Serapan Anggaran Rendah Masalah Klasik Berulang
Telisa Aulia Falianty ;
Pengamat Ekonomi dan
Ketua Program Studi Magister
Perencanaan dan Kebijakan Publik FEB UI
|
MEDIA INDONESIA,
13 Mei 2016
JUDUL
headline ini tentu sudah tidak aneh dan mungkin pembaca akan merasa bosan.
Topik ini pun mungkin dianggap tidak semenarik tax amnesty dan Panama Papers.
Namun, yang pasti ini selalu menjadi topik yang dibahas di berbagai rapat dan
seminar untuk dicarikan solusinya. Pertumbuhan ekonomi kuartal I 2016 yang
mencapai 4,92% di bawah harapan untuk di atas 5%. Asumsi makro di APBN 2016
pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3%. Memang terlalu dini untuk menilai
keseluruhan karena ini masih kuartal I. Namun, tak ada salahnya menilai
karena untuk antisipasi dan akselerasi ke depannya.
Berdasarkan
rilis BPS, laju pertumbuhan konsumsi pemerintah kuartal I 2016 terhadap
kuartal I 2015 sebesar 2,93%, jauh di bawah pertumbuhan konsumsi rumah tangga
sebesar 4,94%. Meskipun secara kontribusi untuk konsumsi pemerintah kuartal I
2016 share-nya meningkat tipis menjadi 6,8% jika dibandingkan dengan
sebelumnya 6,61%, Presiden Jokowi sendiri menegaskan kurang maksimalnya
belanja modal maupun barang pemerintah mengakibatkan pertumbuhan ekonomi di
kuartal I 2016 di bawah target.
Menteri
Keuangan memaparkan hingga 31 Maret 2016, baru 15 kementerian/lembaga yang
sudah membelanjakan anggaran dengan penyerapannya masih di bawah 20%.
Berdasarkan kementerian, persentase penyerapan terbesar ialah Kementerian
Sosial, yaitu sebesar 22%. Menyusul di tempat kedua ialah Kementerian
Keuangan dan Kementerian Hukum dan HAM sebesar 15%. Rangking ketiga ialah
Kementerian Kesehatan sebesar 13,9%.
Terkait
dengan infrastruktur, kita perlu juga melihat realisasi belanja beberapa
kementerian. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PU-Pera)
menyerap anggaran sebesar 7,9% dan Kementerian Perhubungan sebesar 6,5%.
Wakil Presiden telah mengapresiasi Kemen PU-Pera dalam hal penyerapan anggaran
meskipun masih di bawah tiga besar tertinggi di atas. Namun, secara
perencanaan dan percepatan tender, ada kemajuan jika dibandingkan dengan
sebelumnya. Tender yang dilakukan, menurut Wapres, sudah dari jauh hari.
Bila
dibandingkan dengan kuartal I 2015 yang rata-rata penyerapan anggaran sebesar
4,9%, pada kuartal I 2016 penyerapan anggaran relatif lebih baik (proksimasi
9%-10%). Meskipun demikian, nilai itu di bawah target Bappenas yang memasang
target 20%. Permasalahan klasik dalam penyerapan belanja modal ialah masalah
lahan, proses pengadaan, ketakutan implikasi hukum, perubahan nomenklatur di
pemerintahan baru, dan program yang tidak disertai design engineering detail
(DED). Rendahnya penyerapan anggaran tidak hanya terjadi di tingkat pusat,
tetapi juga di daerah.
Dana
transfer ke daerah yang semakin besar menyebabkan penyerapan anggaran ke
daerah semakin perlu diperhatikan. Dari tahun ke tahun dana transfer ke
daerah semakin lama semakin meningkat. Peningkatan dana transfer ini, jika
tidak disertai kemampuan daerah dalam menyerap dan membelanjakan anggaran,
tentu akan bisa menjadi bumerang.
Teguran
Presiden Jokowi di media kepada kepala daerah jelas menunjukkan pentingnya
permasalahan kemampuan penyerapan anggaran di daerah. Masalah yang juga klasik
ialah rendahnya penyerapan anggaran di daerah dikonfirmasi dengan kondisi
dana tersebut banyak mengendap menjadi dana idle di perbankan daerah.
Hal
itu mendorong pemerintah untuk memberlakukan transfer nontunai. Transfer
nontunai mulai akan berlaku pada 2016. Jenis dana transfer daerah yang akan
dikenai penalti transfer nontunai yang berasal dari DBH (DBH PBB Migas, PPh,
dan DBH SDA) dan DAU. Kriteria daerah yang akan dikonversi dananya dengan
nontunai ialah daerah yang memiliki uang kas atau simpanan di bank dalam
jumlah tidak wajar selama tiga bulan anggaran berjalan. Waktunya ialah untuk
kuartal pertama. Penetapan waktu kuartal pertama dan kedua merupakan strategi
pemerintah untuk mendorong percepatan realisasi penyerapan anggaran di daerah
(Amir Arham, 2016).
Berbagai
usaha telah dilakukan untuk mempercepat dan memperbesar penyerapan anggaran.
Pertama, penarikan tender lebih awal. Kedua, sistem lelang yang telah
dipangkas birokrasinya. Ketiga, kerja sama dengan legislatif terkait dengan
anggaran yang masih diblokir/diberikan tanda bintang. Keempat, Presiden juga
telah mengeluarkan surat edaran untuk menghindari kriminalisasi administrasi
yang selama ini jadi alasan klasik juga terkait dengan ketakutan terhadap
auditor ataupun KPK.
Kesalahan
administrasi dalam surat edaran tersebut tidak bisa dipidanakan. Untuk
meningkatkan penyerapan anggaran daerah, pemerintah juga telah membuat skema
dana transfer nontunai sebagai penalti pada daerah yang lambat yang akan
diberikan obligasi sebagai pengganti transfer tunai.
Usaha-usaha
tersebut perlu diperkuat lagi. Usaha klasik memperbaiki kemampuan perencanaan
sangat diperlukan. Perlu perencanaan yang lebih tajam. Selain itu, revolusi
mental bagi pelaksana di level implementasi bagaimana dan dedikasi untuk menjalankan
kegiatan yang telah dianggarkan. Teknologi digital dan sistem elektronik
seharusnya bisa dimanfaatkan secara optimal untuk mempercepat pelaksanaan
lelang maupun kegiatan.
Sistem
konversi ke obligasi untuk pemerintah daerah juga perlu dikawal agar tidak
menjadi masalah baru maupun beban baru bagi APBN. Kompetensi aparat pemda
dalam mengelola anggaran perlu terus ditingkatkan dari hulu sampai hilir. Di
hulu kemampuan perencanaan, sedangkan di hilir kemampuan eksekusi. Beberapa
daerah yang dipuji pemerintah di 2016 ialah Jawa Timur, Sulawesi Utara, dan
Lampung. Daerah-daerah lain perlu belajar dari ketiga daerah terbaik
tersebut. Insentif dan apresiasi diperlukan, tidak hanya punishment. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar