Melawan Radikalisme dan Terorisme
Kisnu Haryo Kartiko ;
Tenaga Profesional Bidang
Politik Lemhannas RI
|
MEDIA INDONESIA,
12 Mei 2016
PENYERANGAN
WTC pada 11 September 2001, peristiwa peledakan bom Boston Marathon,
peledakan bom Bali I dan II, peristiwa bom Hotel JW Marriot Jakarta,
pengeboman Bandara Brussels Belgia, serangan berantai di Prancis November
2015, dan peristiwa-peristiwa teror lainnya telah menumbuhkan persepsi di
sebagian besar kalangan pemimpin pemerintahan dan tokoh-tokoh politik di
dunia bahwa semua peristiwa tersebut dilakukan dan di-back-up oleh kelompok
fundamentalis dan teroris yang berbasis Islam.
Kita
masih ingat betul pernyataan George W Bush setelah peristiwa penyerangan WTC,
"Bahwa peristiwa ini di belakangnya adalah Osama bin Laden dengan
Al-Qaeda." Demikian pula setelah peristiwa bom Bali dan JW Marriot,
Dubes AS Ralph Boyce menyatakan, "Di balik peristiwa itu adalah jaringan
teroris Al-Qaeda internasional." Pernyataan resmi pemerintah Belgia dan
Prancis juga menyebutkan di belakang peristiwa bom Bandara Brussels dan
penyerangan di Prancis ialah kelompok radikal ISIS yang berbasis pada
fundamentalisme Islam.
Indonesia
negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, apalagi berbagai peristiwa
tersebut juga dilakukan warga negara yang mengaku beragama Islam. Karena itu,
mau tidak mau Indonesia juga memperoleh stigma sebagai negara yang menjadi
sarang kelompok teroris. Hal ini sebagaimana pernah dikatakan Pemimpin Senior
Singapura Lee Kuan Yew bahwa Indonesia sebagai sarang teroris.
Mengingat
negara kita telah menjadi perhatian dunia, penanganan radikalisme dan
terorisme harus menjadi perhatian utama bagi pemerintah. Hal itu demi
memberikan rasa aman dan ketenteraman bagi seluruh warga negara dan
warga-warga dunia lainnya yang hidup dan berdiam di Indonesia. Namun,
penanganan kelompok radikal dan teroris ini tidak mungkin untuk dipikul
sendiri oleh pemerintah. Peran masyarakat juga menjadi penting karena akar
persoalan radikalisme dan terorisme itu lebih banyak bersentuhan dengan
kehidupan sosial-kemasyarakatan, misalnya permasalahan atas pemahaman
terhadap agama secara benar, masalah keadilan dan penegakan hukum, masalah
kesenjangan sosial-ekonomi, masalah keyakinan ideologi yang berbeda, masalah
penguasaan dan eksploitasi oleh kekuatan asing.
Pertanyaan
besarnya ialah bagaimana seharusnya seluruh komponen bangsa bersikap terhadap
radikalisme dan terorisme ini?
Gerakan
radikalisme dan terorisme yang berbasis pada fundamentalisme Islam di
Indonesia sebenarnya telah dimulai kelompok yang menamakan diri Kartosuwiryo
yang didukung Daud Beureueh di Aceh, Kahar Muzakar di Sulawesi, dan PRRI di
Sumatra Bagian Tengah yang mendirikan NII/DI-TII. Kelompok ini melakukan
pemberontakan dan dapat ditumpas melalui operasi militer.
Ketika
masa pemerintahan Orde Baru tumbuh kelompok Islam radikal yang dipimpin
Warman dkk dan mereka melakukan teror melalui pengeboman tempat-tempat ibadah
(gereja dan candi) dan melakukan pembajakan pesawat Garuda Woyla, kelompok
itu ditumpas melalui operasi keamanan dan ketertiban.
Pada
saat yang bersamaan, ada tiga fundamentalis yang melarikan diri ke Malaysia,
yaitu Abu Bakar Ba'asyir dan Abdullah Sungkar (kelompok Ngruki) dan Ajengan
Masduki (kelompok Tasikmalaya).
Ketiga
orang itu kemudian merekrut kaum santri untuk dikirim menjadi mujahidin di
Afganistan dan eks mujahidin Afghanistan itu di kemudian hari menjadi
pimpinan Jamaah Islamiyah dan merekrut anggota-anggota baru dari berbagai
negara di Asia Tenggara, serta mendirikan berbagai kelompok laskar dan
kelompok untuk mengembangkan paham khilafah Islamiah di masyarakat bawah.
Kelompok
eks mujahidin Afghanistan dan kelompok yang berafiliasi inilah yang kemudian
melakukan gerakan dan tindakan teror di berbagai negara di Asia Tenggara,
termasuk Indonesia. Ketika kekuatan kelompok eks mujahidin sangat berkurang
karena telah ditangkap, diadili, dan dihukum mati, gerakan dan tindakan teror
dilanjutkan kader-kader militan yang telah dididik. Kader-kader baru itu
kemudian banyak yang mulai pergi ke Timur Tengah (Suriah sebagi tujuan akhir)
untuk bergabung dengan ISIS.
Sejarah
kita menunjukkan sejak Indonesia merdeka, memang telah ada kelompok
radikal/fundamental Islam yang melakukan pemberontakan dan tindakan teror.
Mereka dipersiapkan untuk melakukan perlawanan bersenjata (dilatih sebagai
militer/kombatan). Pelatihan mereka sebagai militer dilakukan baik di dalam
negeri maupun di luar negeri (Afghanistan dan Suriah sebagai mujahidin dan
anggota ISIS) sehingga mereka siap untuk berperang di medan perang, melakukan
gerilya kota dan hutan, serta melakukan teror dengan berbagai jenis sasaran
objeknya.
Menghadapi radikalisme dan
terorisme ke depan
Saat
ini kelompok radikal dan teroris secara filosofis dikonsepsikan sebagai
kelompok yang melakukan kejahatan luar biasa atau extraordinary crime
sehingga pelaku teror akan dikualifikasikan sebagai 'penjahat' dan akan
tunduk/diberlakukan hukum pidana khusus dan yang menangani ialah aparat
keamanan (kepolisian).
Hal
itu menimbulkan beberapa kelemahan dalam penanganannya: secara keyakinan para
pelaku teror berjuang dan berperang di jalan Allah melalui jihad sehingga
niat mereka adalah 'berperang', bukan melakukan tindakan kriminal. Para
pelaku teror ialah orang yang dididik sebagai kombatan yang siap untuk
melakukan perang di berbagai medan (di kota dan di hutan), yang harus
didekati melalui pendekatan keamanan oleh aparat kepolisian dan aparat
kepolisian tidak pernah dipersiapkan sebagai kombatan untuk berperang gerilya
di hutan.
Mengingat
tindakan teroris yang dikonsepsikan sebagai kejahatan, militer tidak
mungkin/sulit untuk dapat dilibatkan dalam rangka menyelesaikan terorisme.
Demikian pula pelibatan unsur intelijen dari lingkungan BIN dan BIA sulit
dilakukan, serta hasil laporan intelijen tidak bisa dijadikan sebagi alat
bukti dalam persidangan di pengadilan saat memeriksa tersangka teroris.
Oleh
karena itu, ke depan apakah mungkin tindakan teror dikonsepsikan sebagai
perlawanan bersenjata? Seandainya tindakan teror tetap diklasifikasi sebagai
kejahatan luar biasa (extraordinary
crime), reformulasi peraturan perundang-undangan yang mengatur extraordinary criminal justice system
yang mencakup penyelidikan, penyidikan, penuntutan, peradilan, dan sistem
pemidanaannya harus dibuat secara khusus yang didalamnya diatur tentang
pelibatan unsur militer dan unsur intelijen.
Dalam
menghadapi berkembangnya kelompok radikal dan teroris, rekayasa sosial
melalui pendidikan yang mampu membangun manusia yang mempunyai kesadaran akan
kondisi bangsa Indonesia yang plural dan multikultur, mempunyai kesadaran
berpikir kritis, logis, dan analitis menjadi sangat penting sehingga bukan
menjadi manusia yang dogmatis dan berkeyakinan tertutup.
Pemerintah
perlu melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap lembaga-lembaga pendidikan
baik yang diselenggarakan pemerintah maupun partisipasi masyarakat (swasta)
agar tidak terjadi penyalahgunaan lembaga pendidikan oleh kelompok-kelompok
tertentu.
Masyarakat
yang mempunyai kesadaran untuk melawan radikalisme dan terorisme harus
dibangun melalui kampanye sosiokultural dan pembentukan kelompok-kelompok
masyarakat yang menjdi early-warning
agent group. Kampanye sosiokultural dilakukan secara terprogram dengan
sasaran seluruh komponen masyarakat dengan melibatkan para tokoh agama dan
tokoh masyarakat dengan materi dan metode yang terukur.
Jangan
sampai program kampanye sosiokultural ini dijadikan objek untuk
'diperdagangkan atau mencari anggaran negara'. Pelibatan kelompok early warning menjadi penting karena
kecenderungan masyarakat yang bersikap acuh tak acuh terhadap lingkungan,
egoistis, dan indiviadualistis, di samping dalam rangka memperkuat institusi
intelijen yang masih mempunyai berbagai keterbatasan di lapangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar