak perempuan atau anak lelaki di bawah umur 18 tahun
(Pasal 76D), yaitu penjara paling singkat 5 tahun.
Paling
lama 15 tahun (Pasal 81 ayat (1)); atau (iii) Pasal 339 KUHP, apabila para
pelaku perkosaan terbukti melakukan perkosaan sebagai perbuatan yang
menyertai atau mendahului tindak pidana pembunuhan, diancam hukuman penjara
seumur hidup atau paling lama 20 tahun.
Ketiga
macam hukuman itu masih menyisakan masalah, yaitu hak-hak keperdataan korban
yang tentu mengalami kerugian materiil dan imateriil, rohani dan jasmani
meliputi kerugian spiritual, mental, jiwa, psikis, fisik, sosial, ekonomi,
dan masa depan yang tidak ternilai.
Para
korban perkosaan terdiri dari (i) pribadi korban perkosaan; (ii) anak hasil
perkosaan; (iii) keluarga korban jika korban mati karena perkosaan; dan (iv)
masyarakat. Hak-hak keperdataan para korban perkosaan, khususnya pribadi
korban dan/atau ahli warisnya dilindungi oleh UUD 1945: (i) Pasal 28H bahwa
setiap orang berhak mendapat kehidupan yang layak sejahtera lahir batin. (ii)
Pasal 28G ayat (1) bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang berada di bawah
kekuasaannya. (iii) Pasal 28G ayat (1) bahwa setiap orang berhak untuk hidup,
berhak tidak disiksa, berhak atas kemerdekaan pikiran dan hati nurani, berhak
beragama, yaitu merupakan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Kemudian,
(iv) Pasal 28B ayat (2): setiap anak, termasuk anak hasil perkosaan, berhak
atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Karena itu, anak hasil
perkosaan tidak boleh diaborsi setelah melewati masa kehamilan 40 hari (Pasal
31 ayat (2) PP No 61/2014 juncto Fatwa MUI No 4/2005), (UUD 1945).
Berdasarkan
ketentuan itu, amatlah patut para korban diberikan perlindungan hukum secara
keperdataan oleh negara RI. Karena dalam menjalankan hak-hak keperdataan itu,
mereka memerlukan ketentuan yang pasti dalam peraturan perundang-undangan,
sehubungan dengan besarnya dana yang diperlukan untuk memulihkan penderitaan
jasmani dan rohani, materiil dan imateriil, serta meningkatkan kualitas
kehidupan mereka yang telah diluluh-lantakkan oleh para pemerkosa.
Terhadap
anak hasil perkosaan pun tidak cukup oleh Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010,
tanggal 17 Februari 2012 juncto Fatwa MUI No 11, tanggal 10 Maret 2012
tentang Anak Hasil Zina dan Peraturan Terhadapnya. Karena belum ada peraturan
perundang-undangan yang memuat ketentuan yang pasti tentang restitusi atau
semacam diyat (ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku dan diberikan
kepada korban), kompensasi (ganti kerugian yang diberikan kepada korban dan
pembayarannya dibebankan kepada negara melalui pemerintah), dan rehabilitasi.
Di
Indonesia ada tiga sistem hukum yang dijadikan sumber pembentukan hukum
nasional, yaitu (1) hukum adat, (2) hukum agama antara lain hukum Islam, dan
(3) hukum Barat, sepanjang ketiga sistem hukum itu tidak bertentangan dengan
Pancasila.
Pada
tahun 2002 penulis telah mengusulkan hal tersebut untuk kepentingan korban
pornografi dan/atau pornoaksi atau ahli warisnya, baik orang yang kecanduan
pornografi yang terbukti sebagai korban, maupun korban perkosaan dan/atau
pembunuhan karena pornografi, atau tindak pidana lain yang terkait dengan
pornografi.
Dalam
Islam, restitusi (diyat) dapat diambilkan dari baitulmal apabila pelaku
pembunuhan atau penganiayaan fisik dan keluarganya tidak mampu memenuhinya,
setelah ia mendapat pemaafan dari korban atau keluarganya. Korban perkosaan
tentu mengalami penderitaan rohani dan jasmani yang sangat berat. Karena itu,
amatlah adil jika terhadap mereka ditentukan perlindungan hukum berupa
restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi.
Apabila
para korban perkosaan pun merangkap sebagai korban pembunuhan, hukum Islam
menentukan hukuman bagi pelaku pembunuhan dengan sengaja (Surah Al-Baqarah
ayat 178-179) atau pembunuhan tidak dengan sengaja (Surah An-Nisa ayat
92-93). Apabila terbukti, ahli waris berhak mendapatkan diyat (semacam
restitusi) dari para pelaku pembunuhan jika para ahli waris korban memaafkan.
Akan
tetapi, terhadap kejahatan perkosaan itu sendiri tidak dapat diterapkan asas
pemaafan. Jumlah diyat pembunuhan ditentukan dalam hadis Rasulullah SAW yaitu
sebanyak 100 ekor unta, dan 40 ekor unta di antaranya harus dalam keadaan
bunting. Diyat merupakan perlindungan hukum keperdataan bagi korban dan ahli
warisnya, sekaligus perlindungan terhadap masyarakat.
Di
Indonesia tidak ada unta, maka unta dapat dikonversi dengan sapi atau uang
atau benda lain sebesar harga 100 ekor unta. Dengan demikian, hukum Islam
tidak memisahkan secara mutlak antara hukum publik dan hukum perdata
(privat). Restitusi (diyat)
merupakan bentuk perlindungan publik sekaligus perlindungan keperdataaan bagi
pribadi korban dan ahli warisnya, serta masyarakat sebagai ganti kerugian
marwah dan kehormatan akibat perkosaan yang mengandung asas maslahat dan
manfaat bagi semua pihak. Wallahu 'alam.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar